Artinya: “Sahabat kalian (yakni Muhammad SAW) tidak sesat dan tidak pernah keliru. Ia tidak mengucapkan sesuatu menurut hawa nafsunya. Apa yang diucapkannya adalah wahyu, yang Allah wahyukan kepadanya.” (Q.S.An Najm: 2-4)
dengan demikian, cukup gamblang, bahwa yang dimaksud dengan Ahlul Bait itu adalah keluarga Rasulullah yang berjumlah 5 (lima) orang, yaitu Rasulullah SAW, Ali bin Abi Thalib, Fatimah Az Zahra, Hasan dan Husein. Kelima orang ini, manusia-manusia yang sengaja dipilih Allah SWT sebagai manusia yang paling beriman, paling bertaqwa, yang tercermin dalam perilaku mereka sehari-hari.
Mencintai Ahlul Bait Rasulullah SAW
Sebagai salah satu tinggalan Nabi Muhammad SAW untuk umatnya, keturunannya sudah selayaknya mendapat penghormatan dan rasa cinta seperti yang beliau terima. Sebagaimana anjuran dari sahabat Rasulullah SAW, Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq mengatakan, “Cintailah Muhammad SAW melalui cinta kepada para keturunannya (Ahlul Bait).”
Lebih lanjutnya, perintah terkait Ahlul Bait ini kemudian dijelaskan sebagai salah satu dari dua hal yang mesti dipegang teguh oleh umat Rasulullah. Dari Abi Said al-Khudri ia berkata, Rasulullah SAW bersabda.
Artinya: ”Sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian dua wasiat, Kitabullah Al-Qur’an dan keluargaku (ahlul bait).” (HR at-Tirmidzi).
Tak hanya itu, Al-Qur’an melalui surah Asy-Syura ayat 23 pun mengatur perintah untuk mencintai Ahlul Bait. Dalam ayat tersebut disebutkan, “Katakanlah (wahai Muhammad): Aku tidak meminta upah kepada kalian kecuali rasa cinta kepada kerabatku,” Dalam tafsir disebutkan bahwa yang dimaksud kerabat disini adalah Ahlul Bait. Dengan demikian, jelas perintah memuliakan dan mencintai Ahlul Bait merupakan perintah langsung dari Allah SWT yang wajib dipatuhi.
Namun, meski telah kuat dasar perintahnya, masih saja terdapat hati yang tidak dapat menerima perintah tersebut. Mereka yang demikian, berpandangan bahwa semua manusia sejatinya sama di hadapan Allah SWT, hanya amal dan takwalah yang membedakannya. Ungkapan tersebut tidaklah keliru, karena asal-muasalnya juga bersumber dari Al-Qur’an. Namun sebenarnya, tanggapan seperti ini tidak berada di konteks yang tepat. Sebab, konteks menghormati Ahlul Bait adalah konsep sosial, hubungan manusia dengan manusia. Bagaimana urusan mereka dengan Allah SWT, adalah urusan yang bukan ranahnya untuk kita campuri.
Sebab konsep menghormati Ahlul Bait ini adalah konsep sosial, mari bersama-sama kita analogikan dengan fenomena sosial lain. sebagaimana yang kita tahu, dalam bermasyarakat, seseorang memiliki kedudukan tertentu. Kedudukan yang ia miliki mempengaruhi sikap dan kewajibannya terhadap seseorang di kedudukan yang berbeda. seperti contoh, misalanya seorang murid secara sosial wajib menghormati guru dan orang tuanya. Hal ini merupakan fitrah manusia, untuk menghormati seseorang dengan kedudukan tertentu, tanpa menyangkut pautkan hubungan mereka dengan Tuhannya.
Konsep inilah yang terjadi pada kewajiban menghormati Ahlul Bait. Sebagaimana seorang anak yang harus menerima takdirnya sebagai seorang anak dan murid, muslim ahwal (bukan Ahlul Bait) juga harus menerima takdirnya sebagai manusia yang bukan dari golongan Ahlul Bait. Penerimaan ini bukan hanya menerima nasib diri sendiri, namun juga menerima kewajiban yang ditangguhkan untuk menghormati Ahlul Bait. Sekali lagi, posisi Ahlul Bait dalam kehidupan sehari-hari tidak berbeda seperti adanya orang tua atau guru yang kita hormati. Kita tidak pernah berharap dilahirkan di tahun tertentu, namun takdir membawa kita untuk menghormati orang yang lahir di tahun sebelum kita lahir.
Mesti digarisbawahi pula, pemuliaan terhadap Ahlul Bait ini jangan lantas dijadikan alasan untuk merendahkan mereka yang ahwal. Sebab para Ahlul Bait sendiri tidak dididik untuk gila akan sikap hormat dari para pecintanya (muhibbin). Sebagaimana yang dicontohkan oleh salah satu kakek moyang Ahlul Bait, Sayyidina Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali, dimana ia tidak pernah menaruh rasa benci kepada Umar bin Sa’ad, pembunuh ayahnya di Padang Karbala. Pembalasan setimpal dalam syariat Islam (qishas) pun tidak dilakukannya.