Pemikiran ini bermula setengah dekade yang lalu ketika saya baru saja menyelesaikan pendidikan strata satu di sebuah universitas di Bali. Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana, sejenak diri ini mendapatkan lebih banyak waktu untuk menengok ke segala sisi dan menelisik lebih jauh tentang apa yang terlewat semasa dahulu sibuk berkutat dengan tugas kuliah, organisasi, maupun berbagai kegiatan berguna dan tak berguna lainnya. Dengan kata lain, selepas acara wisuda, waktu saya menjadi lebih banyak lowong sambil menyambi kerja di sebuah organisasi seni di bilangan daerah wisata di Bali.
Sebagai seorang pemuda yang hidup di tanah yang memiliki pergolakan global dan lokal yang ketat, Bali, pandangan saya kala itu tertuju pada keadaan Indonesia. Negara sekaligus rumah dimana saya lahir dan (mungkin) mati kelak. Pandangan saya tentang Indonesia sangatlah plural. Ya, Plural. Beragam. Seperti slogan negara ini, Bhinneka Tunggal Ika.
Berbeda – beda tapi tetap satu. Saya merasakan kekaguman lebih pada Indonesia. Entah karena saya lahir dan besar di antara cerita heroik perjuangan pahlawan negara ini dalam mencapai kemerdekaannya atau sudah terbiasa hidup berdampingan dengan lingkungan yang berbeda suku, agama serta ras. Dalam radius 500 meter, saya memiliki teman Muslim, Kristen dan Budha. Oh ya, by the way, KTP saya bertuliskan Hindu. Berjalan lebih jauh lagi, sangat mudah menemukan bule maupun turis asia dan bercengkrama dengannya. Ketika bersekolah, tidak sedikit teman berbeda suku yang pada akhirnya menjadi kawan berbincang dan bercanda.
Semuanya berjalan dengan baik. Walaupun ada yang saling berbeda pendapat, kami menganggap itu adalah hal biasa. Sebuah proses pendewasaan. Bukan hanya pada poin berbeda pendapatnya saja namun ketika kita menerima pendapat berbeda sambil tetap didasari pada nuansa pertemanan yang tetap terjalin. Baik ketika berdiskusi dengan teman lama maupun kawan baru. Kita, yang berbeda warna kulit serta keyakinan ini sadar, hal terpenting adalah menjaga kerukunan di antara kita. Melihat semua persoalan sebagai sebuah hal yang perlu dicarikan solusi. Solusi bersama. Bukan sebuah versi yang dimana satu menang maupun satu kalah.
Topik permbicaraan pun menjadi beragam. Dari hal yang masih bisa diantisipasi melalui logika baik itu membicarakan isu sosial sekitar atau sekedar menjalankan ritual mengamati kawan terdekat dan menelisik total (Baiklah, kadang ngegosip) ataupun membicarakan hal yang diluar kuasa logika. Kenapa agamamu bisa begitu, aku begini? Tuhan itu seperti apa ya? Berapa luas angkasa ini ya? Kapan kita akan diserang alien. Dan sebagainya. Dan sebagainya.
Dunia saya simpel. Bagi saya, kerukunan dan persatuan adalah utama. Perbedaan itu biasa. Pemaksaan sama sekali bukan landasan kebenaran. Setiap permasalahan pasti ada solusi. Simpel dan sempitnya dunia saya ternyata dimiliki juga oleh orang lain. Namun sayangnya dengan substansi yang berbeda. Mereka adalah individu yang merasa terzalimi akan sesuatu yang tak akan kunjung selesai. Terhadap sesuatu yang mengancam sehingga mereka perlu yang namanya perlindungan. Mereka tidak tinggal di area konflik namun merasa perlu bertempur dengan orang yang berbeda penalaran dengannya.
Mereka sebenarnya bisa rukun namun entah mengapa selalu berucap kata yang mengarah pada perseteruan. Mereka adalah pihak - pihak yang nyaman menyalahkan orang di luar lingkungannya. Di luar pemikiran. Di luar suku. Di luar agama serta ras mereka. Hingga mungkin menganggap yang berbeda itu adalah bukan manusia yang patut diajak (walau) sekedar berdiskusi. Mereka gemar melakukannya. Tanpa gemar introspeksi ke dalam. Seakan melihat bahwa diri dan pemikirannya maha sempurna. Padahal mereka tahu mereka tidak (seperti itu).
Berbagai fenomena turut berjalan berdampingan (bahkan terlanjur mesra) terhadap hal ini. Sebutlah organisasi massa yang mengatasnamakan agama, suku dan ras tertentu mulai bermunculan. Tumbuh subur bak jamur di musim penghujan. Isi kitab suci diumbar dan dipakai sebagai bahan pembenaran.
Jika merujuk pada konsep kemanusiaan nan logis yang bertentangan dengan pemikiran ‘sucinya’, hanya satu kata: LAWAN. Ini bukan hanya merujuk pada satu agama dan keyakinan namun pasti karena pemahaman yang mulai bergeser bahwa kepercayaan dan keyakinan pribadi telah boleh diatur dalam konstruksi massa yang lebih luas. Semacam pola penegasan yang tumbuh dan berkembang dari mayoritas yang dibekali cita – cita masa lalu akan kejayaan agama maupun komunitas minoritas yang berusaha lepas dari “jeratan” pihak lain yang telah membawa hidup mereka menjadi tertekan setara menuju nista.
Pola kita semua korban menjadi sangat trendi. Mereka adalah pelakunya. Mereka siapa? Tentu yang berbeda dari yang merasa dirinya korban. Berbeda keyakinan, suku, agama hingga ras. Menjadi super sensitif. Merasa diri superior namun merasa terancam jika bertemu dengan sesuatu yang bertentangan. Benar – benar terancam. Cara satu – satunya adalah menghilangkan ancaman tersebut. Tiada lagi upaya negosiasi. Jangankan kepada orang lain bahkan diri sendiri pun tidak mengenal yang namanya penerimaan perbedaan pendapat. Hal yang mencengangkan lainnya, ternyata ini tersebar hampir merata di setiap elemen kehidupan kita di Indonesia.
Oh ya, jangan lupakan media yang beralih fungsi dari mencerahkan rakyat menjadi mencelakakan rakyat. Jumlah mereka tidak kalah besar dan turut menyumbang kemunduran berfikir warga negara kita yang tercinta ini lewat konten click bait. Media yang seharusnya dapat menjadi mediasi berfikir masyarakat menjadi arena tumpah ruah dalam menunjukan kekuatan lewat kata – kata pembenaran merujuk kolot, pemelintiran kebenaran hingga penghinaan melalui caci maki yang tercermin terbalik dari pendidikan tinggi yang dianut oleh individu terkait.
Apakah pemikiran saya skeptik? Hanya berfikir tentang kemungkinan negatif semata? Mari saya pikirkan. Hmm.. Tidak juga. Coba terka apa yang terjadi pada Indonesia beberapa waktu terakhir. Isu apa yang hangat dan gampang menjadi trending topic di dunia maya yang luas ini? Tentunya selain hal penting yang patut direspon layaknya alam, pendidikan, pembangunan karakter dll, hal yang populer dan membuat semua orang menjadi sahih saat berkomentar pastinya hal yang berhubungan dengan Suku, Agama dan Ras.
Ketika semua mengkonsepkan diri layaknya pentol korek (berkepala tapi digesek dikit, Nyala), bahkan hal sederhana mampu menjadi sebuah pemicu api. Salah kata. Video yang diedit. Masalah orang beda suku yang jualan di warung. Pahlawan yang dulu berjuang memerdekakan Indonesia yang kini tersimbolisasi dalam uang menjadi sebuah arena debat baru. Tidak munculnya karakter pahlawan dari daerah tertentu dalam nominal uang lama menjadi sebuah cela bagi keberlangsungan hidup (satu atau beberapa) masyarakat di daerah tersebut.
Lain nada sama lagu. Sekumpulan orang di daerah lain merasa dilecehkan akibat perwujudan gambar pahlawan yang pakaiannya tidak sesuai dengan anjuran dari keyakinan mereka yang terpampang dalam lembaran uang kertas. Tentunya wajah pendahulu kita terpampang karena jasanya memerdekakan negara dari penjajahan bangsa lain. Sebuah bukti kongkrit dimana kemanusiaan dan hak merdeka harus ditebus mahal bahkan hingga beratus tahun lamanya. Sebuah karya nyata demi kemerdekaan negara Indonesia. Jika pada masa tersebut pahlawan kita hanya memikirkan Suku, Agama dan Ras mereka, apa mungkin kita sekarang bisa menghirup udara kemerdekaan?
Sebuah pola kata penuh khianat kerap terlontar pada eksistensi dasar negara, Pancasila. Keraguan yang terucap keras lewat TOA yang dikendalikan oleh para pemimpin organisasi Suku, Agama Ras tertentu memperlihatkan bahwa negara sebaiknya (jika boleh dibilang, Harus) mengikuti aturan agama tertentu agar semua menjadi baik.
Sejarah coba dibelokkan. Perjuangan pendahulu kita coba dicoreng. Dengan lantangnya mereka menyumpah serapah kan segala aspek kenegaraan dan daruratnya negara jika suara mereka tidak didengar. Mereka siap menurunkan presiden! Mereka siap kudeta! Berawal dari kepentingan Suku, Agama dan Ras menuju Permakzulan? Sekarang anda tahu kemana pola dari seluruh kejadian ini.
Saya percaya Indonesia itu kaya. Indonesia itu indah dan diperebutkan oleh siapa saja. Kita saja yang terlanjur terlena hidup di negara yang asri ini. Sehingga kita kadang lupa bahwa kita hendak diadu domba bagi mereka yang ingin mengambil keuntungan dari negara ini. Apa yang mereka bisa buat untuk membuat kita tidak mencintai tanah air? Banyak. Angkat saja isu sensitif, agama misalnya, lalu benturkan dengan agama sebelah. Atau mau yang lain? Angkat isu tentang pendatang lalu kembangkan menjadi sentimen skala provinsi? Seketika lebarlah jurang dari tanah kerukunan yang dahulu mati – matian diperjuangkan oleh pendahulu kita. Mungkin menyiratkan sebuah utopia tingkat tinggi? Menginginkan merdeka sendiri tanpa tahu sulitnya mengelola sebuah negara.
Di sini saya tidak berbicara yang mana agama yang lebih dan yang tidak. Mana suku terhebat maupun bukan atau ras yang superior maupun kebalikan. Siapa juga yang tahu kita akan lahir di suku dan ras apa? Apakah selama kita hidup kita akan memupuk kebencian lantaran perbedaan warna kulit atau bentuk wajah dan dialek semata?
Kita semua tahu bahwa semua agama juga mengajarkan kebaikan. Mengajarkan kemanusiaan. Memanusiakan manusia. Membuat manusia menemukan jati diri menjadi manusia yang, ya, manusiawi. Bukan menjadikan agama sebagai perisai untuk mendobrak keyakinan ataupun bergulat dengan agama lainnya. Setahu saya agama dan keyakinan adalah urusan personal manusia dan Tuhannya. Itu saja sudah cukup sejuk untuk dilakukan. Rasanya tidak perlu kita menurunkan konsep agama dengan membawanya kedalam konflik duniawi.
Kita adalah manusia. Manusia yang memiliki hak sama untuk mempertahankan rumah, Indonesia, dari segala ancaman yang berpotensi mengusik kerukunan yang terjalin baik selama ini. Manusia yang lahir hidup dan (nanti) mati di Indonesia. Kita memiliki kepala yang pastinya bertujuan membuat sejuk dan memberikan aspek positif pada dunia ini. Bukan hanya terbatas pada Agama, Suku dan Ras semata. Tidak. Karena kita adalah manusia yang hakikatnya bisa berfikir panjang setidaknya dalam level berbangsa dan bernegara. Kita bukan pentol korek yang kepalanya digesek lalu nyala. Bukan Ckrek dan Buzzzz….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H