[caption id="attachment_396133" align="aligncenter" width="467" caption="ilustrasi- dokpri"][/caption]
Pertengahan april 90-an awal saat girang datang, sebuah amplop putih berlogo perusahaan diterima. Tukang post yang sering berseliweran di gang sempit, tumben saja mengetuk pintu. Padahal sejak awal ditulis lamaran pekerjaan, ditambatkan harap menerima panggilan lebih awal. Kini sudah hampir lima bulan, numpang di rumah keluarga kakak kedua.
Rasa pakeweuh terus ditahan, dengan cara membantu semua pekerjaan rumah. Kontrakkan mungil terdiri tiga ruang, terasa penuh sesak saat malam menjelang. Ruang depan tempat tivi 14 inch hitam putih, menjadi tempat tidur Hanafi bersebelahan motor. Menyusul ranjang tempat kakak dan dua balita, ditutup gorden tipis tiga meter menjuntai. Paling belakang dapur dan kamar mandi, nyuci baju bersebelahan dengan WC.
Tak terhitung sudah berapa kertas folio bergaris, dikirim lengkap dokumen pendukung dan foto ukuran 3x4.
"jangan lupa ijazahnya musti dilegalisir, biar perusahaan yang nrima tambah yakin" nasehat Mas Sancoko.
Demi surat lamaran yang "berbobot" pula, Hanafi meluangkan waktu (dan uang) balik ke kampung halaman. Ijazah SMA asli pusaka mencari kerja, dicopy lima lembar dibawa ke SMA tempatnya menimba ilmu.
"Kalau antar lamaran pakai baju putih, biar mendapat penilaian bagus" masukan mas Sancoko dicamkan.
Mas Sancoko adik dari kakak Ipar (istri kakak kandung), tinggal di kost pada gang yang sama. Sudah satu tahun lebih bekerja, sebagai cleaning service di minimarket. Pengalaman membuat surat lamaran, dan strategi menembus perusahaan incaran ditularkan. Hanafi manggut manggut tanda paham, setiap kali mas Sancoko membagi ilmunya.
"Mas, mbok aku tak kerja ditempatmu saja" rajuk Hanafi hampir putus asa.
"Tempatku itu jarang buka lowongan, kalaupun ada seleksinya ketat yang diterima sudah pilihan" Kalimat Mas Sancoko membanggakan diri.
"Aku stres mas, gak dipanggil panggil" Hanafi berkeluh kesah
"Ya memang begitu memang susah nyari kerja" timpal Mas Sancoko "apalagi yang belum punya pengalaman, musti banyak bersabar"
Terdengar nasehat bijak dari sang kakak, menjadi penguat dan semangat melamar. Tapi yang dibutuhkan pekerjaan, bukan segudang nasehat Mas Sancoko. Sebagus apapun petuah yang diterima, tak serta merta mengurai gelisah.
***
Penantian selama lima bulan terbayar sudah, hanya dengan sepucuk surat berlogo sebuah CV. Orang yang pertama dikabari ayah ibu dikampung, menyusul kakak yang ditumpangi. Tak ketinggalan Mas Sancoko, sang konsultan yang begitu dipercaya.
"Kepanggil kan, dulu surat lamaranku persis seperti yang kamu kirim" lagi lagi Mas sancoko membanggakan diri. "aku bolak balik dipanggil, gara gara surat lamaran kaya itu"
Hanafi masih diselimuti bahagia, tak peduli lagi kalimat sang kakak. Kalau dipikir dengan logika, Minimarket tempat Sancoko pertama bekerja. Kalau dibilang bolak balik dipanggil, berarti bolak balik gak diterima kerja. Namun semua kegelisahan bablas, kadung berganti perasaan membuncah.
Hari ke hari menunggu saat wawancara, bagai menunggu detik detik pengumuman UMPTN. Setelah namanya tak tercantum sebagai mahasiswa, di pengumuman hasil test Perguruan Tinggi. Hanafi tak mau mendaftar di kampus swasta, biaya yang dikeluarkan tak terjangkau menjadi alasan
Sesuai masukan yang terus terngiang, disiapkan baju putih lengan panjang dan celana gelap. Masih ada tiga hari menunggu hari selasa, semua dipersiapkan berbaur girang. Kendaraan umum menuju kantor interview, paling utama yang harus diketahui.
"Dari sini jalan ke Tugu Pahlawan, tunggu di pertokoan dekat Pasar Turi" jelas mas Sancoko "kamu cari bus kota Jurusan Perak, tanya sama kernet alamat itu"
****
Hari yang dinanti akhirnya tiba, jadwal di surat panggilan datang jam 10 tepat. Dua jam sebelumnya hanafi sudah rapi, baju putih sragam Sancoko dipinjam agak kedodoran. Beberapa kali memantas didepan cermin, dan mulai menyusun kalimat jawaban wawancara.
"Jangan lupa baca Bismillah kalau masuk kantornya" nasehat Mas Sancoko semalam
Jam 8.30 berada di tempat yang disarankan, menunggu Bus Jurusan Perak. Tempat ini pertama kali didatangi, tapi nama Tanjung perak sudah tak asing di telinga. Tak sampai sepuluh menit Bus kota merapat, Hanafi naik dan tenggelam dalam kerumunan. Penumpang sarat berdesakkan, berdiri persis di ujung pintu masuk bus. Badan ketemu badan mepet tak berjarak, aroma keringat dan pengap tak terdefinisikan. Tubuh kecil Hanafimenyelinap, dalam selipan badan aneka manusia. Meskipun Bus sudah penuh tanpa jengkal, tetap saja berhenti saat ada penumpang.
"ayo geser geser" teriak kernet dari luar.
Mengesankan di dalam bus masih lengang, padahal selangkahpun tak bisa bergerak. Tak sampai tigapuluh menit Hanafi sampai, turun di trotoar Masjid Mujahidin.
"kalau sudah sampai masjid tanya satpam di situ, pasti tahu" pesan Mas Sancoko.
Hanafi menyusuri gang lebar persis sebelah masjid, rumah megah dan luas berjajar. Nama jalan berawalan teluk berkumpul, ada teluk Aru, teluk Betung, teluk Nibung dan banyak teluk lainnya.
Hatinya mulai was was begitu kaki yang dijamah, mulai menyusuri gang yang mulai sempit. Berderet rumah warga berukuran kecil, tak beda dengan kontrakkan kakaknya. Hanya tipis sekali perbedaan, rumah di kampung ini bertingkat dua. Berkali kali dilihat selembar kertas panggilan, yakin kalau alamat yang dituju salah. Atau sama nama jalannya, tapi bukan di daerah Perak. Berulang kali Hanafi meyakinkan diri, bahwa rute yang diambil sudah salah.
Mendadak semua yang diragukan terbantah, di sudut atas kaca sebuah rumah jelas terlihat. Menempel sticker ukuran sedang, logo dan nama CV persis di surat panggilan. Sebuah rumah bersusun dua tanpa teras, catnya terkelupas dan kotor di sana sini. Layaknya sebuah tempat tinggal, empat kursi tamu bersebelahan televisi. Dari kaca bening nampak anak muda seumuran, duduk di satu kursi sedang menunggu.
Dengan penuh ragu tangan Hanafi menekan tuas pintu, bertanya apa benar CV Nusantara Cardindo. Lelaki sebaya mengangguk benar, ternyata juga sedang menunggu wawancara. Hanafi duduk bersebelahan, Nardi nama lelaki disampingnya. Meski belum saling mengenal, namun yakin berdua memiliki persepsi yang sama. Setelah bertukar nama tak ada obrolan, membisu bermain dengan pikiran sendiri.
Tiba tiba Hanafi mengutuki diri sendiri, kenapa masih saja nekad masuk. Kini tak ada alasan beranjak, tuan rumah sudah berjanji segera keluar.
"Hallo perkenalkan saya Zainal" sapa lelaki seusia kakaknya
Pak Zainal berusaha berakrab akrab, mencairkan suasana agar nyaman. Bertiga duduk berhadapan, layaknya tamu dengan tuan rumah. Sementara diluar terdengar bayi menangis, sesekali suara ibu melengking memanggil anaknya cepat pulang. Setelah saling menyebut nama, pak Zainal menjelaskan usahanya. Sebuah kartu discount yang berlaku dibanyak tempat, Hanfi dan nardi menjadi tenaga pemasaran.
Disela penjelasan ada saja tukang jualan lewat, bubur ayam, timbang badan, tukang sayur. Ganti berganti tak berpenghabisan, pak Zainal terpaksa mengulang ucapan. Terutama saat suaranya berbentur, kalah telak dengan teriakan "Jamuuuuu"
"Kartu ini dijual sepuluh ribu, khusus kalian hanya lima ribu" jelas pak Zainal " jadi setiap kartu yang terjual, kalian dapat untung lima ribu"
"Kami dipinjami kartunya ya pak" Hanafi menyela
"OO tidak, kalian membeli satu kartu untuk contoh jualan," Pak Zainal menegaskan "Tapi kan bisa kalian gunakan, di tempat ini" lelaki ini berusaha menghapus gusar tamunya.
Satu buku kecil berisi daftar , yang menerima discount dengan kartu dihadapannya. Hanfi dan Nardi membaca daftar itu, tapi tak satupun tempat sesuai kelasnya. Berderet ke bawah nama Toko Buku terkenal, Butik Baju, Restaurant, Tempat Fitnes, Supermarket, dan banyak lagi.
Diujung perjumpaan dengan pak Zainal, dua lelaki muda merogoh uang lima ribu. Pulang membawa satu kartu discount, buku daftar penerima kartu dan empat lembar kuitansi. Menurut Pak Zainal guna kuitansi, untuk mencatat pelanggan yang tertarik.
Hanafi dan Nardi terpaksa berpisah, keduanya tinggal di tempat berjauhan. Hanafi di daerah dekat Stasiun Semut, Nardi tinggal di Banyu Urip.
*****
Bungah yang menyelimuti seminggu ini, tiba tiba menggantung lagi. Langkah Hanafi gontai menyusuri gang kecil, kembali ke trotoar sebelah Masjid Mujahidin. Melihat kantor yang memanggilnya, menguap sudah rasa antusiasnya. Tak tahu lagi harus berbuat apa, kenyataan datang tanpa kompromi.
"Wis nyoba nglamar lagi saja" Mas Sancoko menenangkan "Sambil nyoba masarkan kartu"
Hanafi mengangguk lemas, malam itu tidur di kost Mas Sancoko. -Thok-Thok-Thok, terdengar suara penjual tahu campur -Thing-Thing-Thing- berganti suara tahu thek. Menyusul lagu Darah Muda milik Bang Haji Rhoma, kencang dari gerobak penjual jamu keliling. Semua penjual yang lewat tak satupun dihampiri, meski perut lapar belum makan malam.
Mas Sancoko datang membawa sebungkus mie rebus, "ayo makan berdua sama aku"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H