Mohon tunggu...
Agung Yudha
Agung Yudha Mohon Tunggu... -

Penulis merupakan individu yang saat ini menjadi pengajar di salah satu kampus di Denpasar, Bali. Seorang musisi Rock serta sutradara film. Selebihnya hanya warga biasa.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Agama, HAM, dan Krisis Toleransi dalam Masyarakat Sosial Media

7 November 2016   09:16 Diperbarui: 7 November 2016   09:27 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

2016. Masa ketika tulisan ini dibuat, penulis sedang berada di dalam suasana yang modern. Mulai dari penyampaian pesan yang sangat cepat, Batas dunia yang semakin tipis. Gadget canggih yang bertebaran namun tidak dibarengi dengan kesiapan mental yang cukup. Penulis sadar bahwa tidak ada yang salah dengan itu. Perubahan adalah hal yang selalu terjadi dan menjadi hakim atas semua kemungkinan kehidupan manusia di dunia. Apa yang ada dalam kepala ketika teringat masa dimana kehidupan begitu sederhana menjadi berbeda saat membuka mata dan melihat keadaan sekitar di jaman ini.
Smartphone yang didaulat sebagai piranti canggih tidak serta merta dimiliki pengguna yang juga smart. Berbagai informasi dapat ditilik dan dinilai secara individu. Pergeseran mental, isu SARA, modifikasi sejarah merupakan sedikit hal dan pengaruh yang diterima oleh kita saat ini. Lewat sebuah piranti dengan besarnya yang tidak lebih dari 6 inch, masyarakat kita sudah belajar banyak. Masyarakat kita sudah lebih maju dalam memahami keadaan dunianya. 

Dibandingkan dulu, masyarakat kita menjadi lebih pintar namun keblinger. Sulit membedakan berita palsu, minim pemikiran terhadap isu tertentu dan terpengaruh pada sebatas judul berita online, Bergesernya empati atas nama kelompok hingga hilangnya kepercayaan pada sesuatu yang sebenarnya baik.Sebuah contoh saya ambil ketika sebuah kasus mencuat yang melibatkan antara tenaga pendidik, murid dan orang tuanya. Tidak terima atas perlakuan guru yang mencubit anaknya ketika ribut di kelas, orang tua murid melaporkannya ke polisi. Atas nama HAM dan keadilan, berita ini kemudian menjadi konsumsi publik. Sebuah perenungan kemudian saya dapatkan ketika pikiran ini terlempar jauh dimasa pakaian wajib penulis masih berwarna merah putih. Sang guru didaulat menjadi orang tua kedua bagi anak didiknya. Kesalahan yang dilakukan tentu akan menerima ganjaran sepanjang hal tersebut tidak melewati batas. Jaman itu masyarakat masih sedikit yang mengenal mahluk yang bernama HAM namun entah kenapa karakter siswa lebih disiplin jika dibandingkan dengan hari ini. Hari ini para siswa bahkan sudah terlihat begitu berani dan percaya diri akan hidupnya. Ramai berseliweran di linimasa, foto kemesraan siswa SD, gambar siswa yang memberikan pose tidak baik pada gurunya namun gurunya terdiam ataupun umpatan – umpatan yang mengalir deras menanggapi sebuah isu yang terlontar dari pemilik media pengejar klik atas nama ekonomi. Apa yang dilakukan oleh gurunya mengetahui siswanya seperti itu? Mungkin akan terdiam, absen untuk mendidik mental karena takut dipolisikan oleh orang tua murid atas nama HAM. 

Para murid akan kembali pada aktivitas di depan layar smartphone serta berselancar tanpa batas dalam dunia maya. Mengonsumsi tayangan televisi yang mengajarkan kebut-kebutan motor masa sekolah atau fase cinta – cintaan lewat sinema elektronik (sinetron) yang seharusnya cocok dikonsumsi oleh remaja umur ke atas dengan filter yang cukup dalam diri mereka. Masyarakat kita kemudian dikuasai oleh Agama HAM. Jika ada yang tidak sesuai (walapun sebenarnya bisa ditoleransi), keluarlah Tuhan HAM yang akan membela.


Kesempatan menjelajahi dunia maya menjadikan karakter masyarakat menjadi terlalu cepat dewasa dalam berfikir namun minim dalam mental. Lihatlah sebuah postingan dalam sosial media khusus foto dan video orang terkenal, temukanlah minimal satu yang apatis atau mungkin lebih dari satu? Jika beruntung, kita akan menemukan berbagai umpatan ‘sadis’ dalam berita yang memiliki headline panas terhadap isu yang ada. Namun ketika diusut oleh aparat atas laporan yang tidak menerima hal tersebut, para komentator beramai – ramai meminta maaf disetiap media linimasa mereka dan bahkan menghapus komentarnya secara membabi buta. Bak seorang manusia yang ditinju di wajah karena awalnya berkoar – koar tanpa makna di masyarakat. Meringis dan menangis bagai seorang pecundang.


Fenomena lain adalah cepatnya masyarakat kita disetir terhadap isu yang ada. Cukup mengikuti sebuah laman populer, anda berkomentar kemudian jadilah anda yang paling ahli dengan kritik destruktif yang sama sekali tidak memberi kontribusi positif. Berkoar – koar bicara terhadap isu yang sebenarnya sensitif dan memerlukan pemikiran dalam sebelum menyampaikan pendapat. Isu tentang agama (salah satunya) kemudian dibalut sedemikian rupa dan dipersembahkan pada khalayak ramai dalam sebuah judul bombastis. Lihat pada kolom komentar, penulis kadang lebih asyik menyaksikan perdebatan panas tanpa ujung dibandingkan isi beritanya sendiri yang melempem. Sedangkan di belakang meja redaksi, pemilik kantor berita tertawa terpingkal – pingkal melihat grafik klik berita yang tersebar yang naik secara drastis untuk memenuhi pundi - pundi perusahaan.


Hal yang membuat penulis terpingkal – pingkal justru datang dari sebuah aksi seorang terpelajar nan dewasa yang mempermasalahkan stiker pada aplikasi chatting. Alih alih stiker yang ada (belakangan diketahui bahwa stiker tersebut memuat hal yang cukup dewasa) membuat risih dirinya karena anaknya yang masih kecil bisa mengonsumsi stiker tersebut, Sang terpelajar membuat surat terbuka akan keberatan dirinya dan meminta agar stiker dan yang memiliki nilai sejenis ditarik. Namun penting untuk diketahui, ternyata aplikasi chatting bersangkutan menggunakan persayaratan email / surel untuk pengaktifannya. Dalam peraturan global, pembuatan surel (surat elektronik) minimal dilakukan oleh orang yang berumur 18 tahun. Disini siapa yang patut disalahkan? Perusahaan chatting atau sang terpelajar dewasa yang memperbolehkan anaknya yang jelas – jelas belum lulus SD menggunakan aplikasi chatting tersebut? Walaupun terpelajar, mungkin sebaiknya tradisi membaca ditingkatkan kembali.

Dalam 10 tahun, ingatan yang sangat cepat memvisualisakan kembali akan apa saja yang pernah dialami penulis di masa lalu. Guru sebagai pendidik. Orang tua ikut berkontribusi bahkan disaat sedikit waktu luang baginya. Para siswa menjadi hormat dan mengetahui apa yang salah dan benar. Tayangan televisi yang masih bisa difilter untuk penonton (tayangan untuk anak, tayangan untuk remaja dan tayangan untuk dewasa yang dibedakan dari waktu penayangannya). Obrolan keluarga / teman di mana saja tanpa ribet menyapa orang jauh lewat piranti canggih yang tidak bisa lepas dari tangan. Waktu untuk bersosialisasi yang kini terasa mahal dan sulit untuk direalisasikan. Tidak ada yang salah dengan hari ini. Tapi kita bisa memulai diri agar kedepannya kita tidak salah menanggapi perubahan ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun