Ada satu pelajaran menarik yang saya dapatkan ketika mendengarkan siaran sebuah radio swasta saat dalam perjalanan menuju ke kantor beberapa hari yang lalu. Pelajaran yang sangat simpel dan sederhana, namun mengundang makna yang luar biasa tinggi dan luhur. Sebuah pelajaran tentang menjadi orang tua yang sukses yang berasal dari budaya Jawa. Sayapun sampai harus mengkonfirmasikan pemahaman saya dengan teman-teman yang berasal dari Jawa dan masih mengerti ajaran-ajaran Jawa untuk menulis tulisan ini. Tanpa bermaksud menafikkan ajaran-ajaran luhur dari budaya lainnya di Indonesia, saya pikir pelajaran ini sangat layak untuk disebarkan karena semuanya sangat terkait dan dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Mungkin banyak diantara generasi muda sekarang, yang berasal dari Jawa, sudah tidak lagi menganut atau bahkan tidak tahu mengenai ajaran ini. Untuk itu saya menuliskannya. Dan untuk anda yang bukan orang Jawa, termasuk saya, mungkin dapat memetik pelajaran berharga dari ajaran ini.
Ajaran Jawa untuk menjadi orang tua yang sukses:
Tutur - Mawur - Sembur - Tafakur -Â Syukur
Bagi anda yang berasal dari Jawa, mohon maaf dan sarannya apabila pemahaman saya kurang tepat. Dan alangkah lebih indahnya jika anda juga berkenan menambahkan pemahaman yang awam ini.
Tutur: Berbicara. Menurut budaya Jawa, menjadi orang tua haruslah pandai-pandai bertutur (berbicara), terutama didepan dan kepada anak-anak. Hal ini menjadi sangat relevan karena tutur kata orang tua akan sangat berpengaruh pada lingkungan, terutama anak-anak. Bahkan kita sering mendengar bahwa ucapan orang tua adalah do'a bagi anak-anaknya. Disini budaya Jawa mengajarkan kepada orang tua, atau calon orang tua agar pandai dan berhati-hati dalam bertutur kata, karena selain hal itu menjadi cerminan kualitasnya sebagai orang tua, anakpun akan meniru gaya dan cara orang tuanya berkomunikasi.
Mawur: Menebar. Budaya Jawa mengajarkan kita sebagai orang tua untuk pandai menebar kebaikan kepada sesama. Dari beberapa diskusi saya dengan teman orang Jawa, kebaikan yang ditebarkan oleh orang tua itu sebenarnya bukan hanya ditujukan bagi dirinya sendiri namun untuk kebaikan anak keturunannya kelak. Mereka percaya dan yakin bahwa jika mereka berbuat baik kepada orang lain dan lingkungan sekitar, maka kelak anak-anak mereka akan diterima dengan baik pula oleh lingkungannya. Jadi ibaratnya, mereka menebar kebaikan demi kebaikan anak keturunannya.
Sembur: Hak Veto. Ini yang mungkin agak sedikit tidak sejalan dengan alam demokrasi. Namun budaya Jawa mengajarkan orang tua untuk memiliki dan bahkan menggunakan hak veto ini. Dalam beberapa hal, saya dapat memahami ajaran ini karena peran dan tanggung jawab utama orang tua adalah menjaga dan mengarahkan anak-anaknya agar tetap berada dalam kebaikan. Sehingga orang tua harus bisa mem'veto' keputusan atau tindakan anak, jika memang hal itu dinilai tidak baik dan menyimpang. Namun demikian, di alam demokrasi seperti sekarang ini, hal ini perlu di kritisi, karena anak memiliki hak untuk menentukan pilihannya sendiri sesuai dengan hak asasi manusia tertinggi yang diberikan oleh Tuhan, yaitu kebebasan untuk memilih. Apa yang dapat dilakukan orang tua adalah mengarahkan dan menunjukkan konsekuensi dari setiap keputusan atau tindakan sang anak.
Tafakur: Berfikir. Tentulah kita sepakat bahwa berfikir adalah suatu keniscayaan bagi kita karena Tuhan telah memberikan akal kepada kita. Akan tetapi menurut budaya Jawa, pengertiannya lebih dalam lagi. Menjadi orang tua itu haruslah pandai dalam memikirkan kebaikan dan kesejahteraan keluarga. Tentu ini juga sangat relevan, karena setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik bagi anak dan keluarganya. Dan semua pasti akan melakukan apapun untuk mewujudkannya. Namun perlu digaris bawahi bahwa kebaikan keluarga yang dipikirkan pun haruslah kebaikan yang bermanfaat bagi orang lain. Jangan sampai ajaran ini disalah-gunakan untuk hal-hal yang berbau nepotisme, seperti pada masa orde baru dulu.
Syukur: Berterima Kasih. Menurut budaya Jawa, menjadi orang tua itu harus banyak ber "terima kasih". Artinya banyak "menerima" dan banyak "mengasih". Pengertian ajaran ini sangatlah luas dan dapat diaplikasikan dalam banyak hal. Namun saya ingin mengambilkan satu contoh sederhana saja. Bayangkan saat pertama kali anda menerima suatu pemberian dari anak anda, apa pun bentuknya dan berapa pun nilainya. Anda pasti merasakan kebahagiaan yang luar biasa dalam hati anda... Tahukah anda bahwa apa yang diberikan oleh anak anda itu adalah cerminan dari apa yang anda berikan padanya? Coba pikirkan lagi yang satu ini. Bukankah nanti, semua ajaran baik kita kepada anak akan kembali kita terima sebagai amal anak yang shaleh yang pahalanya tidak akan pernah putus?
Itulah pelajaran luhur yang bisa saya petik dari sebuah ajaran kebijaksanaan bangsa Indonesia. Bangga rasanya menjadi bagian dari bangsa yang luhur dan bijaksana, terlepas dari permasalahan yang ada. Lalu, akankah kita berfokus pada masalah yang sedang hangat dengan berlomba-lomba mencari siapa yang salah? Ataukah kita akan berjuang bersama menumbuhkan kembali nilai-nilai kebijaksanaan dan kebaikan bangsa kita? Kalau saya pilih yang kedua.
Bagaimana dengan anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H