Mohon tunggu...
Agrelo Tama
Agrelo Tama Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Swasembada: Utopia Sempurna

16 April 2015   06:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:03 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Menarik rasanya membaca beberapa berita, artikel, ataupun opini yang membahas mengenai masalah pangan dan kebijakan impor di negeri ini.Sejak di sekolah dasar, saya dipaksa tahu bahwa para pemimpin di negeri ini selalu “berusaha” agar swasembada pangan dapat terwujud.Namun kenyataannya, sampai tulisan ini saya buat, kita masih saja setia menjadi importir, bahkan terasa semakin menggila. Walaupun saya bukan peramal dan tidak memiliki mesin waktu, saya yakin betul bahkan sampai 5 tahun lagi swasembada itu tidak akan terwujud. Anda bisa saja bilang saya orang yang berpikiran negatif atau pesimis, tapi jika yg kita lakukan hanya hal yg itu2 saja tp berharap keadaan berubah, maka jangan marah kalau ada yg mengatakan kita itu Bangsa Gila.

Beberapa waktu terakhir ini saya menghabiskan waktu2 saya dengan para pemanfaat dan pengolah hasil bumi, entah itu petani, nelayan, pekerja kebun, ladang, hutan, dan lain sebagainya.Kegelisahan saya bertambah setiap berinteraksi dengan mereka, dan saya menumpahkannya lewat tulisan ini.

Satu hal paling umum dari para pemanfaat dan pengolah hasil bumi adalah, mereka memiliki mindset bahwa “pekerjaan mereka saat ini tidak akan pernah membuat mereka jadi kaya”.Jangan protes dulu, anda pasti mau bilang kalau anda pernah kenal dan tahu golongan orang2 itu yg bisa kaya. Buat anda yg gak tahan mau protes, okelah, tp jawab pertanyaan ini, apa mereka tetap menjalani pekerjaan mereka setelah kaya? Adakah dari petani kaya itu yg susah payah cari uang untuk menyekolahkan anaknya agar si anak kembali lagi ke dunia pertanian?

Saya punya contoh cerita menarik yg sangat umum di kalangan petani kita hasil dari pengamatan dan pengalaman saya sendiri.Ada sebuah keluarga petani yg terdiri dr Ayah, Ibu, 1 anak laki-laki, dan 1 anak perempuan.Mereka semua bekerja keras di sawah dan di ladang untuk mencari uang memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka.Dengan kerja keras mereka, akhirnya perlahan rezeki mereka meningkat dan perekonomian keluarga membaik.Keluarga tersebut sekarang sudah bisa menabung dan setelah uangnya cukup maka mereka mulai buka warung atau jual makanan kecil2an di halaman rumah. Si Ibu dan si anak perempuan kini bertugas mengelola warung sambil mengerjakan pekerjaan rumahan sementara pekerjaan di sawah kini tinggal tanggung jawab Sang Ayah dan si anak lelaki. Pekerjaan mereka kini terasa semakin berat krn tinggal berdua. Saking beratnya hingga secara tak sadar mereka sering mengeluh dan otak mereka pun menciptakan mindset baru bahwa “Jadi petani itu tidak enak!”. Melihat usaha di rumah yg terus berkembang dan mindset baru yg selalu terngiang-ngiang, sang Ayah dengan bijaksana akhirnya menjual setengah luas sawahnya untuk menambah modal usaha. Dengan tambahan modal tersebut, maka ia mulai ekspansi usahanya misal jd Toko Material atau toko sembako besar, ataupun toko penjual kebutuhan pertanian, yg penting tokonya jadi tambah besar dan barang yg dijual tambah banyak.Karena tokonya tambah besar dan semakin berkembang terus, kini sang Ayah pun ikut menjaga toko. Tinggal si anak lelaki yg mengolah sawah dan ladang sendirian. Baginya menjalani hidup sebagai petani adalah siksaan paling besar dan ia bersumpah untuk memperbaiki hidupnya (jadi PNS). Sang Ayah yg menyadari hal ini akhirnya menjual sisa sawahnya dan uangnya digunakan untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang yg lebih tinggi. Pikirnya, untuk kebutuhan sehari-hari sudah aman lah mengandalkan penghasilan dari toko bahkan sudah lebih dari cukup.Beberapa tahun kemudian, kehidupan keluarga ini berubah.Kini keluarga mereka sudah lebih sejahtera. Tokonya sudah semakin besar, rumahnya sudah semakin megah, punya motor lebih dari 1, bahkan punya mobil. Si anak lelaki kini sudah jd PNS, dan si anak perempuan sebentar lagi akan menikah dan berencana untuk membuka toko pakaian bersama suaminya. Sebuah cerita dengan akhir yang bahagia bagi keluarga tersebut.Tapi di saat yg bersamaan kita kehilangan 4 orang petani dan kemungkinan keturunannya. Percayalah, si anak lelaki dan anak perempuan tadi tidak akan mau membiarkan anak2nya menjadi petani seperti mereka. Kejadian ini terjadi secara terus-menerus dan semakin lama cakupannya semakin luas hingga akhirnya jumlah petani dan nelayan akan semakin berkurang.

Ok, saya sudah memikirkan beberapa protes anda membaca tulisan ini. Saya akan coba jabarkan beberapa diantaranya.


  • Kan gak banyak petani yg hidupnya berubah begitu!

Iya memang gak banyak yg perubahannya seekstrem itu.Lagipula bukan hal itu yg saya khawatirkan. Entah dosa macam apa yg saya terima jika saya khawatir seseorang bisa kaya. Tapi yg saya khawatirkan adalah para petani ini semuanya mencoba ke arah sana. Mindset “petani gak bisa kaya, kita harus cari kerjaan lain!” itu sudah terpatri di kepala setiap orang. Kalau mau buktinya silahkan datang ke tempat saya.Anda bisa lihat sendiri setiap 10 meter ada warung, toko, atau rumah makan padahal rumah saya di kampung dan bukan jalan raya.Dari yg cuma jual pulsa, bensin eceran, sembako, sampai toko material dan elektronik.Intinya para petani tersebut mencoba untuk berdagang dan berharap suatu saat tidak lagi harus bekerja di sawah. Kebayang efeknya suatu saat kalau semua petani berpikiran yg sama?


  • Lho kan sawahnya dibeli orang, berarti lahan pertanian gak berkurang dong?

Ok, ini ada benarnya dan ada salahnya. Ada beberapa golongan orang yg kurang percaya diri untuk berdagang krn tidak punya pengalaman atau takut dengan resiko gagal. Akhirnya kelebihan dana mereka digunakan untuk menambah lahan.Apa yg salah? Masyarakat menganggap cara petani untuk kaya adalah dengan punya sawah yg luas. Mereka hanya mengenal ekstensifikasi, tp tidak dgn intensifikasi. Tidak ada terobosan dalam mengolah sawah, semua dilakukan dgn cara yg sama. Akibatnya petani kewalahan krn tenaga kerja yg tersedia tidak cukup dan kurang efektif dalam mengolah lahan yg ada.

Contoh: 1 hektar sawah jika dikerjakan oleh 2 orang akan menghasilkan gabah sebanyak 5 ton. Mereka membeli lahan 1 hektar lagi, jd kini punya 2 hektar tp pekerja tetap 2 orang. Pekerjaan tambah banyak namun skill tetap sehingga efektivitas berkurang. Kini 1 hektar sawah hanya menghasilkan gabah 3,5 ton. Kalau dilihat angkanya, keluarga petani ini memang meningkatkan produktivitasnya jd 7 ton gabah per musim dr awalnya 5 ton. Tapi produktivitas/hektar jd turun. Pada skala nasional mungkin ada ratusan kasus seperti ini setiap tahunnya, yg dapat diartikan ada penurunan supply gabah ratusan ton per tahun.Masalah bukan?


  • Ya kan bisa cari orang buat tambah tenaga kerja.

Kembali ke mindset “petani gak bisa kaya” dan palingan mereka akan menjawab “Ah mendingan kerja jd kuli bangunan, capeknya hari ini dapet duitnya hari ini” (Nb: saya tidak tahu sistem di tempat lain, di tempat saya petani bayaran dibayar dgn bagi hasil setelah panen)

Sudah banyak orang yg membahas masalah ini, dengan pendapat dan idenya masing2.Ada beberapa sudut pandang menarik dan usulan2 kreatif yg saya baca dr tulisan berbagai macam ahli.Namun entah mengapa keadaan yg terjadi terus saja begini, berputar-putar tanpa ujung seakan mimpi untuk swasembada pangan sudah terhisap dalam Lubang Hitam dan mustahil untuk bisa keluar.Biasanya orang2 bilang masalah pertanian di negara ini adalah karena mafia pupuk, benih, ataupun para tengkulak. Sebetulnya saya jg punya bahan tulisan tentang masalah2 diatas tp akan saya bahas lain waktu. Yang pasti saya punya sudut pandang yg berbeda dr kebanyakan orang melihat fenomena mafia2 itu.Dan buat saya pribadi, justru mindset para petani inilah yg jadi masalah terbesar dunia pertanian kita.Masalah ini menurut saya sudah sangat mengakar di kalangan petani dan jauh lebih sulit untuk diatasi dibandingkan dengan mengatasi mafia2 tersebut. Anda punya pendapat lain? Mari kita berdiskusi!

- Agrelo Tama -

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun