Besok malamnya saya telpon istri saya untuk menanyakan jalannya pertemuan tersebut. Istri saya kesal dan bilang kalau menyebalkan sekali. Pertemuan Komite Sekolah yang diceritakan di situ berlangsung tertutup sekali. Bahkan Wakil Dewan Kelas saja tidak diperkenankan masuk. Lalu diputuskan sekolah membutuhkan dana sekian milyar .... weleh .... dana BOS hanya 600 juta ... atau berapa gitu soalnya sinyalnya putus-putus. Untuk membangun mushola saja habis 700 juta ... lah tempat ibadah lagi .... perbaikan pintu WC habis 50 juta .... Jadi diputuskan oleh Komite Sekolah tiap siswa harus bayar sumbangan sekian juta ... plus SPP sekian ratus ribu per bulan. (Weleh-weleh .... jaman BP3 lagi. Bajunya saja yang ganti.) Dewan Kelas lain sudah sepakat, istri saya melanjutka, untuk mebayar separo dari sumbangan tersebut, sedang SPP tetap. Tinggal kelas anak kita yang belum putus. Demikian ceritanya, atau setidaknya begitulah yang saya tangkap.
Paginya saya mendapat sms dari nomer tidak dikenal yang dulu itu, mengabarkan bahwa berdasarkan rapat dengan komite sekolah, diputuskan sumbangan sebesar sekian juta untuk setiap anak dan SPP sebesar sekian ratus ribu per bulan. Pembayaran dapat ditransfer ke Rekening SMP Sekian ..... (Lha? Katanya rekening Komite Sekolah?). ... Lho jadi sudah diputuskan to?
Lalu pagi ini saya membaca artikel 6 hari lalu di sini
yang di awalnya berbunyi sebagai berikut:
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ombudsman Republik Indonesia menyatakan komite sekolah berperan sebagai pihak yang memunculkan pungutan liar dalam pelaksanaan dan penerimaam peserta didik baru (PPDB) 2013. "Mereka menjadi agen untuk mewakili kepentingan sekolah, bukan kepentingan peserta didik," kata anggota Ombudsman Bidang Penyelesaian Laporan dan Pengaduan, Budi Santoso.
Percaya apa tidak?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H