Mohon tunggu...
Rana Farrasati
Rana Farrasati Mohon Tunggu... Ilmuwan - Agriwatch - share knowledge and information about agriculture nowadays!

full time researcher, half time illustrator and musician.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Enigma Kelapa Sawit di Indonesia, Ekonomi vs Ekologi

21 Juni 2018   14:47 Diperbarui: 21 Juni 2018   14:47 1223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan utama  yang dinobatkan sebagai aset negara dan lokomotif perekonomian nasional karena jasanya dalam memberikan devisa terbesar dalam sektor pertanian melalui produk minyak nabati dan turunannya (oleofood, biomaterial, bioethanol, dan bioplastik). 

Di Indonesia, perkebunan kelapa sawit menyebar dengan luas mencapai 11,4 juta hektare di daerah Aceh, Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. [1] Indonesia merupakan negara pengahasil minyak nabati bersertifikasi RSPO dan ISPO terbesar di dunia dengan sumbangsi sebesar 51%, yang selanjutnya diikuti oleh Malaysia pada urutan kedua.

Sumber: www.undp.org
Sumber: www.undp.org
Bagi Indonesia dan Malaysia, sawit merupakan tanaman dengan berjuta manfaat yang selaras dengan tujuan global yang dibangun oleh PBB (Sustainable Development Goals/SDG). 

Perkebunan kelapa sawit yang dibangun dengan penerapan sistem berkelanjutan sesuai dengan sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) dan RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil) bersifat multiplier effect (output) dimana setiap permintaan CPO (crude palm oil) yang meningkat akan memiliki andil dalam mendukung pengentasan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan, kesehatan masyarakat lokal, kualitas pendidikan, tingkat ekonomi para petani, dan kesetaraan gender, serta mengurangi tingkat kelaparan (kesenjangan pangan) bagi para pekerjanya (SDG 1, 3, 4, 8, 10).

Meskipun memiliki peran yang sangat signifikan dalam peningkatan perekonomian Indonesia, industri kelapa sawit harus menghadapi tantangan yang sangat pelik terkait isu lingkungan. Terdapat sejumlah oknum  dalam politik perdagangan minyak nabati dunia yang kemudian memberikan informasi kurang tepat dan berakhir dengan pemberian sebutan 'eco-villain' dan citra buruk perkebunan kelapa sawit terhadap lingkungan disekitarnya. 

Pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit merupakan kambing hitam dari tingginya laju deforestasi dan proses global warming yang tengah terjadi, terutama pada lahan marginal seperti lahan gambut.

Sumber: shuttershock.com 
Sumber: shuttershock.com 
Seringkali, pernyataan buruk tentang kelapa sawit tidak didasari oleh penelitian yang terperinci dan berkesinambungan sehingga menimbulkan misinterpretasi bagi masyarakat yang membacanya. Perlu diketahui bahwa pada dasarnya, setiap pembukaan lahan untuk budidaya komoditas pertanian (rape seed, kedelai, ubi kayu, jagung, bunga matahari, kelapa sawit) pasti memiliki ekosistem dan fungsi penyediaan jasa lingkungan yang tidak lebih baik daripada hutan hujan tropis. 

Namun demikian, kelapa sawit berpotensi untuk menggantikan above ground biomass lebih cepat, menyerap karbon lebih banyak, lebih efisien dan tidak lebih ekspansif dalam memproduksi minyak nabati (8-10 kali lipat per hektare lebih tinggi dari produktivitas tanaman lainnya). [2,3,4]

Kelapa sawit umumnya mengembangkan usaha dari konversi lahan terdegradasi seperti shrubland dan hanya 5,3% berasal dari hutan  primer. [5] KLHK menambahkan bahwa sawit merupakan tanaman yang paling ramah lingkungan dan memiliki kebutuhan air lebih sedikit jika dibandingkan dengan tanaman hutan lainnya (hutan industri), seperti mahoni, jati, sengon ataupun akasia. 

Praktik perkebunan kelapa sawit yang memperhatikan keberlanjutan hutan konservasi dan hutan dengan kandungan karbon, tidak membuka lahan baru dengan sistem slash and burn, menekan emisi gas rumah kaca.

Pengelolaan lahan gambut sesuai kaidah konservasi dan BMP (best management practices), meminimalisir penggunaan bahan kimia dalam pengendalian hama serta penerapan konsep zero waste dan integrasi sawit sapi dalam proses produksi CPO dari hulu ke hilir merupakan berbagai upaya dalam mendukung tercapainya SDG 13 dan 15 (climate regulation and life on land). [6,7]  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun