Mohon tunggu...
Agung Gilang Pratama
Agung Gilang Pratama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Sedang belajar hukum (mahasiswa yang tersesat di jalan yang benar)

Maksud hati ingin masuk jurusan psikologi, namun justru nyasar di fakultas dan jurusan hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Toxic Parenting: Ekspetasi Setinggi Tembok Besar Cina

23 Februari 2024   17:37 Diperbarui: 23 Februari 2024   17:50 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

"Ibu itu marah ke kamu, karena masih sayang sama kamu, masih peduli sama kamu makanya ibu marahin. Kalau ibu sudah tidak marah-marah lagi ke kamu, artinya sudah tidak sayang lagi sama kamu".

Kurang lebih seperti itulah potret umumnya orang tua di Indonesia yang sedang menormalisasi hal yang sebenarnya telah salah kaprah, tepat setelah memukuli dan membentak anaknya dengan ungkapan-ungkapan kotor yang tidak pantas. Ini hanyalah secuil cerita teman yang pernah merasakan kerasnya didikan orang tua dengan alasan 'sayang'.

Tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya tidak berhasil. Itu pasti. Namun kerap kali, keberhasilan anak banyak dipengaruhi oleh ekspetasi dan harapan orang tua yang setinggi 'tembok besar cina' (di beberapa kasus bahkan aman juga kalau dibilang beliau-beliau itu memasang ekspetasi terhadap anak bahkan hingga setinggi langit). Umumnya orang tua juga banyak memberi tekanan dan wejangan (baca: memberi nasihat) akan tetapi lupa memvalidasi emosi anak terhadap apa yang dilakukan sehari-hari, apa yang dijumpai, apa yang menjadi keresahannya selama di luar sana menghadapi kejamnya hidup (menerima feedback emosional). Padahal ada 1 hal dasar yang tampaknya terlupakan dalam pengasuhan anak, yakni ekspetasi dan harapan tinggi yang gagal terpenuhi akan menciptakan rasa kecewa yang luar biasa besar. Terlebih orang tua yang posisinya selalu memberi dan jarang menerima, menciptakan sudut pandang "sudah berjuang" membuat orang tua berada di posisi kuat dan anak dalam posisi lemah sehingga terbentuk lah hierarki dalam kehidupan di rumah. Tidak ada yang salah dengan itu. Hanya saja keengganan orang tua untuk mendengarkan anaknya yang sebenarnya membutuhkan validasi emosional lah yang biasanya jadi pemicu masalah. 

Ada satu pertanyaan menarik yang sempat menari-nari sejak lama di kepala penulis, kenapa umumnya orang tua enggan mendengarkan anaknya bercerita? jawaban sederhananya menurut kami adalah ketidakmampuan menerima dan mengakui emosi positif maupun negatif yang dirasakan oleh anaknya, oleh sebab nantinya akan bersinggungan dengan ekspetasi dan harapan tinggi yang sudah orang tua bangun jauh-jauh hari bahkan ketika mungkin orang tuanya belum melahirkan anaknya tersebut. Khawatir bila perasaannya dikecewakan oleh realita yang diceritakan oleh anaknya, padahal seorang anak pun juga manusia. Sehingga di kehidupan sehari-hari, semua orang pasti sering menjumpai banyaknya anak yang lebih memilih teman atau orang asing sebagai tempat curhatnya ketimbang orang terdekat dalam keluarganya. Selain karena mungkin tidak akan didengarkan, ketidakmampuan orang terdekat menjaga lisan akan berpotensi membawa masalah besar bila ternyata yang sampai ke keluarga besar adalah aib dan masalah pribadi  itu tersebar. Sehingga tidak heran, seseorang lebih memilih untuk tidak dekat dengan keluarga karena mengurangi potensi masalah yang sebenarnya kecil akan menjadi besar. 

Pada akhirnya, semua pemuda akan jadi orang tua di masa depan. Tentunya, generasi saat ini adalah hasil dari produk dari generasi sebelumnya, harapannya adalah penyempurna. Dan semakin bertambah generasi akan makin tampak kalau generasi sebelumnya punya kekurangan dan begitu seterusnya. Yang perlu difahami adalah orang tua kita merupakan generasi terbaik di masanya, karena mampu bertahan sejauh ini. Terlepas dari seberapa besar rasa trauma yang mereka tinggalkan ke kita, mereka mungkin pernah merasakannya juga dari orang tuanya, namun tugas kita saat ini adalah menghormati dan menghargai apa yang telah mereka lakukan. Jangan pernah samakan mengkritik, menyakiti, dan membentak. Meskipun sama-sama mengucapkan kata-kata, karena yang membedakan semuanya adalah cara penyampaiannya. Sehingga penting untuk faham juga, "Bila ingin memberikan sesuatu yang baik, maka alangkah baiknya diberikan dengan cara yang baik pula. Pemberian sebuah berlian tidak akan pernah bernilai, saat kau menyampaikannya dengan cara yang menyakitkan".

"Kita tak akan pernah mampu mengubah orang lain, yang bisa kita ubah adalah cara kita menyikapi orang lain".


#CMIIW

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun