Ragam bahasa yang ketiga bersumber dari bunyi-bunyi. Bahasa semacam ini sangat unik, karena hanya terdapat beberapa kosa kata saja. Seperti; "dukduk...dukduk..." atau "dagdigdug..." yang mengisyaratkan perasaan gugup, lalu ada lagi "tulalit..." yang berarti salah sambung atau gagal fokus. Kemudian "ccccchh..." yang menandakan kekaguman. Mungkin ada kosa kata lain, namun yang tertera di sini adalah kata-kata yang sering digunakan dalam komunikasi masa kini.
Ragam bahasa milenial yang keempat berupa emoji dan gambar mini atau sering disebut stiker. Penggunaan ragam bahasa ini biasanya mengarah pada pengungkapan perasaan tertentu. Sehingga ketika orang sedang bersedih, dia tidak perlu mengetik "aku lagi sedih" melainkan cukup memilih emoji sedih dan orang lain yang melihat emoji itu akan langsung mengerti bahwa orang bersangkutan sedang bersedih.Â
Emoji ini beraneka ragam rupanya sesuai dengan kondisi perasaan seseorang. Ada yang berupa wajah, ada pula makanan, buah, hari libur, binatang, pernak-pernik, dan lain-lain. Semuanya merupakan bentuk ekspresi manusia akan sesuatu yang dialami atau dirasakannya.
Sedikit berbeda dengan emoji, stiker terlihat lebih kreatif. Biasanya terdapat gambar manusia atau hewan (asli) lalu ditambah dengan tulisan atau caption yang juga mengungkapkan perasaan seseorang. Emoji biasanya ada dalam format keyboard dari android, tetapi stiker biasanya dibuat secara manual menggunakan foto atau gambar tertentu.
Demikian dapat dilihat dan dipahami ragam bahasa milenial yang trend saat ini. Semua ragam bahasa tersebut pada dasarnya hendak mengomunikasikan suatu pengalaman dan perasaan yang menyertainya kepada sesama di media sosial. Namun, sebagai pengguna media sosial dan anak zaman now, hendaknya kita berperilaku bijak dalam pemanfaatan media ini, terutama dalam berkomunikasi. Sebab pada hakikatnya, komunikasi merupakan kegiatan menyampaikan informasi dan informasi itu haruslah sebuah kebenaran. Sampai di sini, ada sebuah pertanyaan yang menggelitik; Apakah ragam 'bahasa milenial' di atas sungguh-sungguh menyampaikan sebuah kebenaran kepada sesama? Ataukah sekadar mencari perhatian public demi ketenaran semu?
Bahasa milenial merupakan bukti nyata dari suatu kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Kenyataan ini tidak boleh dipandang sebagai sesuatu yang tidak penting, nirfaedah, tabu, atau berbehaya. Kiranya sepekulasi negatif seperti ini tidak ada dalam pikiran insani kita.
Secara tidak langsung, bahasa milenial ini menjadi pahan permenungan dan refleksi bagi semua orang untuk mentransformasi diri. Transformasi di sini bukan berarti 'ikut-ikutan' tetapi hendaknya kita mengetahui apa hakikat dan intisari dari bahasa milenial kemudian menggunakannya secara bijak.Â
Fenomena 'bahasa milenial' bukanlah hal negatif yang harus dihindari. Pemikiran seperti ini tentu tidak bijak. Marilah mengenal dan menggunakan 'bahasa milenial' untuk mengungkapkan kebenaran sehingga kebenaran ini dapat hidup di tengah peradaban manusia yang semakin maju.
Agrindo Zandro
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H