Mohon tunggu...
Agustina Pandiangan
Agustina Pandiangan Mohon Tunggu... Relawan - Simple

Sedang berproses

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Selamat Natal, Bu

23 Desember 2021   08:19 Diperbarui: 23 Desember 2021   10:19 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ayah, Saya berangkat dulu."

Ayah tak menyahut.  Ayah hanya melihatnya dengan matanya,tapi tidak dengan jiwanya. 

Sudah satu tahun Ayah menghabiskan waktu di kamar hanya memandangi foto Ibu dan membisu. Selama itu Ayah merenung kepergian Ibu. Selama itu Ayah mendamba bayang-bayang Ibu yang tak dapat dipeluknya barang sedetik pun.

***

Lima tahun berlalu. Nenek masih wanita tua yang hobi berceloteh. Sekarang semakin meningkat. Nenek berbakat mendesak.

"Kapan kamu pulang? Apa kamu tidak kangen berkumpul bersama keluarga? Pokoknya kamu harus pulang!" tegas Nenek melalui telepon.

Ketika Ia sudah bisa hidup mandiri di rantau, Nenek tidak pernah meminta apapun darinya. Nenek hanya memintanya pulang setiap Natal.  Ia mempertimbangkan desakan itu secara masak-masak. Ia niatkan untuk pulang tidak karena moment kumpul keluarga yang membahana tapi karena Nenek.  Desakan seorang Ibu. Baginya, Nenek lebih dari seorang Ibu.

Setelah menempuh hampir tujuh jam perjalanan di dalam bus, akhirnya Ia sampai di rumah.  Ia terdiam cukup lama sebelum melangkakan kaki ke teras rumah. Ia memandangi sosok wanita bertubuh sedang dengan rambut digerai menunggunya di teras rumah.  Wanita itu jelas bukan Nenek. Wanita itu adalah Ibu. Ibu yang melepaskan jemarinya enam tahun lalu di subuh hari. Ibu yang menghiraukan air matanya yang tumpah pada pernyataan "Ibu, jangan pergi."

"Apa kabar, Nak?"  ujar Ibu sambil mengulurkan tangan.

Ia lama tak menyambut uluran tangan itu. Kemudian Nenek muncul dan memerhatikan keduanya. Nenek memberi isyarat padanya supaya Ia ramah pada Ibu. Akhirnya, kedua telapak tangan itu bersatu seperti sepasang asing yang baru hendak memperkenalkan diri.

Kemudian Ibu menyarankan Ia untuk istirahat. Mungkin karena Ibu tahu Ia lelah atau tahu bahwa Ia tidak ingin berlama-lama berhadap-hadapan. Entahlah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun