[caption id="attachment_375766" align="aligncenter" width="545" caption="dokpri"][/caption]
Enam anak lelaki buah cinta dari perkawinan Pak Sukamad dan bu Musri beranjak dewasa, masing masing tumbuh dengan karakter dan pembawaan sendiri sendiri. Enam sifat pula yang membentuk kepribadian setengah lusin saudara sekandung, setiapanak tumbuh sesuai dengan alam pikirannya. Meski sebagai orang tua tak pernah membedakan kasih sayang, namun setiap anak membawa sifat dasar sendiri sendiri.Perhatian pasangan suami istri pada cucu cucunya sangatlah nyata, secara berkala dikunjungi anak cucu yang tinggal berjauhan.
“Pak…ayo ke Tangerang ....aku kangen sama cucuku..”ajak ibu
“boleh bu…tapi minggu depan saja, ..minggu ini dua tetangga punya hajat” balas sang ayah mengatur waktu.
Hanafi selalu memanfaatkan waktu saat kedua orangtuanya datang , kejutan dipersembahkan agar hati ayah dan ibunya bahagia.Kadang memanfaatkan voucher hotel gratis dari kantor, atau kalaupun membeli biasanya diberi harganya murah dari tempatnya bekerja. Ada lagi satu teman di travel yang punya informasi tiket promo, informasinya selalu akurat apabila ada harga tiket sangat bagus. Gegara "memanfaatkan" pertemanan, si anak ragil membeli dua tiket dengan harga super spesial.
“Buk…Pak, nanti pulangnya berhenti di Solo ya..”ujar Hanafi kepada ayah dan ibu ketika mengunjungi
“kok Solo to Han…ya kejauhan?” sahut ibu.
“enggih buk..pak..berhenti di Solo”jawab Hanafi berteka teki
“kok ora Maospati kan lebih deket to le..?” lanjut sang ayah
“lha memang mendarat terdekat diSolo buk..Pak..”sahut Hanafi berikutnya.
Mulanya keduanya belum paham maksud Hanafi, tetapi mendengar kalimat mendarat kedua orang tua itu berpandangan sambil mengeryitkan dahi.“lho kok mendarat?”Tanya ibu bingung.
Sebuah amplop putih diambil dari dalam tas dan ditaruh di atas meja, Pak Sumakad dan Bu Musri masih belum paham maksudnya “opo iki Han....?”Tanya sang ayah penasaran
“monggo dibuka…saja.. ujar Hanafi
Bu Musri mengambil amplop putih di atas meja, tak sabar segera membuka untuk melihat isinya.Mendadak sumringah menjelma di wajah keriputnya “Alhamdulillah…Pak kita mau naik pesawat” ujarnya girang
Ucapan terima kasih dan doa berhamburan ditujukan kepada Hanafi, rasa haru bercampur aduk memenuhi dadanya melihat air muka cerah kedua orangtuanya. Seumur hidup belum pernah Pak Sukamad dan Bu Musri merasakan naik pesawat terbang, rasa riang terpancar jelas dari sorot mata keduanya inilah pengalaman pertama yang tak dilupakan.
Hampir setengah abad mereka berdua membina biduk rumah tangga, pahit dan manis kehidupan telah lengkap dilewatinya. Kedunya masih terlihat akur dan harmonis di mata anak anaknya, masihlah erat ikatan kasih sayangdipelihara. Sebagai pasangan suami istri satu dengan lainnya saling menjaga kesetiaan, meski beberapa kali pernah "ribut" namun ibarat sebagai bumbu saja.
Sebagai suami Pak Sukamad adalah type pria pendiam, ucapan yang keluar dari mulutnya bertekanan rendah. Pengalaman pahit masa lalu menjadi korban fitnah terus membekas, namanya dikaitkan dengan partai terlarang membuatnya irit bicara. Perihal kesetiaan waktu sudah membuktikan, cintanya terpatri untuk istrinya seorang.
Sikap ini sebenarnya dicontoh dari ayahnya, Pak Sukamad kecil melihat Pak Supadmosang ayah merawat kesetiaan kepada istrinya. Sehari usai melahirkan bayi Sukamad, sang istri berpulang meninggalkan alam fana. Siapa sangka kepergian sang istri membulatkan tekad, membesarkan empatnya anaknya sendiri. Rasa setia itu terus dipupuk dan dipertahankan, sampai suatu masa menyusul sang istri ke alam baqa. Contoh nyata dari sang ayah rupanya diteruskan, Pak Sukamad bertekad memberikan satu hatinya hanya untuk satu Bu Musri.
Tak dipungkiri dalam rumah tangga tak lepas dari konflik, sepengetahuan Hanafi konflik bukan masalah orang ketiga. Keduanya memang memiliki perbedaan sekaligus persamaan, sang suami pendiam dan lembut hati. Sedang istrinya berkemauan keras, namun keduanya memiliki kesamaan adalah pribadi yang sederhana.
OO--OO
Genap memasuki usia 70 tahun Pak Sukamad terlihat segar, sebagai orang desa asupan yang masuk ke dalam tubuh relatif alami. Sepanjang perjalanan hidup tak pernah diderita sakit fisik yang berat, rasa tidak enak badan biasanya disebabkan masuk angin yang biasa diatasi dengan kerokkan. Atau kalau badan terasa meriang segera dibawa ke puskesmas, satu atau dua hari beristirahat rasa tidak enak badan akan berlari pergi.
Riwayat kesehatan fisik Pak Sukamad relatif cukup bagus, pernah sekali opname karena kecelakaan motor. Waktu sang istri masih membuka warung di pasar, dengan naik motor Pak Sukamad rutin belanja barang dagangan. Suatu siang setelah belanja dagangan, sebuah mobil box melaju kencang.Pengemudi berniat mendahului motor didepannya, namun perhitungannya meleset box belakang menyenggol motor.Menginaplah selama tiga hari di RSUD, Pak Sukamad pulang dengan kaki kanan digift. Sejakkejadian itu tidak pernah dijinkan mengendarai motor sendiri, kalaupun belanja dagangan ibu memilih naik angkutan umum.
********
[caption id="attachment_375767" align="aligncenter" width="484" caption="dokpri"]
Pagi masihlah tenang di bulan Junitepatnya di tahun 2006, seperti biasanya ibu sibuk didapur. Pak Sukamad selesai dari jalan pagi duduk di teras, segelas teh hangat tersaji di sebelahnya. Setelah rasa lelah berangsur hilang lelaki sepuh ini segera mandi, suasana pagi seperti ini terpelihara hampir tiga tahun.
“BBUGGG...!!” terdengar suara dari dalam kamar mandidisusul hening, sesaat berikutnya terdengar pintu kamar mandi dipukul dengan suatu benda. Ibu menghentikan kegiatan di dapur, pendengarannya dipertajam mendeteksi suara yang ditangkap. Perlahan kecurigaan menjalar, ketika dipastikan suara yang didengar dari kamar mandi. Ibu yakin ada ayah di dalamnya, segeraditinggalkan dapur begegas melesat berlari.
“Pakkk….Pakkkk…..!!!!” teriak ibu panjangdi depan pintu.
Panggilannya berbalas ketukan dari pintu bagian dalam“TOK-TOK-TOK” kepanikan semakin menjadi. Anak sulung yang tinggal bersebelahan segera dipanggil, dengan paksa pintu akhirnya berhasil dibuka. Pak Sukamad terkapar dengan darah keluar dari mulut, segera dibawa ke Puskesmas kemudian di rujuk ke RSUD Kabupaten.
Kali kedua Pak Sukamad di rawat di rumah sakit, setelah diperiksa dengan intensif dokter mendiagnosa penyakit liver. Beberapa hari diopname Pak Sukamad diperbolehkan pulang, asupan makanan sangat dijaga tak lupa minum obat dari dokter.
Kondisi ayah semakin lemah tatapannya sayu, tenggorokannya seperti tercekat kalimat yang keluar dari mulut terasa berat. Kegagahannya memudar tulang rusuknya semakin menonjol, air mukanya meredup namun wajah kalemnya tetaplah nampak. Semakinhari semakin kurus badannya, anak anaknya yang berada di luar kota mendadak pulang mendengar sang ayah semakin kritis.
Rasa haru tak sanngup dibendung, punggung tangan Hanafi berkali merapat ke sudut mata yang basah. Lelaki perkasa nan sederhana dan disayanginya, kini dihadapannya terbaring tak berdaya,
“le.. Hanafi…ayah wis sehat..” ayah memaksa tersenyum melihat kedatangan bungsunya.
“Nggih bapak sudah terlihat segar, sebentar lagi pasti sehat..” balas Hanafi balik menghibur.
Hanafi mengelus tangan sang ayah, ditelusurijari jari yang dulu kokoh kini bagai tulang dilapisi kulit ari. Pijatan kecil disepanjang tangan dan kaki sang ayah, sebagi upaya mengalirkan rasa sayang pada ayahnya. Lelaki sepuh inilah yang menghantar Hanafi dan lima kakaknya, sampai sejauh ini sanggup melampaui kehidupan. Sketsa sketsa peristiwa yang pernah dilewati berjejal memenuhi benak, masa yang panjang dibelakang seperti diputar kembali.
Tepat tigapuluh hari setelah pulang RSUD Pak Sukamad menghembuskan nafas terakhir. Lelaki sederhana itu merampungkan perjalanannya di alam fana, mengenangperjuangan ayah selalu membuat berkaca mata Hanafi. Kasih sayang yang dipersembahkan telah mengalir dalam nadi anak dan cucunya, ketulusan itu sedemikian terpatri tak hilang begitu saja. Daun itu telah gugurmemang begitulah semestinya kodrat manusia terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H