[caption id="attachment_384421" align="aligncenter" width="656" caption="Film Pendekar Tongkat Emas (dokpri)"]
Secara keseluruhan film ini menjadi suguhan segar, minimnya film silat menjadi celah yang dimanfaatkan Miles Film dan KG Studio. Eksplorasi keindahan Sumba Timur sebagai lokasi pembuatan sangat menonjol, penglihatan serasa dimanjakan dengan pemandangan eksotisme. Hutan yang hijau, lembah yang permai, sungai dengan air yang jernih menjadi kekuatan lokasi Film ini.
Akting Eva Celia, Tara Basro dan pemain cilik Aria Kusumah, mampu mengimbangi seniornya. Namun kalau boleh menilai secara subyektif, Akting Christine Hakim dan Reza Rahardian benar benar "megang". Keduanya seperti senyawa dengan perannya, gestur, mimik wajah dan intonasi suara benar benar menjadi kesatuan. Sosok tokoh antagonis Reza berhasil dilakonkan, penonton dibuat sebal dan benci melihatnya. Sementara Christine Hakim yang langganan Piala Citra, tetap mampu mempertahankan kredibiltasnya yang sudah "berkelas". Sedangkan kehadiran akting Nicholas Saputra, Slamet Rahardjo, Wani Darmawan, Darius Sinatria, Prisia Nasution, Landung Simatupang porsinya pas dan aman, namun juga tak bisa dipadang sebelah mata.
Dialog yang disajikan tak jarang penuh filosofi, beberapa kalimat membuat penonton manggut manggut.
"Dunia Persilatan ini seperti perjalanan dalam lorong gua yang gelap, sepanjang apa lorong gua itu diujungnya akan bertemu cahaya, tapi kita tidak tahu apakah cahaya itu berarti harapan atau ancaman" prolog Cempaka di awal cerita sarat makna yang dalam.
*"Jiwa Besar tidak Menghendaki apa apa meski ia bisa mendapatkannya. Hanya Jiwa kerdil yang menghendaki banyak padahal ia takkan bisa mendapatkannya" Kalimat ini diucapkan Angin sebelum terbunuh oleh senior seperguruan.
"Kebenaran seperti Jalan Menuju Dunia yang Sunyi" dialog Elang dengan sang paman (diperankan Slamet Rahardjo)
[caption id="attachment_384423" align="aligncenter" width="601" caption="Adegan Pendekar Tongkat Emas (dokpri)"]
Banyak kalimat kalimat lain yang membutuhkan interpretasi khusus, namun mendengar sekilas saja cukup "jleb" di kalbu.
Khusus prolog yang dibacakan Cempaka, benar benar memukau pendengaran. Tekanan intonasi suara Cempaka menggambarkan seorang yang kenyang dengan asam garam kehidupan.
*******
[caption id="attachment_384424" align="aligncenter" width="536" caption="Ifa Ifansyah, Nicholas S, Reza R (dokpri)"]
Menjadi sedikit catatan dari saya sebagai penonton, adalah tak dijelaskan secara gamblang masa dan tempat peristiwa ini. Meskipun penonton mengetahui lokasi shhoting di Sumba Timur, tetapi pada saat cerita sedang berlangsung tak ada kalimat atau text lokasi Perguruan Silat berada. Kemudian masa terjadinya tak jelas, pada tahun atau abad ke berapa tak ada tanda yang menjelaskan. Entah pada masa kerajaan sedang bermunculan, atau pada masa penjajahan penonton tak mendapatkan "clue" nya.
Kalimat yang diucap Angin yang notabene masih kecil, *"Jiwa Besar tidak Menghendaki apa apa..............dsb.). sepertinya kurang pas mengingat usia belianya, tentu belum banyak pengalaman diraihnya. Sementara kalimat yang diucapkannya, (menurut saya) terlalu tinggi.
Namun secara keseluruhan saya angkat topi dan kagum, sedikit catatan yang saya torehkan tertutup dengan banyak kelebihan dalam fillm ini. Pesan yang disampaikan kepada penonton, cukup mengena dan berhasil. Semoga kehadiran Pendekar Tongkat Emas, menjadi stimulus bagi film sejenis agar tak kalah berkualitas. (salam)
[caption id="attachment_387375" align="aligncenter" width="490" caption="Ibu Miles dan Penulis (dokpri)"]
[caption id="attachment_387377" align="aligncenter" width="512" caption="Mas Riri R & Penulis (dokpri)"]
[caption id="attachment_387378" align="aligncenter" width="480" caption="Mas Reza r & Penulis (dokpri)"]
[caption id="attachment_387379" align="aligncenter" width="512" caption="Mas Ifa Isfansyah & Penulis (dokpri)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H