Di hutan pinus ini kami istrahat sebentar untuk mengendorkan urat syaraf. Cukup lima belas menit selanjutnya kami melewati jalan setapak. Hanya bisa dilewati satu motor saja. Jalan satu-satunya ini akan menuju ke air terjun Setapak. Di sebelah kanan tapak jalan adalah perbukitan. Di sebelah kiri, jurang yang cukup dalam. Kalau melihat ke arah kiri. Menegangkan sekali. Kami sangat berhati-hati melewati. Apalagi pada kondisi jalan yang mulai menurun sampai pada lokasi tujuan.
Tiba saatnya perasaanku sangat lega ketika sampai pada  pos masuk ke lokasi air terjun. Ada bangunan bergaya Joglo. Tempat parkir motor. Aku lihat beberapa anak muda mendirikan tenda. Tentunya mereka akan menginap untuk beberapa malam menikmati suasana.
Akses jalan menuju air terjun Setapak, Banaran hanya bisa dengan berjalan kaki. Kita bertiga berbagi untuk membawa perlengkapan yang sudah disiapkan dari rumah. Tenda, tas punggung serta perlegkapan lainnya. Melintasi sungai kecil . Air jernih mengalir. Di antara batu-batu besar. Hawa dingin merayapi badan. Udara sejuk mulai menyegarkan pikiranku yang sangat jenuh.
Aku lihat sebuah jembatan dari kayu papan. Menurutku modelnya bagus juga indah. Cuman posisinya agak menaik dan sedikit-demi sedikit menanjak menuju lokasi air terjun. Di sebelah kananku adalah tebing.Â
Di sebelah kiri aku melihat jurang dengan pohon-pohon besar tinggi menjulang. Tetap dengan berhati-hati akhirnya jembatan kayu papan  terlewati. Hingga sampai di air terjun Setapak, Banaran.
Sungguh pemandangan sangat luar biasa. Semua nampak di depan mata. Air tertumpahkan dari perbukitan. Bercampur suara kicau burung. Gemericik air mengaliri sungai kecil. Seperti alunan musik masuk ke telingaku. Bunyi-bunyi alam aku dengar seakan membentuk komposisi suara merdu. Subhanalloh.
Diantara lelah, lapar dan senang menjadi satu. Hendrik dan Yudha mulai membuka bekal yang kami bawa dari rumah. Selera makan hari ini sangat bergairah sekali. Momen menyantap makanan di sekitar air terjun Setapak, Banaran. Momen ini tidak pernah bisa kami lupakan. Kami mengabadikannya dengan berbagai gaya selfi. Banyak momen terabadikan di sini. Kamera HPku menangkap sudut-sudut obyek eksotik.
Aku hirup udara sejuk segar sebanyak-banyaknya. Memejamkan mata, menghirup udaranya berulang-ulang. Terasa sekali rongga paru-paru seperti mendapat oxigen murni. Ya, Alloh. Ya, Robbi. Ku sebut namaMu berkali-kali tiap udara segar itu memenuhi rongga paru-paru.
Sampai aku terhenyak ketika Hendrik memanggil. Suaranya nyaring sekali. Karena bercampur suara  air terjun. Makanya teriakannya lantang. Baru aku sadar, niat awalku ke sini adalah mengekspresikan diriku. Menghilangkan seluruh kejenuhan. Menikmati petualangan kecil. Menyusuri perjalanan, melihat panorama keindahan. dan aku akan menari di air terjun ini.
Segera ku ambil selendang. Hendrik bersiap untuk merekam. Yudha tertawa-tawa saja melihat tingkah-polahku mulai sedikit genit manja. Berlenggak-lenggok menari Jathil Obyok, tari tradisional khas Ponorogo. Tarian di atas batu besar. Berlatar belakang, air terjun tertumpah deras dari perbukitan. Gemulai tubuhku berpadu-padan dengannya, seolah menjadi sebuah perjumpaan manusia dan alam. Meninggalkan polemik, dilema, serta ketidakpastian. Aku tanggalkan semua hal, dimana sepanjang waktu aku hanya berharap kapan pandemi ini bisa diakhiri.
25 Â Juli, 2021