Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Tepo Tahu; Kuliner Bersahaja Tapi Ngangenin

10 September 2014   14:00 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:07 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_358242" align="aligncenter" width="420" caption="dok.pribadi"][/caption]

Setelah dua dekade lebih meninggalkan tanah kelahiran belum penah saya jumpai makanan khas kampung halaman, dusun di sebuah kecamatan terpencil mendekati perbatasan provinsi jawa Tengah dan Jawa Timur. Masih berada dibawah Kabupaten Magetan kota kecil ini sempat naik namanya ketika muncul sosok Dahlan Iskan yang sekarang menjabat sebagai Mentri BUMN. Jangankan di Jakarta ibukota negara bahkan di Surabaya yang menjadi Ibukota Provinsi jawa Timur belum pernah saya jumpai makanan khas ini ketika 9 tahun saya dalam perantauan di kota pahlawan itu. Saya sampai menaruh rasa curiga jangan jangan hanya di Magetan tersedia makanan khas ini. Setiap kali berbagi cerita dengan teman masa kecil yang sudah tersebar di berbagai tempat ditanah air melalui group Blackberry Masangger, tak jarang makanan ini menjadi bahan obrolan. Satu teman anggota group yang masih setia bermukim di Magetan, menyediakan diri untuk berbaik hati segera pergi ke angkringan membeli seporsi buat makan malam, sebelum disantap mengabadikan dalam kamera handphone. Tak ketinggalan seorang nenek pemilik angkringan yang setia berpuluh tahun berjualan siap menjadi obyek bidikan fotografer amatiran, langkah selanjutnya dishare kedua gambar penawar rasa rindu itu ke group di bbm. Konon penjual makanan khas ini temurun dalam satu garis keturunan, karena resep rahasia pada bumbu akan diwariskan secara alami. Sang anak yang setia menemani berjualan setiap malam akan "ditulari" meramu bumbu, seiring kebiasaan menguleg bumbu otomatis insting menakar akan terbentuk di benak. Ketika urusan bumbu yang notabene menjadi ruh masakan sudah dikuasai bisa dijadikan pertanda kesiapan sang anak menjadi penerus berjualan makanan setelah sang nenek mengambil masa pensiun. Rasa kawatir akan kelanggengan angkringan tak perlu dikawatirkan, mengingat tongkat estafet keahlian sudah ada yang menyambutnya.

************

Adalah tepo tahu makanan sederhana yang selalu menghadirkan rasa kangen ketika berkesempatan mudik, makanan murah meriah yang dijual (biasanya) di emperan toko yang sudah tutup rolling doornya akan digelar ketika waktu maghrib sudah berlalu. Tepo atau istilah populernya lontong di daerah Magetan masih dimasak dengan cara lama yaitu dengan memakai pawon (tungku), sejak masa kecil saya tampilan tepo masihlah konsisten yaitu di bungkus daun pisang dibentuk semacam piramid padat. Proses masak memakan waktu tak sebentar dengan kuali gelap berjelaga atau panci yang terbuat dari tanah liat. Ibu saya yang menyempatkan diri memasak tepo ketika anak anaknya pulang kampung, biasanya memulai malam hari sekitar jam 20.00 - 21.00, selama proses memasak apinya selalu dijaga agar tak terlalu kebesaran atau kekecilan, dimasak diatas pawon menggunakan kayu bakar. Di rumah kampung meskipun memasak memakai gas LPG sudah membudaya, tapi tetap saja menyediakan pawon biasanya digunakan apabila sedang masak besar entah ada hajatan sunatan atau kawinan. Sementara untuk memasak tepo pawonlah yang difungsikan mengingat memakan waktu tak sebentar, apabila dipaksa memakai gas selain boros hasil matangnya juga kurang maksimal. Setelah tepo dinyatakan matang agar tanaknya maksimal kuali akan tetap dibiarkan berada diatas mulut pawon dengan bara api yang lama kelamaan padam dengan sendirinya. Kalau bara api sudah lenyap menjadi abu tepo siap dientas. Daun pisang yang direbus akan berubah warna hijau matang (seperti bungkus arem arem) dan rasa tepo akan terasa khas karena zat hijau daun (klorofil) pada daun pisang yang dipakai bungkus menyatu dengan bagian pinggir tepo piramid itu ( tampak digambar atas ).

[caption id="attachment_358243" align="aligncenter" width="480" caption="Tepo Tahu- dok.pribadi"]

14103069241661280424
14103069241661280424
[/caption]

Pembeli akan mendapati tepo dengan tampilan diiris setengah lingkaran atau persegi empat tak sama sisi dengan ketebalan sekitar 1 - 2 cm, kemudian dicampur dengan tahu dan tempe yang digoreng dengan bentuk dadu. Langkah selanjutnya disiram dengan air bawang kemudian disiram lagi dengan kecap kental manis alhasil kecap akan melebur dan mencair bersama air bawang. Ditambah bumbu (semacam serbuk) dan sambal dengan tingkat kepedasan sesuai selera, bawang goreng sedikit dan kacang goreng utuh sedikit cambah sebagai penutup bisa ditambah telur ceplok mata sapi.

Masalah harga jangan kawatir seporsi tepo tahu lengkap tak perlu merogoh kantong terlalu dalam, cukup dengan menyerahkan uang receh sebesar lima atau enam ribu rupiah. Harga relatif murah ini konsisten sesuai jamannya dulu pada tahun 80-an waktu generasi pertama pembuat tepo tahu menetapkan harga 100 - 200 rupiah, kemudian pada periode 90-an harga sekitar seribu - duaribu rupiah, naik lagi sekitar tiga - empatribu dan update harga sekarang masih tetap digolongkan kategori murah. Mungkin rekan K-ers juga mempunyai makanan khas daerah yang tak didapati ditempat perantauan bisa jadi anda bernasib sama dengan saya, bersiap di dera perasaan kebayang bayang dengan kuliner yang kesannya "ndeso" tapi tetap saja ngangeni.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun