Mohon tunggu...
Agum Fath Datulemba
Agum Fath Datulemba Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Sedang Skripsi, Biar Cepat Resepsi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Data, Ada-ada Saja Masalahnya

17 Juli 2020   14:45 Diperbarui: 17 Juli 2020   14:47 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sabar menjadi sesuatu yang tidak ada habisnya. Bahkan jika ditanyakan kapan batas seseorang untuk bersabar, ya sabar saja. Dalam pembelajarannya di madrasah pun, sabar menjadi bagian dari bab ahlak terpuji yang menjadikan setiap orang dengan harapan memperoleh kebaikan dari kereligiusannya akan selalu menerapkan perilaku sabar. Tak terkecuali dalam sebuah pekerjaan, tim yang melakukan pengumpulan data juga dituntut untuk memiliki kuota kesabaran yang tidak ada batasnya saat menghadapi lingkungan dan masyarakat yang beragam. Ketika ada masyarakat yang menolak untuk dijadikan responden, ya sabar saja.

Sebagai negara kepulauan dengan jumlah penduduk mencapai 263,9 juta jiwa menurut Ditjen Dukcapil pada Triwulan II 2018, menuntut Indonesia harus memanfaatkan data dengan baik. Jumlah penduduk sebanyak itu menjadikan Indonesia sebagai negara yang berpotensi menghasilkan Big Data. Belakangan Presiden Republik Indonesia, Pak Joko Widodo memberi pernyataan bahwa data menjadi kekayaan baru Indonesia. 

Bapak Presiden juga menegaskan bahwa data lebih berharga daripada minyak. Namun seperti halnya pepatah "semakin tinggi pohon semakin kencang angin berhembus", semakin besar potensi suatu Negara menghasilkan big data maka semakin berat juga tantangannya. Saat pandemi misalnya, terjadi polemik basis data antar instansi di Indonesia.  

Di beberapa kasus terdapat perbedaan data antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang memunculkan polemik baru mengenai data siapa yang benar. Kasus mengenai data yang saling tumpang tindih saat pemberian bansos antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menunjukkan bahwa masih terdapat banyak versi data untuk suatu subjek. 

Akibatnya, alih-alih memberi solusi dari data yang dimiliki justru memunculkan permasalahan baru. Bantuan yang seharusnya diberikan kepada masyarakat yang layak menerima bantuan malah tersalurkan kepada masyarakat yang berkecukupan. 

Selain itu, masih banyak Desa ataupun Kelurahan yang kurang update dalam memberikan data masyarakatnya. Bahkan sering dijumpai demografi dan monografi suatu Desa/Kelurahan merupakan hasil pengumpulan data yang lebih dari 5 tahun silam.

Tantangan memanfaatkan data menjadi kebijakan yang tepat sasaran bukan hanya menjadi tantangan bagi instansi-instansi yang memiliki kewenangan dalam hal memberi bantuan sosial saja. 

Upaya mengeluarkan program dan kebijakan berdasarkan data juga menjadi tantangan bagi instansi-instansi lainnya. Meski semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan munculnya berbagai macam teknik pengumpulan data, instansi-instansi masih sering melakukan pengumpulan data secara konvensional atau dengan kata lain menyebarkan angket/kuisioner di tengah-tengah masyarakat. Sehingga tak jarang tim pengumpul data mendapat penolakan dari masyarakat yang akan didata.

Penolakan tersebut beragam sebabnya, yang paling sering ditemui adalah penolakan akibat seringnya masyarakat didata dan didata. Coba bayangkan, berapa jumlah kementerian di Indonesia ditambah dengan berapa badan setingkat kementerian jika melakukan survei ke masyarakat setiap satu tahun sekali. Belum lagi ditambah dinas-dinas yang berada di level Provinsi dan Kab/Kota yang jika dikalkulasikan menjadi semakin banyak data dan semakin sering upaya melakukan pengumpulan data.

Data yang dikumpulkan pun melewati serangkaian tahapan untuk sampai pada kesimpulan. Umumnya, data yang dikumpulkan selanjutnya di uji kevalidannya, di olah, di analisis, dan selanjutnya disimpulkan. Dengan bayangan seperti itu, sudah jadi barang tentu masyarakat menjadi bosan dengan data yang dikumpulkan tanpa memberikan kebijakan yang tepat untuk masyarakat yang didata tadinya. Orang-orang yang melakukan pengumpulan data di lapangan pun sudah sangat familiar dengan penolakan dan keluh kesah masyarakat seputar kebijakan dan penerima manfaat dari sebuah kebijakan yang tidak tepat sasaran.

Kalau soal data ada-ada saja masalahnya, ya karena data memang berangkat dari sebuah masalah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun