Suara gesekan roda besi dengan baja terasa memekakkan telinga. Suara itu pula yang dulunya setiap bulan selalu menemani saya saat pulang ke kota tercinta, Yogyakarta. Tak ayal, suara itu malah sudah menjadi semakin merdu diiringi dengan celotehan orang dan bau asap yang mengepul membumbung ke langit-langit gerbong kereta api.
Suasana dalam gerbong kereta api tak berubah dari waktu ke waktu. Selain kepulan asap rokok yang dihembuskan dalam-dalam sebagai pelampiasan penatnya sebuah kehidupan metropolis, masih juga disesaki dengan berjubelnya penumpang yang tidak kebagian tempat duduk. Sungguh memilukan memang. Sebagian dari mereka memang memiliki tiket resmi, namun tak dipungkiri banyak juga yang memberikan salam tempel ke kondektur dan oknum. Suasana belum berhenti di sini, karena masih ditingkahi dengan berjubelnya para pencari rezeki asongan yang tak kalah banyaknya. Mereka menawarkan aneka ragam makanan yang siap saji. Bisa diandaikan di sini, kita menemukan pasar berjalan. Barang kebutuhan sehari-hari dapat kita temukan di sini. Mungkin bukan semata – mata kebutuhan dari penumpang, namun kepandaian dari para penjual ini untuk menawarkan ke calon pembelinya.
Sepintas saya lihat sekeliling gerbong, sampah-sampah berserakan di mana-mana termasuk bekas koran yang menjadi alas tidur para penumpang yang tidak kebagian tempat duduk. Di sisi lain, koran ini malah menjadi rezeki sendiri buat para pemulung. Saya melirik kembali suasana gerbong sekitar, memperhatikan para penumpang yang sedang bercanda, bahkan di ujung belakang saya melihat sepasang muda-mudi yang sedang mesra memadu asmara. Saya memutuskan ke toilet. Pintu saya buka, bau pesing menyeruak. Dengan bersabar saya tutup hidung. Bahkan di toilet gerbong di depan malah digunakan untuk tiduran penumpang.
Saya merasa perjalanan ini terasa lama dan tidak punya bahan untuk dilamunkan. Mau membuka percakapan dengan penumpang sebelah, malah sudah tidur dengan pulasnya. Walhasil, saya melihat tiket, jam berapa sampai kota Yogyakarta tercinta. Di tiket selalu tertera jam 04.30 tapi berdasarkan pengalaman selama ini, kereta pasti telat dari jadwal di tiket 2 jam lebih. Apanya yang salah, tiketnya atau memang keretanya yang telat. Tapi kok sama setiap waktu, pasti telat. Mungkin para Manajemennya gak tahu masalah ini, tapi buat saya sangat berarti. Apa yang ada di tiket adalah sebuah janji.
Dari tahun ke tahun, pelayanan kereta api tidak menjadi lebih baik. Saya pernah naik semua jenis kereta api, baik ekonomi, bisnis maupun eksekutif. Tapi kondisinya sama. Lihat saja, kalau ada libur, harga kereta eksekutif langsung naik 50 %. Belum lagi, banyaknya calo yang bermain dengan orang dalam. Â Saya pikir, apakah orang Indonesia memang suka dengan barang sisa import, sehingga banyak gerbong bekas dari Luar Negeri yang dibeli Indonesia. Belum lagi usia lokomotif yang rata-rata di atas 35 tahun. Manajemen harus mulai menata kembali. Tetapkan visi 2020 untuk kereta api. Pemerintah, Departemen Perhubungan maupun PT KAI sendiri tidak punya konsep yang strategis mengenai perkereta apian ini.
Nun jauh di sana, kereta api dengan menggunakan livemagnetik atau sinkazen dengan kecepatan 400 km. Jakarta-Yogyakarta hanya butuh waktu 2 jam yang selama ini harus ditempuh minimal 10 jam. Kereta bersih dan modern yang menjadi dambaan setiap orang. Kapan akan datang di Indonesia tercinta. Akankah sebatas lamunan ataukah waktu jua yang akan menjawabnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H