Mohon tunggu...
Agung prayogi
Agung prayogi Mohon Tunggu... Insinyur - Pewaris Semangat D

Book, Dream, and Love

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Marhaenisme dan Marxisme-Leninisme, Sama kah?

23 April 2022   11:08 Diperbarui: 23 April 2022   12:10 2031
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diskursus tentang marhaenisme selalu menjadi sesuatu yang menarik bagi saya, karena merupakan "pisau bedah" yang hingga saat ini saya gunakan dalam mengurai problematika masyarakat, yang kemudian meluaskan cakrawala saya, serta mendapat paradigma dalam memandang gejala sosial di era disrupsi seperti sekarang. 

Namun, dalam beberapa diskursus, saya cukup sering menemukan marhaenis yang membuat saya khawatir dan menyayangkan sikap mereka. Saya pikir fenomena ini merupakan salah satu sebab (dari sekian banyak sebab lainnya) mengapa marhaenis terasingkan dari kaum marhaen yang mereka perjuangkan, sehingga perjuangan mencapai kesejahteraan terasa makin berat. 

Saya merasa beberapa teman diskusi yang mengaku sebagai marhaenis, memiliki pemikiran yang terdistorsi dalam memahami marhaenisme, dan kabur dalam memandang antara Marhaenisme dan Marxisme-leninisme. 

Saya pikir ini adalah sesuatu yang sangat krusial, karena seluruh pemikiran tersebut memiliki ciri khas-nya masing-masing. Azas perjuangan yang berbeda, yang akan membuat strategi dan taktik dalam berjuang tentu akan berbeda pula. Saya mengakui, ada kemiripan dalam pola gerak, karakter, dan sifat. Tetapi jika kita dapat menggali marhaenisme dan menemukan api semangat Bung Karno. Perbedaan yang mencolok akan terlihat jelas didepan mata. 

Saya tidak akan membuat perbandingan teori yang mungkin akan memakan banyak waktu dan akan menjadi pembahasan yang terlalu lebar. kita dapat melihat perbedaan pemikiran tersebut dari cara mereka bergerak dan keputusan-keputusan dalam menghadapi masalah dan bukan merupakan opini yang dapat di intepretasikan secara berbeda, melainkan fakta sejarah yang dapat di telusuri kebenarannya. 

Saya akan mulai dari bagaimana marhaenisme berinteraksi dengan pandangan dan pemikiran lain, ini penting, karena hal inilah yang membuat marhaenisme sangat cocok dengan Indonesia yang multikultur. 

Pada 12 November 1922 dilaksanakan Kongres Komunis Internasional yang mengadopsi thesis yang didraft oleh lenin, yang salah satunya menjelaskan keharusan "perjuangan melawan pan-islamisme". Pan-islamisme dianggap melestarikan sistem feodalisme dan memperkuat para tuan tanah, yang mana keduanya merupakan musuh bagi ideologi marxisme-leninisme. Feodalisme seperti Kesultanan utsmaniyah dipersalahkan karena merupakan sistem yang menghisap dan mengakibatkan penderitaan bagi rakyat. Begitupun para tuan tanah Arab yang memiliki perkebunan dan buruh tani yang dianggap menghisap nilai lebih untuk kepentingan mereka sendiri. walaupun diakui pergerakan mereka juga melawan imperialisme Eropa dan Amerika. 

Islam dianggap sebagai musuh yang harus dikalahkan oleh marxisme-leninisme. Padahal jika kita melihat bagaimana PKI lahir, juga merupakan perpecahan dari Sarikat Islam yang sedikit banyak memiliki andil dalam kelahiran partai tersebut. Sebagai contoh lagi (walaupun melampaui garis waktu), kita dapat melihat keberhasilan revolusi Iran dalam menumbangkan monarki Muhammad Reza Pahlevi yang berkecendrungan barat pada saat itu. Faksi komunis Iran memutuskan bekerja sama dengan Islam syiah untuk mengobarkan revolusi. Kita dapat mengambil contoh ini untuk melihat efektifitas kedua gerbong besar ini bila bersatu, sekaligus menunjukan thesis yang dibuat marxisme-leninisme saat itu merupakan kekeliruan. 

Berbeda dengan Marhaenisme yang dari awal konsep ini digagas mengedepankan ketuhan. Melihat religiusitas Indonesia sebagai kekuatan dan keniscayaan dari Tuhan Yang Maha Esa, adalah penghianatan bila mengesampingkan pergerakan islam dan bukan sebagai teman berjuang. Bung karno dalam tulisan "Nasionalisme, Islam, dan Marxisme" juga mengisyaratkan kepada persatuan kekuatan tiga gerbong besar pergerakan di Indonesia kala itu dalam menghadapi Kolonialisme dan Imperialisme. 

Pada 7 November 1917 Lenin merebut kekuasaan di Rusia, mengatasnamakan kaum proletar yang pada saat itu hanya 1 persen dari keseluruhan rakyat Rusia. Atas dasar mempertahankan kekuasannya, Lenin menggunakan cara-cara keras, petani dipaksa untuk memberikan seluruh pasokan makanan mereka, menghilangkan nyawa lebih dari 200.000 orang dalam kurun waktu lima tahun kekuasaannya. Kelaparan merajalela akibat ekonomi sosialis yang belum matang.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun