dokpri
Mungkin Kompasianer pernah mendengar istilah "Merawat lebih sulit dari Membangun", atau istilah lain yang kurang lebih maknanya sama "Mempertahankan lebih sulit dari meraih". Setelah bersentuhan dengan aneka kejadian dan pengalaman penulis akhirnya merasai kebenaran istilah tersebut. Meraih butuh perjuangan dan mempertahankan berarti melebihkan perjuangan. Ibarat ingin membangun rumah usaha yang dikerahkan tentulah tidak mudah tetapi yang lebih sulit lagi adalah merawat rumah. Kalau membangun rumah mungkin waktunya bisa dibatasi entah dua atau tiga bulan mungkin bisa lebih, tetapi merawat atau memelihara butuh energi yang kontinyu dalam waktu tak terbatas. Setiap hari rumah musti disapu, dipel, dilap perabotnya dan lain sebagainya. Contoh serupa juga berlaku untuk sebuah pencapaian atau prestasi, perlu perjuangan dan kerjakeras untuk menjadi juara atau pekerja yang berprestasi, tetapi setelah pencapaian ada ditangan butuh berlipat tanggungjawab untuk mempertahankan.
Pada artikel terdahulu pernah penulis sajikan pesona Situ Gintung setelah lima tahun "tsunami, dalam artikel Wisata Murah Meriah dipinggir Ibukota . Pada kesempatan lain ulasan komunitas Musang Lovers pada minggu pagi di Taman Menteng Park Bintaro dalam artikel Musang Binatang Unyu-Unyu , dan yang relatif masih baru alternatif tempat melepas penat di Hutan Kota Srengseng dalam Sejuknya Ibukotaku . Ketiga artikel tersebut penulis sajikan dari tiga tempat yang berbeda, tentu dengan pesona masing masing. Tetapi ternyata ada satu sudut pandang yang sama dari ketiga tempat yang berbeda, penulis ingin sampaikan pada artikel kali ini.
Setiap fasilitas umum yang disediakan tak berbayar alias gratis atau kalau berbayarpun relatif murah biasanya minim perawatan, penulis amati terjadi hampir dibanyak tempat. Entah di taman, tempat bermain, danau buatan, atau apapun yang aksesnya dipermudah, kesadaran masyarakat relatif rendah untuk menanamkan rasa memiliki pada diri sendiri. Kejadian umum yang terjadi sampah berserakan di mana mana kotoran berupa plastik, kertas, dan sejenisnya bertebaran meskipun pengelola menyediakan tempat sampah. Seorang nenek petugas kebersihan di taman menteng Bintaro saya dapati dengan telaten menghimbau pengunjung untuk membuang bungkus gorengan, biscuit, atau botol bekas air meneral ke tempat sampah yang sudah disediakan. Namun himbauan tinggal himbauan lewat besama angin, rasa malas untuk sebentar bangkit menghampiri tempat sampah terdekat masihlah tampak. Alhasil nenek petugas kebersihanlah yang harus memunguti kertas dan botol bekas yang ditinggal pergi pelakunya tanpa rasa bersalah. Atau aksi corat coret di pohon, dinding, kursi semen tempat duduk atau media apapun yang bisa digunakan untuk melampiaskan ekspresinya. Bagi kaum muda mudi kerap menjadikan fasilitas bersama sebagai sarana "mojok", memang apa yang diperbuat menjadi hak siapa saja tapi mustinya melihat etika atau rasa pantas tak pantas. Bagi pasangan keluarga muda dengan anak yang masih kecil biasanya butuh usaha ekstra menjelaskan kepada si kecil ketika melontarkan pertanyaan "Bunda kenapa kakak berdua itu duduk berdua sandaran" sambil menunjuk kepada pasangan. Si ibu yang kelabakan akhirnya mencari alasan agar pertanyaan tak berkembang lebih jauh "mereka berdua kakak beradik, mungkin adiknya lagi pusing jadi bersandar dipundak kakaknya". Apabila si anak kritis tentu tanya jawab tak mudah berhenti sebelum jawaban logis didapati.
Fasilitas umum dibangun dan disediakan pemerintah setempat untuk masyarakat sekitar tentu memakai uang masyarakat melalui pajak yang dibayar. Berarti masyarakatlah pemilik sesungguhnya tempat bersama itu, tetapi kenapa kesadaran akan rasa memiliki itu susah ditumbuhkan. Keindahan dan kenyamanan aneka fasilitas umum tentu akan berdampak pada masyarakat penggunanya, jadi kalau bukan kita siapa lagi yang mau peduli.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H