Kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan utama  yang dinobatkan sebagai aset negara dan lokomotif perekonomian nasional karena jasanya dalam memberikan devisa terbesar dalam sektor pertanian melalui produk minyak nabati dan turunannya (oleofood, biomaterial, bioethanol, dan bioplastik).Â
Di Indonesia, perkebunan kelapa sawit menyebar dengan luas mencapai 11,4 juta hektare di daerah Aceh, Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. [1] Indonesia merupakan negara pengahasil minyak nabati bersertifikasi RSPO dan ISPO terbesar di dunia dengan sumbangsi sebesar 51%, yang selanjutnya diikuti oleh Malaysia pada urutan kedua.
Perkebunan kelapa sawit yang dibangun dengan penerapan sistem berkelanjutan sesuai dengan sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) dan RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil) bersifat multiplier effect (output) dimana setiap permintaan CPO (crude palm oil) yang meningkat akan memiliki andil dalam mendukung pengentasan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan, kesehatan masyarakat lokal, kualitas pendidikan, tingkat ekonomi para petani, dan kesetaraan gender, serta mengurangi tingkat kelaparan (kesenjangan pangan) bagi para pekerjanya (SDG 1, 3, 4, 8, 10).
Meskipun memiliki peran yang sangat signifikan dalam peningkatan perekonomian Indonesia, industri kelapa sawit harus menghadapi tantangan yang sangat pelik terkait isu lingkungan. Terdapat sejumlah oknum  dalam politik perdagangan minyak nabati dunia yang kemudian memberikan informasi kurang tepat dan berakhir dengan pemberian sebutan 'eco-villain' dan citra buruk perkebunan kelapa sawit terhadap lingkungan disekitarnya.Â
Pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit merupakan kambing hitam dari tingginya laju deforestasi dan proses global warming yang tengah terjadi, terutama pada lahan marginal seperti lahan gambut.
Namun demikian, kelapa sawit berpotensi untuk menggantikan above ground biomass lebih cepat, menyerap karbon lebih banyak, lebih efisien dan tidak lebih ekspansif dalam memproduksi minyak nabati (8-10 kali lipat per hektare lebih tinggi dari produktivitas tanaman lainnya). [2,3,4]
Kelapa sawit umumnya mengembangkan usaha dari konversi lahan terdegradasi seperti shrubland dan hanya 5,3% berasal dari hutan  primer. [5] KLHK menambahkan bahwa sawit merupakan tanaman yang paling ramah lingkungan dan memiliki kebutuhan air lebih sedikit jika dibandingkan dengan tanaman hutan lainnya (hutan industri), seperti mahoni, jati, sengon ataupun akasia.Â
Praktik perkebunan kelapa sawit yang memperhatikan keberlanjutan hutan konservasi dan hutan dengan kandungan karbon, tidak membuka lahan baru dengan sistem slash and burn, menekan emisi gas rumah kaca.
Pengelolaan lahan gambut sesuai kaidah konservasi dan BMP (best management practices), meminimalisir penggunaan bahan kimia dalam pengendalian hama serta penerapan konsep zero waste dan integrasi sawit sapi dalam proses produksi CPO dari hulu ke hilir merupakan berbagai upaya dalam mendukung tercapainya SDG 13 dan 15 (climate regulation and life on land). [6,7] Â