[caption id="attachment_367418" align="aligncenter" width="448" caption="tjiliwonaja.blogspot"][/caption]
Siapapun pasti butuh hiburan tak mengenal batas usia, tak memandang kelas ekonomi. Hiburan menjadi kebutuhan vital untuk kembali memulihkan "stamina". Bisa saja hilangnya stamina disebabkan karena kepenatan, kejenuhan pikiran atau kelelahan akibat bekerja. Tidur atau refreshing menjadi obat penawar untuk menyingkirkan aneka macam penyebabnya. Biasanya setelah pikiran dan badan segar produktifitas semakin mengganda. Bagi kaum berduit tak perlu besusah payah mencari hiburan, kapanpun mau bisa sejenak meninggalkan rutinitas dan menyisihkan sedikit waktu. Segera pergi ke tempat refreshing untuk melepas kepenatan. Entah ke pantai, gunung atau kalau memang waktunya sangat terbatas mengambil alternatif seperti ke bioskop, tempat karaoke keluarga, atau kemana suka. Bahkan kalau perlu pergi ke konser penyanyi kesayangan, konon para kalangan selebritas tak segan membayar mahal. Demi menyaksikan secara langsung penampilan artis dunia kesayangan, rela mengalokasikan dana tak sedikit sampai pergi ke Luar Negri.
Hiburan terus berinovasi sesuai budaya beriring dengan jaman, jenis hiburan biasanya menyesuaikan kalangan. Beberapa puluh tahun yang lalu seorang Peragawati yang berasal dari Ngawi Jawa Timur menggelar pesta pernikahannya selama lebih dari sehari, masyarakat dibuatkan panggung demi memeriahkan pesta pernikahan sang Peragawati. Yang terbaru dan masih hangat adalah pernikahan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina, pernikahan pasangan selebritis ini disiarkan live sebuah stasiun televisi. Berita yang beredar konon dana yang dikeluarkan untuk menggelar pesta mewahnya sampai sekian Milyar. Namun bagaimana dengan kelas menengah ke bawah, rupanya kalangan ini cukup pandai berinovasi.
Beberapa kali saya melintasi jalan sempit sebuah kampung, terdapat bambu melintang menghadang pengendara motor. Sistem buka tutup diberlakukan di jalanan kampung, seorang bapak berseragam hijau hijau dengan sigap mengatur arus lalu lintas. Seorang warga yang rumahnya ada disepanjang jalanan sedang hajatan, maka kendaraan yang melintas harus berbagi jalanan. Motor yang berhimpitan dengan tenda tempat hajatan dengan terpaksa atau sengaja bisa mengintip kegiatan yang berlangsung di arena pesta.
[caption id="attachment_367419" align="aligncenter" width="448" caption="tjiliwonaja.blogspot"]
Malam ketika shalat isya sudah selesai ditunaikan, rumah pemilik hajatan sedang meghhibur para undangan. Sebuah layar tancap dipasang di sisi jalanan, berhadapan dengan pekarangan kosong. Di pinggir pekarangan belakang para penonton sebuah proyektor di letakkan di atas meja tinggi. Usai siang hari acara resepsi digelar kini tuan rumah berkenan menghibur tetangga dan tamu yang datang malam hari dengan hiburan layar tancap. Saya benar benar takjub melihat pemandangan yang terjadi. Ketika harga kebutuhan pokok sedang merangkak naik akibat kenaikan Elpiji niat tuan rumah menghibur tamu tak dihilangkan.
Sebelum kenaikan Elpiji terjadi saya sering melihat terjadi di kalangan menengah bawah saat sedang menggelar hajatan. Mereka mendirikan panggung hiburan, biasanya orkes dangdut menjadi langganan. Seiring dengan kebutuhan yang mencekik leher akhirnya masalah hiburan hajatan segera dirubah berupa pemutaran layar tancap. Saya pikir kalau orkes dangdut personel yang dilibatkan pasti tak sedikit, mulai penyanyi pemusik dan MC. Sedangkan kalau Layar Tancap cukup satu dua orang untuk mengoperasikan proyektor.
Film yang dihadirkan ketika saya melewati beberapa tempat hajatan adalah produksi tahun 80-an, film komedi dengan bintang Kadir dan Doyok. Pernah juga film yang didominasi dengan joget dan lagu lagu India terdengar, tentu diikuti wajah ceria pemirsanya. Film jadul dengan bintang Rano karno dan Paramitha Rusady juga sempat hadir.
Pikiran saya langsung mengembara ke masa lalu, tepatnya ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Ketika film dengan bintang Warkop DKI (Dono, Kasino, Indro) sedang booming, saya menyasikan aksi bintang komedi ini di lapangan desa. Hiburan langka di desa kelahiran saya biasanya dikeluarkan ijinnya oleh Pak Lurah dan pihak Kecamatan ketika Sabtu malam atau liburan. Kadang saking haus akan hiburan, satu judul film diputar pada lain kesempatan tetap ditonton beramai ramai. Produk mie instan, bumbu masak, atau detergen kerap menyedikan diri sebagai sponsor untuk menghibur rakyat desa. Seingat saya pernah dari Departemen Penerangan menayangkan beberapa film perjuangan macam Janur Kuning, Bandung lautan Api dan RA Kartini.
Kini layar tancap itu hadir kembali, meski memposisikan diri untuk kalangan menengah ke bawah. Namun hiburan tetaplah hiburan esensi yang hendak dihadirkan adalah kebahagiaan. Ketika sudah menyentuh perasaan bahagia, maka uang bukan lagi menjadi ukuran. Bahagia hak semua orang dan hiburan hak siapa saja tak peduli seperti apa kemasannya. Malam itu ketika saya pulang dari mengais rejeki, sambil berlalu terdengar tawa serempak dari bapak bapak yang berdiri menyebar. Kaum ibu sudah dengan baju santai menggendong anaknya tak mau ketinggalan, juga anak kecil turut serta. Mereka semua terkekeh melihat aksi Kadir dan Doyok yang diputar pada layar dalam film jadul "Kanan Kiri OK". Betapa bahagia bisa hadir di mana saja kapan saja, ternyata Bahagia itu sederhana. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H