[caption id="attachment_369023" align="aligncenter" width="575" caption="dokpri"][/caption]
Kumpulan dari jam demi jam terbentuklah hari, berjalannya hari ke hari menjadi minggu. Minggu dan minggu menyatu mejadi bulan, tumpukkan bulan satu kemudian bulan berikutnya melebur menjadi tahun. Hidup manusia terus berjalan sesuai hukum alam, masing masing manusia mengambil keputusan sesuai yang ada dipikirannya. Apa yang dikerjakan apa yang harus diperbuat semua sesuai dengan pengetahuannya, tentu akan menuai akibatnya. Semua manusia seperti sedang melakukan perjalanan menggapai garis akhir dalam hidupnya.
Jumat Maghrib (24 okt'14) kemarin telah berlalu, diantara umat muslim membaca doa pergantian tahun. Doa awal tahun terkandung arti yang dahsyat, (intinya) adalah permohonan agar selama tahun ini dijagadari gangguan syetan, kekasihnya serta para tentaranya. Mohon pertolongan atas amarah yang jelek dan disibukkan dengan amalan yang mendekatkan aku padaMU. Doa yang dibaca tiga kali ini sangatlah kuat mengesankan, betapa manusia tiada daya untuk mengendalikan dirinya. Sehingga butuh pertolongan dari Sang Maha Kuat, karena padaNYA sumber kekuatan itu. Mungkin ada diantara sanak saudara bahkan tak tahu menahu, bahwa hitungan kalender hijriah sudah di ujung tahun. Andai mengacu perhitungan waktu Hijriah terbenamnya matahari adalah awal hari, berarti sesuai kalender Hijriah hari ini (sabtu pagi) sudah setengah hari tahun baru terlewati.
[caption id="attachment_369022" align="aligncenter" width="470" caption="dokpri"]
Dari kejauhan terdengar satu dua suara kembang api, itupun bertahan sebentar kira kira lima sampai sepuluh menit. Bisa jadi sedang merayakan pergantian tahun atau memang sedang bermain seperti biasa. Ketika sedang diperjalanan terdengar adzan dan mampir ke masjid, usai shalat maghrib berjamaah tak ada tanda perayaan itu. Saya masih "berpositif thinking" mungkin saja perayaannya diselenggarakan besok atau lusa, karena MUI juga memperingati Tahun Baru Islam pada hari Minggu.
Semalaman saya perhatikan tak ada suasana semarak, layaknya tahun baru Masehi 1 Januari. Sejatinya ada dan tiadanya seremony yang riuh rendah, tak akan berpengaruh sedikitpun. Karena kebaruan tetaplah menjadi kebaruan, dengan atau tanpa ditandai dengan hingar bingar sekalipun. Seperti rasa lapar tetaplah datang, tanpa peduli ada atau tidak ada makanan di meja. Ibarat hujan tetap turun tanpa berhitung (misalnya) seorang raja sedang diperjalanan atau di rumah. Perasaan saya mendadak melankoli, justru yang sederhana bisa menjelma sebagai keistimewaan.
[caption id="attachment_369024" align="aligncenter" width="571" caption="dokpri"]
[caption id="attachment_369025" align="aligncenter" width="588" caption="dokpri"]
Jumat pagi ketika hendak beraktivitas, ada kegiatan kecil dari anak TK di sebuah kampung yang terlintasi. Panggung kecil berdiri dengan sebuah backdroup, bertulis meyambut Tahun Baru 1 Muharom. Tulisan di modifikasi aneka warna, mencerminkan acara memang dibuat untuk anak anak. Rangkaian acarapun tak jauh dari tema anak, pengisi acara terdiri dari anak TK beraksi gembira. Hapalan surat pendek, lagu anak islami ditampilkan dengan busana jilbab anak warna warni dan kopyah senada anak lelaki mendominasi acara hiburan. Namun tetap tak terasa "nendang" karena tak dilakukan secara serentak oleh TK Islam lainnya, atau jangan jangan hanya saya saja yang terbatas pengetahuan.
Kilas Balik Tahun Baru Islam
Penanggalan tahun baru Islam dimulai pada masa khalifah Umar bin Khatab, kemudian Ali bin Abi Thalib mencetuskan sebuah gagasan. Penanggalan Islam sebaiknya dimulai dari peristiwa hijrahnya Nabi dan umat muslim dari Mekkah ke Yastrib (sekarang Madinah). Penulis "Sidi gazalba" dalam bukunya "Kebangkitan Islam dalam Pembahasan (1979)" mengungkapkan dengan inti (lebih kurang) " Tujuan dari Hijrah sesungguhnya sebagai sebuah strategi untuk mengembangkan iman dan mempertahankan kaum mukmin". Kala itu memang kondisi Mekkah kurang kondusif, kaum muslim dijadikan bulan bulanan. Sehingga Hijrah menjadi sebuah solusi, agar bisa berkonsentrasi memperkuat ketahanan mukminin dalam keadaan aman.
Sesampai di Yastrib (Madinah) kaum muslim diterima dengan baik oleh kaum Anshar (penduduk setempat). Jalinan ukuwah islamiah atau solidaritas kaum Muhajirin (pendatang) dan kaum Anshar menjadi kuat. Kedua belah pihak yaitu Kaum Anshar dan Kaum Muhajirin, bak gayung bersambut. Hijrahnya kaum mukmin ke Yastrib mengokohkan umat muslim, akhirnya Yastrib mendapat julukan kota nabi (Muhammad). Hingga saat ini berdiri kokoh masjid Nabawi, yang cikal bakalnya di bangun oleh Rasulullah.
Perisitiwa Hijrah (berpindah) sebagi simbol harapan baru, maka bagi kita sesungguhnya setiap perpindahan semestinya membawa kebaruan. Setiap matahari terbit pagi hari, semestinya beriring harapan baru. Kalau saja optimisme tetanam dalam diri, maka kamus atau istilah putus asa tak pantas ada.
Baru memiliki batasan ruang dan masa, setelah beberapa saat akan berubah istilah menjadi menjadi lama. Allah SWT mengingatkan dalam QS Al Hasyr 59:18, Â ' Wahai Orang Beriman, Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan (melakukan introspeksi) tentang apa-apa yang telah diperbuatnya untuk menghadapi hari esok (alam akhirat). Dan bertakwalah pada Allah. Sungguh Allah maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan''
Maka berbuat terbaik dari setiap detik yang dilalui, tak ubahnya seperti introspeksi. Sebuah pepatah yang mengungkapkan "Hari ini lebih baik dari kemarin", sesungguhnya mengusung prinsip semangat dan kebaruan.
1 Muharam 1436 H
Hari ini saya pribadi ingin menyampaikan Selamat Tahun Baru, 1 muharam 1436 Hijriah. Wabil khusus kepada rekan K-ers muslim, semoga harapan yang beriring upaya keras segera berbuah manis.
[caption id="attachment_369026" align="aligncenter" width="532" caption="dokpri"]
[caption id="attachment_369027" align="aligncenter" width="420" caption="dokpri"]
Sesampai di rumah selembar kertas putih tergeletak di meja tamu, sambil leyeh leyeh saya buka dan membacanya. Sebuah undangan dari masjid tempat saya tinggal datang, acara Semaan (membaca dan menyimak) Al Qur'an akan diselenggarakan. Pengkhataman 30 juz akan dideres (marathon) mulai subuh hingga maghrib, tentu secara estafet atau bergantian beberapa jamaah. Saya merasakan semangat menyemarakkan tahun baru, terpancar dari selembar kertas undangan ini. Lagi lagi menumbuhkan sebuah perasaan yang mengkristal, betapa hal yang kelihatannya kecil bisa berubah menjadi istimewa. Bayangan saya beralih pada acara tahun baru anak TK di kampung tadi pagi, dan kini giliran bapak bapaknya khataman di masjid. semua prosesi dikemas dengan sedehana dan elegan, tak ada kembang api, tak ada terompet, tak ada gemerlap lampu. Sekali lagi "Selamat Tahun baru Hijriah" mohon maaf lahir batin apabila ada kilaf, salah sikap dan salah ucap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H