Efektif sejak tanggal 1 Juli 2015, Indonesia secara resmi melengkapi penerapan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sebagai salah satu amanat Undang-Undang nomor 40 tahun 2004 ditandai dengan mulai beroperasinya BPJS Ketenagakerjaan (BPJS TK), menyusul BPJS Kesehatan yang telah lebih dahulu beroperasi sejak tanggal 1 Januari 2014. Sebagai badan penyelenggara jaminan sosial, BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan empat program yakni Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), dan Jaminan Kematian (JK).
Dari keempat program tersebut, program yang akan memberikan dampak langsung terhadap income replacement ratio (IRR) adalah JHT dan JP. IRR adalah penghasilan kotor seseorang setelah pensiun, dibagi dengan penghasilan kotornya sebelum pensiun. Misalkan seseorang memiliki penghasilan kotor 10 juta rupiah per bulan sebelum pensiun, apabila setelah pensiun orang tersebut memiliki penghasilan kotor, baik itu dari hasil usaha maupun dari hasil tabungan selama bekerja, sebesar 7 juta rupiah per bulan, maka IRR orang tersebut adalah 70%.
Pemberi Kerja wajib mendaftarkan seluruh Pekerjanya kepada BPJS TK sebagai peserta JHT dan JP. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 46 tahun 2015, Iuran JHT telah ditetapkan, yaitu sebesar 5,7% dari upah (upah pokok + tunjangan tetap) dan wajib ditanggung oleh dua pihak, yaitu karyawan dan pemberi kerja. Karyawan wajib menanggung iuran 2% dari upahnya, dan selebihnya (3,7%) ditanggung oleh pemberi kerja. Iuran ini wajib dibayarkan setiap bulan.
Demikian juga dengan JP, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 2015, iuran sebesar 3% dari upah per bulan dibayarkan setiap bulan ditanggung bersama oleh pemberi kerja dan karyawan dengan ketentuan 2% dari upah ditanggung oleh pemberi kerja dan 1% dari upah ditanggung oleh karyawan.
Dari uraian tentang iuran program JHT dan JP di atas, dalam sebuah tulisan di website BPJS TK dan sebuah artikel berita mengenai Employee Benefit Forum, ternyata hanya dapat menghasilkan IRR pada kisaran 35% sampai dengan 40%. Angka ini mendekati ketentuan International Labour Organization (ILO) yang mensyaratkan pendapatan setelah tidak bekerja minimal sebesar 40%.
Laporan statistik dari Pusat Biro Statistik Indonesia (BPS) menunjukkan bahwa untuk orang yang lahir setelah 1990 akan memiliki harapan hidup pada usia 59,8 tahun dan bagi mereka yang lahir setelah tahun 2000 akan memiliki harapan hidup pada usia 65,5 tahun. Usia pensiun tiap perusahaan berbeda-beda tergantung pula dengan tingkatan dan kedudukannya, Â bila diambil secara keumuman, usia pensiun biasanya berada pada usia 55 tahun. Artinya pendapatan setelah pensiun harus dipertahankan setidaknya untuk selama periode 4.8 - 10.5 tahun.
Walaupun angka IRR di atas sudah hampir mendekati ketentuan ILO, angka tersebut masih di bawah rata-rata IRR negara-negara dalam laporan The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) tahun 2017, yaitu 52%.
Dalam acara Pension Core Course 2016 yang dilakukan oleh Bank Dunia, ada laporan yang menunjukkan bahwa pengeluaran setelah pensiun per keluarga di Indonesia adalah berada dalam kisaran 65.65% sampai dengan 68.51%.
Namun, dari riset melalui artikel-artikel yang terdapat di Internet, banyak ditemukan wisdom yang menyebutkan bahwa angka IRR yang ideal dengan perubahan gaya hidup yang masih bisa diterima, adalah berada di angka 75%.
Masih terdapat kesenjangan yang jauh antara IRR yang diperoleh melalui JP dan JHT dengan angka ideal yang diharapkan! Secara logika awam, kalau memang benar hasil IRR dari investasi dana pensiun di BPJS TK berada di kisaran antara 35% sampai dengan 40%, untuk mencapai IRR ideal di angka 75%, bukankah kita tinggal menggandakan iuran yang JHT 5.7% dan JP 3% itu? Tentunya hanya pihak BPJS TK yang bisa menjawab ini.
Dalam tulisan ini, kita tidak akan membahas kemungkinan menggandakan iuran tersebut, karena kita akan membutuhkan informasi lebih banyak mengenai strategi investasi BPJS TK. Kita akan mencoba menelisik alternatif kesertaan dana pensiun secara sukarela.
Untuk mengisi kesenjangan, karyawan dapat secara sukarela bergabung menjadi peserta program dana pensiun yang dikelola oleh Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK). Berdasarkan UU nomor 11/1992 yang dijelaskan lebih jauh oleh PP 76/1992 dan 77/1992, DPLK adalah Lembaga pengelola dana pensiun yang hanya dapat didirikan oleh lembaga keuangan seperti bank atau perusahaan asuransi jiwa. Peserta DPLK dapat berupa individu atau kelompok yang administrasi kesertaannya bisa didaftarkan oleh pemberi kerja. Program-program yang ditawarkan oleh DPLK adalah program kontribusi yang ditetapkan secara eksklusif Kepada pesertanya. Per Desember 2017, ada 23 DPLK di Indonesia yang mengelola total 75.5 triliun rupiah dana pensiun dari 2.961.942 peserta.
Namun demikian, masalah kesenjangan yang dijelaskan di atas masih tetap ada. Berdasarkan laporan OJK antara 2015 hingga 2017 menunjukkan bahwa pengembalian investasi tahunan (ROI) dana pensiun yang dikelola dalam DPLK berada di kisaran 5.8% hingga 6.3%. Laporan OJK juga mengungkapkan bahwa para peserta adalah risk averse. Hal ini ditunjukkan oleh total alokasi dana pensiun dalam laporan bulan Mei 2018: 61.14% dialokasikan dalam deposito; 31,2% dialokasikan dalam obligasi dan surat hutang; 3.75% dialokasikan dalam reksa dana dan sekuritas yang didukung aset; 3.88% dialokasikan dalam saham; dan sisanya ada di alokasi lain berupa tanah dan bangunan.
Dapat dikatakan bahwa, kebanyakan peserta program dana pensiun cenderung lebih ke arah alokasi yang sangat konservatif. dengan eksposur saham di bawah 20% dari dana pensiun. Hal ini bisa dipahami karena, portofolio dana pensiun dengan persentase alokasi saham yang lebih tinggi dapat dengan mudah kehilangan nilai sampai dengan 25% atau lebih pada saat terjadi penurunan pada nilai pasar modal yang parah.
Tapi, dana pensiun perlu tumbuh, sambil harus aman!
Di negara-negara di mana kondisi industri pensiun sudah lebih berkembang, peserta dana pensiun memiliki lebih banyak pilihan yang ditawarkan oleh pengelola dana pensiun, yang paling popular adalah Target Date Fund (TDF).
TDF, kadang-kadang juga disebut sebagai life cycle fund, yaitu pengelolaan dana yang menggabungkan berbagai strategi investasi ke dalam satu dana kelolaan. Konsepnya adalah bahwa peserta dana pensiun, berdasarkan tanggal target pensiun mereka, dapat dengan mudah memilih satu dana kelolaan dengan beragam alokasi aset yang akan dikelola untuk mereka selama seumur hidup. Alokasi aset dan investasi di dalam TDF akan menyesuaikan seiring waktu. Dana tersebut disusun untuk memenuhi kebutuhan hidup pada suatu saat di masa depan pada masa pensiun. Toleransi risiko TDF lebih agresif pada awal-awal usia produktif, kemudian seiring waktu menjadi lebih konservatif ketika mendekati tanggal target obyektifnya. Tanggal target obyektif ini biasanya adalah tanggal memasuki masa pensiun, bisa juga sebelumnya atau setelahnya, tidak mengikat.
Di U.S., lebih dari $700 miliar diinvestasikan dalam TDF pada akhir 2014. Sebuah studi oleh Aon Hewitt dan Financial Engines, dari 425 ribu peserta dana pensiunnya U.S., 401 (k), dari tahun 2006 hingga 2010 menemukan bahwa mereka yang menggunakan TDF memiliki imbal hasil rata-rata per tahun yang lebih tinggi.
Peserta dana pensiun yang mengelola alokasi dana sendiri memiliki portofolio yang jauh lebih berisiko karena mereka tidak menyeimbangkan secara aktif portofolio mereka. Pada saat krisis tahun 2008, sebagian dari peserta dana pensiun yang panik selama crash, membuang proporsi saham di portofolio mereka sampai habis, sehingga kehilangan kesempatan pada saat pasar rebound di tahun 2009.
Sebaliknya, setelah pasar melemah, TDF justru membeli lebih banyak saham murah untuk mempertahankan alokasi aset sebagaimana yang telah direncanakan.
 Di Indonesia, hingga saat ini, belum ada DPLK yang menawarkan TDF kepada peserta dana pensiun. Hal ini yang kemudian menjadi pertanyaan, mengapa tidak ada DPLK di Indonesia menawarkan TDF kepada para peserta pensiun?
Dari hasil pembicaraan dengan beberapa pihak yang relevan dengan dana pensiun dan DPLK, saya rangkumkan sebagai berikut, rangkuman ini boleh jadi hanya pandangan individu tidak mewakili kelompok:
- Bagi DPLK, ada keraguan bahwa TDF memiliki daya tahan yang lebih baik dalam menghadapi volatilitas pasar modal, terutama di saat sedang terjadi perubahan alokasi dana.
- Bagi manajer investasi, ada keraguan bahwa produk ini akan laku dipasarkan, mengingat fee-nya akan lebih tinggi dibanding dengan investasi secara langsung.
- Bagi asuransi jiwa, ada keraguan untuk membentuk DPLK dikarenakan proyeksi perhitungan profit yang lebih kecil dibanding dengan fokus berjualan produk yang benar-benar merupakan produk asuransi jiwa.
Dari uraian di atas, saya bermaksud memberi urun saran yang semoga bisa menjadi masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dengan industri pensiun di Indonesia, terlebih lagi kepada pihak-pihak yang mempunyai perhatian kepada rakyat Indonesia demi menyiapkan masa pensiun yang sebaik-baiknya untuk masa yang akan datang. Saran-saran tersebut adalah sebagai berikut:
- Kepada pemerintah untuk lebih mengampanyekan kesertaan dana pensiun secara sukarela. Statistik menunjukkan sejauh ini peserta DPLK hanya 2.9 juta peserta, ini pun kemungkinan besar karena didaftarkan oleh pemberi kerja, bukan benar-benar sukarela. Semakin banyak masyarakat yang menjadi peserta dana pensiun sukarela, semakin banyak orang yang menyiapkan IRR di masa pensiun, sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga ataupun negara.
- Kepada pemerintah (lagi), untuk menyegerakan pengesahan rancangan revisi UU No. 11 tahun 1992 yang membolehkan pendirian DPLK tidak hanya oleh Bank atau Asuransi Jiwa. Sehingga pihak-pihak yang benar-benar memiliki perhatian kepada industri dana pensiun diberikan kesempatan untuk bisa mendirikan DPLK dan bertumbuh bersama peserta dana pensiun secara saling menguntungkan.
- Kepada DPLK dan manajer investasi, untuk mulai mencoba bereksplorasi mengenai TDF dan mulai membuat produk unggulannya.
- Kepada pemberi kerja untuk memberikan kemudahan bagi peserta yang ingin menjadi peserta dana pensiun melalui DPLK. Hal ini karena bagi karyawan untuk menjadi peserta dana pensiun melalui DPLK membutuhkan dukungan administrasi kepegawaian dari pemberi kerja terutama mengenai manfaat pajak.
- Kepada siapa saja yang sudah lebih dulu "melek" investasi dan dana pensiun, apakah dari pemerintah, pelaku industri, konsultan profesional, atau pun individu, untuk memberikan edukasi kepada masyarakat awam tentang pentingnya pengelolaan dana pensiun.
- Kepada akademisi, untuk melakukan penelitian, menjawab keraguan-keraguan dari pihak-pihak yang berkaitan dengan dana pensiun: apakah benar TDF memiliki daya tahan yang lebih baik terhadap volatilitas pasar modal; apakah cukup efisien untuk berinvestasi menggunakan TDF memperhitungkan ada fee pengelolaan yang lebih tinggi dibandingkan investasi langsung; apakah TDF bisa menjadi sarana investasi yang efektif untuk memperoleh IRR yang lebih baik; dan apakah benar keuntungan dari mengelola dana pensiun memberikan profit yang lebih sedikit daripada menjual produk-produk investasi lainnya.
Demikian tulisan yang saya rangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat untuk Indonesia, semoga para pensiunan bisa menikmati masa pensiunnya dengan tenang dan nyaman, dan semoga industri dana pensiun di Indonesia semakin maju.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H