Mohon tunggu...
Agung Alit Putra Wijaya AK
Agung Alit Putra Wijaya AK Mohon Tunggu... Administrasi - Hanya Penulis Biasa

Pegawai Swasta

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Saatnya Cerdas dalam Bertransaksi

14 Juni 2015   23:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:03 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seberapa seringkah anda bertransaksi Non-Tunai?

 

Pertanyaan ini cukup sederhana namun membutuhkan kejujuran untuk menjawabnya. Tidak dipungkiri saat ini, masyarakat Indonesia umumnya masih memilih menggunakan uang konvensional (kertas ataupun logam) sebagai alat pembayaran. Melalui tulisan ini, penulis ingin mengajak kompasianer maupun masyarakat umumnya untuk beralih dari transaksi tunai menjadi non-tunai.

Sudahkah kompasianer memiliki gambaran mengapa traksaksi tunai atau membawa uang tunai saat transaksi pembayaran terkesan kurang praktis? Saya ingin berbagi pengalaman kepada kompasianer yang mungkin pernah mengalami hal serupa seperti ini.

  1. Belanja ke minimarket atau supermarket terdekat, berbelanja banyak kebutuhan dengan total pembayaran (misalnya) Rp. 73.650. Dengan alasan keterbatasan uang kembalian, kasir menawarkan kembalian dengan permen atau menyumbangkan uang kembalian sebagai bentuk donasi. Bagi sebagian orang mungkin hanya menerima dengan ikhlas dengan pertimbangan kembalian dengan permen tidak masalah atau sekedar berdonasi. Disisi lain, banyak konsumen yang bersungut-sungut dalam hati dengan komentar, “besok kalau saya belanja lagi disini. Saya bayar dengan permen”. Komentar seperti ini sering saya temui dan menjadi bentuk kekecawaan dari sistem transaksi jual-beli.

  2. Saat membuka dompet untuk membayar di kasir, tiba-tiba uang recehan di dalam dompet jatuh berhamburan di bawah lantai. Akan lebih memalukan kejadian uang receh terjatuh disaat banyak orang mengantri di belakang anda. Bisa dibayangkan beberapa mata tertuju pada anda yang sibuk mengambil uang logam yang berjatuhan di lantai.

  3. Baru gajian sehingga uang menumpuk di dalam dompet dan dipikiran kita sudah terbayang untuk membeli barang ini dan itu namun tiba-tiba dompet hilang atau raib dibawa pencopet. Maksud hati untuk ingin membeli kebutuhan, apa daya pikiran berubah stres karena uang hilang seketika.

  4. Mendapat uang kembalian dengan kondisi uang sobek dan kemudian muncul pertanyaan uang ini harus diapakan. Pikiran praktis yang cepat terlintas di pikiran kita adalah lebih baik digunakan untuk membayar bahan bakar kendaraan di SPBU terdekat dibandingkan harus menukar di Bank Indonesia untuk mendapat uang pecahan sama dengan kondisi baik.

  5. Selalu muncul perasaan was-was saat mendapatkan uang pecahan Rp. 100.000 atau Rp. 50.000 yang tampak baru namun terkesan mencurigkan. Kita kemudian mempraktekan iklan layanan masyarakat tentang 3D (Dilihat, Diraba, Diterawang).

Seringkali kita merasakan kejadian seperti yang saya paparkan diatas. Saya menilai bahwa banyak masyarakat Indonesia yang “Senang Repot” artinya memilih mengambil uang di ATM hanya untuk pembayaran belanja di tempat belanja yang sebenarnya menyediakan mesin debit/kartu kredit. Padahal melakukan pembayaran dengan uang tunai lebih beresiko dibandingkan non tunai. Tidak heran bila saat ini pemerintah melalui Bank Indonesia berusaha agar transaksi tunai secara konvensional (kertas ataupun logam) teralihkan menjadi transaksi non tunai. Selain karena faktor keamanan dan kenyamanan, transaksi non-tunai juga menawaran berbagai banyak kelebihan yang memudahkan para pemakainya.

Indonesia memiliki potensi besar untuk menggiatkan program peralihan transaksi tunai menjadi non tunai. 1) Saya mengutip data MasterCard Advisors terkait pembayaran non-tunai di Indonesia ternyata baru sebesar 31 persen dari total pembayaran yang dilakukan konsumen atau secara hitungan sederhana kurang lebih dari 3 konsumen yang melakukan pembayaran hanya 1 hanya melakukan pembayaran non-tunai. Mulai gencarnya sosialisasi Non-Tunai oleh pemerintah kepada masyarakat maka tingkat pembayaran non-tunai akan dapat terus meningkat. 2) Bank Indonesia mencatat telah ada 22 penerbit kartu kredit yang terdiri dari dua puluh bank dan dua lembaga selain bank. Penerbit kartu ATM tercatat sebanyak 50 penerbit .Sementara itu, sudah terdapat 56 buah bank yang menerbitkan kartu debit. Sedangkan penerbit uang elektronik ada 17 penerbit yaitu terdiri dari sembilan bank dan delapan lembaga non bank. 3) Tingginya tingkat transaksi masyarakat Indonesia terutama disaat awal bulan. 4) Transaksi non-tunai pun tidak hanya berupa media fisik namun juga dapat dilakukan melalui media virtual. Bahkan transaksi non-tunai dapat terakses melalui telepon pintar (smart phone). Penulis memanfaatkan survei Roy Morgan Research Australia (2014) yang menyatakan bahwa sekitar 60-70 juta pengguna telepon pintar di Indonesia yang bisa digunakan untuk transaksi keuangan (e-commerce).

Sebagai upaya meningkatkan peralihan transaksi tunai menjadi non-tunai maka kini saatnya kita menjadi konsumen yang cerdas. Ini beberapa hal yang dapat dipertimbang oleh kompasianer untuk beralih pada transaksi non-tunai.

Tanamkan jiwa “Saya Konsumen Cerdas

Penggunaan transaksi non-tunai saat pembayaran akan jauh lebih menguntungkan khususnya untuk membayar transaksi dengan jumlah tertentu. Bila kita berbelanja sebesar Rp. 99.560 dengan membayar Rp.100.000 maka peluang uang kita mendapatkan kembalian permen atau tawaran menyumbangan donasi sebesar Rp.440 sangat besar. Dengan menanamkan jiwa Saya Konsumen Cerdas, maka kita membiasakan diri untuk mengefektifkan pembelanjaan kita. Dengan membayar dengan debit/kartu kredit, konsumen dapat membayar sesuai dengan jumlah belanjaan yang tertera di nota belanja. Secara kalkulasi sederhana misal dalam seminggu kita melakukan transaksi sebanyak 5 kali dengan sistem kembalian yang sama yaitu Rp.440 maka seminggu kita menekan pengeluaran sia-sia sebesar Rp.2.200. Bila dikalkulasikan sebulan (4 minggu) maka dapat menekan pengeluaran sia-sia sebesar Rp. 8.800 dan dalam setahun (12 bulan) sebesar Rp. 105.600. Dengan adanya transaksi debit/kartu kredit, maka tidak akan ada lagi penawaran kembalian dengan permen sehingga kita dapat menekan pengeluaran sia-sia setiap transaksi.

Transaksi Non-Tunai itu Aman, Nyaman, dan Praktis

Membawa uang banyak dalam dompet akan membuat perasaan kita menjadi was-was karena potensi untuk hilang atau kecopetan sangat tinggi. Bisa dibayangkan bila saat akan berbelanja, dompet yang berisi uang gaji selama sebulan hilang seketika. Kita akan menjadi stress karena hasil kerja sebulan hilang seketika dan barang yang ingin dibeli gagal didapat. Namun bila konsumen telah beralih pada transaksi non-tunai maka memungkinkan kita terhindar dari perasaan was-was terseb,ut. Bila kartu debit/kartu debit hilang maka dengan melakukan sistem pemblokiran untuk mengamankan tabungan atau isi saldo. Transaksi Non-Tunai juga menghindarkan kita untuk mendapatkan uang kembalian palsu atau bahkan kondisi rusak. Kenyamanan dan kepraktisan menjadi daya tarik untuk melakukan transaksi non-tunai.

Saatnya Melek Teknologi dengan Transaksi Non-Tunai

Sekarang suda tidak jaman lagi membeli/membayar tiket kendaraan dengan datang langsung ke counter tiket atau membeli/membayar barang langsung ke penjualnya. Saya percaya bahwa sebagian besar dari kompasianer telah memiliki gadget yang memiliki teknologi internet yang memadai. Transaksi Non-Tunai memungkinkan kita melakukan transaksi atau kegiatan perbankan lainnya kapan saja dan dimana saja. Bisa dibayangkan begitu mudahnya akses bertransaksi hanya bermodalkan gadget dan satu klik. Jejak transaksi pun dapat kita simpan dan lebih aman.

Konsumen Peduli Lingkungan

Bukan rahasia umum bahwa semakin banyaknya peredaran uang kertas dan logam dimasyarakat dan dicetak tiap tahunnya oleh Bank Indonesia melalui Perum Peruri maka semakin banyak pula pohon yang ditebang untuk dijadikan kertas uang dan bahan logam yang dimanfaatkan. Dengan beralih pada transaksi Non-Tunai, kita telah ikut berkontribusi terhadap lingkungan.

Bila masih ada anggapan bahwa transaksi non-tunai itu ribet dan susah. Saya menilai itu hanyalah pemikiran masyarakat yang enggan untuk mau berubah kearah yang positif karena saya menilai transaksi non tunai justru memudahkan kita dalam transaksi. Bermodalkan hanya dengan warkat, kartu chip, smartphone atau token, kita sudah dapat bertransaksi dimanapun dan kapanpun tanpa ada perasaan was-was uang hilang ataupun kecopetan. 

Sedikit kisah, Universitas Brawijaya dimana tempat saya kuliah dulu telah membantu program pemerintah untuk memperkenalkan transaksi non-tunai. Bermodalkan dengan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) yang terintegrasi kartu chip layaknya debut sehingga mahasiswa di Brawijaya dapat bertransaksi dengan modal KTM. Bahkan saat makan di kantin kampus pun, mahasiswa telah terbiasa untuk membayar secara non tunai. Jauh lebih praktis dan nyaman. Mungkin saja ini menjadi  terobosan lain di instansi ataupun tempat lain untuk menerapkan hal serupa agar masyarakat Indonesia menjadi masyarakat cerdas bertransaksi.

Saya sudah menjadi konsumen yang cerdas dalam bertransaksi. Bagaimana dengan anda?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun