Duduk Perkara Guru TK di Jambi Diminta Kembalikan Gaji Rp 75 Juta
Kasus yang menimpa Asniati, seorang pensiunan guru Taman Kanak-Kanak (TK) di Kabupaten Muaro Jambi, menyita perhatian publik dan membuka berbagai persoalan mendasar dalam tata kelola kepegawaian, khususnya Aparatur Sipil Negara (ASN) di Indonesia. Asniati diminta mengembalikan uang sebesar Rp 75 juta yang telah ia terima selama dua tahun setelah melewati usia pensiun yang seharusnya. Namun, permasalahan ini lebih kompleks daripada sekadar pengembalian uang. Kasus ini memperlihatkan bagaimana kekurangan dalam sistem birokrasi serta kelalaian beberapa pihak dapat menyebabkan ketidakadilan bagi ASN yang seharusnya dilindungi oleh peraturan yang jelas.
Kebingungan Batas Usia Pensiun
Salah satu akar permasalahan dalam kasus ini adalah ketidakjelasan mengenai usia pensiun yang berlaku bagi ASN dengan jabatan tertentu. Menurut peraturan yang berlaku, ASN dengan jabatan fungsional tertentu seperti guru memiliki batas usia pensiun yang lebih tinggi dibandingkan dengan ASN yang tidak memiliki jabatan fungsional tertentu. Guru dengan jabatan fungsional tertentu diizinkan untuk pensiun pada usia 60 tahun, sementara mereka yang tidak memiliki jabatan fungsional pensiun di usia 58 tahun.
Dalam kasus Asniati, terjadi kebingungan antara usia pensiun yang seharusnya dia jalani. Berdasarkan informasi dari beberapa instansi, seperti Taspen dan Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), usia pensiun Asniati adalah 60 tahun. Namun, Badan Kepegawaian Daerah (BKD) menyatakan bahwa dia seharusnya pensiun pada usia 58 tahun karena tidak memiliki jabatan fungsional tertentu. Perbedaan informasi ini menjadi masalah besar karena berakibat pada kelebihan pembayaran gaji selama dua tahun yang kini menjadi beban bagi Asniati.
Kasus ini menunjukkan betapa rentannya ASN terhadap kesalahan administrasi yang seharusnya bisa dihindari. Dalam sistem kepegawaian yang ideal, seharusnya tidak ada kebingungan mengenai batas usia pensiun. Pemerintah dan ASN harus memiliki pemahaman yang sama mengenai status jabatan dan usia pensiun, agar tidak terjadi kesalahan dalam pengelolaan gaji dan hak-hak pensiun.
Kegagalan Sistem Administrasi
Lebih jauh lagi, kasus ini memperlihatkan kegagalan yang lebih mendasar dalam sistem administrasi kepegawaian di tingkat daerah. Asniati mengklaim bahwa dia tidak pernah diberitahu secara resmi mengenai batas usia pensiunnya, dan tidak ada surat pemberitahuan yang dikirimkan kepadanya saat dia mencapai usia 58 tahun. Padahal, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2020, instansi pemerintah berkewajiban memberikan pemberitahuan kepada ASN yang mendekati masa pensiun paling lambat enam bulan sebelum masa pensiun berlaku.
Jika klaim Asniati benar, maka hal ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah, khususnya BKD, telah gagal menjalankan tanggung jawabnya. Surat pemberitahuan pensiun yang seharusnya dikirimkan tidak diterima oleh Asniati, dan hal ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan dia tetap bekerja selama dua tahun melebihi batas usia pensiun. Apabila BKD menjalankan tugasnya dengan benar, masalah ini bisa dicegah sejak awal. Namun, ketidakmampuan instansi pemerintah untuk menjalankan tugas dasar ini mengakibatkan Asniati harus menanggung beban yang seharusnya tidak dia pikul.
Kegagalan sistem ini tidak hanya terjadi pada BKD, tetapi juga melibatkan BPKAD, yang bertanggung jawab atas penghentian gaji ASN. Meskipun Asniati sudah melewati batas usia pensiun, gajinya tetap dibayarkan selama dua tahun tanpa ada verifikasi atau penghentian pembayaran. Ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai mekanisme kontrol dalam sistem penggajian ASN di tingkat daerah. Mengapa tidak ada verifikasi yang lebih ketat terkait status kepegawaian ASN yang sudah memasuki usia pensiun? Mengapa sistem ini dibiarkan berjalan dengan ketidakakuratan yang begitu mencolok?
Siapa yang Bertanggung Jawab?