Dok, Anda patut berbangga karena memenangkan peringkat ke-3! Wah, dalam kejuaraan apa, nih? Peringkat ke-3 yang paling sering dipersalahkan oleh rakyat Indonesia setelah Bapak Presiden Joko dan Bapak Gubernur Basuki. Waduuhh…
Emang bener kok. Obat anestesi palsu yang disalahkan anestesiolognya, padahal anestesiolog tidak ikut menempel label pada ampul obat anestesi. Vaksin palsu yang disalahkan pediatrisnya, padahal dokter anak tidak punya kompetensi memeriksa komposisi vaksin dalam setiap vial. Pasien BPJS sakit tapi tidak dapat ditanggung biayanya, yang disalahkan dokternya, padahal iuran BPJSnya nunggak satu tahun.
Pasien telantar di rumah sakit, yang disalahkan dokternya, padahal dokternya dimutasi ke puskesmas karena berani protes kepada bupati. Protes kepada orthopedis, kok patah tulang saja harus diamputasi, padahal kondisi kaki sudah busuk akibat sebelumnya diurut di sangkal putung. Pasien bersalin meninggal yang disalahkan dokternya, padahal terlambat dirujuk akibat rundingan dengan bapaknya, budhenya, tetangga budhenya, selingkuhan simbahnya, dukun bayinya, dll.
Being a doctor is like being a goalkeeper, no matter how many goals you save, some people will remember only the one that you missed. In other hand, being a ‘dukun’ is like being Jon Snow, you know nothing but people still worship you.
Bukan bermaksud cengeng, tapi kenapa ya nasib dokter Indonesia begitu memprihatinkan dan selalu saja jadi sasaran kemarahan masyarakat bila terjadi sentinel event di bidang kesehatan? Hmm… Menurut analisis saya, ini akibat pencitraan dokter di film dan sinetron Indonesia yang hampir selalu antagonis. Bandingkan dengan serial TV dan film dari Amerika, Jepang, maupun Korea. Di sana dokter digambarkan dengan kecerdasan dan keterampilannya dalam belajar dan bekerja, hampir selalu berhasil menyelamatkan pasiennya, serta dapat menggapai kesuksesan from zero to hero. Lha kalau di Indonesia? Eh, maaf, maaf, kan nggak ada produser yang punya budget untuk bikin drama kedokteran yang berkualitas semacam itu.
Di Indonesia dari zaman film layar tancap, sampai sekarang zaman FTV, dokter sering dicitrakan sebagai seorang yang kaya raya tujuh turunan, terlihat pintar, omongannya berat, sikapnya sombong cenderung arogan, kalau pasien meninggal tinggal bilang: “kami sudah berusaha sebaik mungkin”. Well, kalau Anda produser film atau sinetron semacam itu, ingatlah azab neraka itu pedih, om.
Belum lagi kalau ada berita buruk yang menyangkut dokter atau pelayanan kesehatan di koran maupun televisi, hampir pasti muncul kata-kata: malpraktik, penelantaran, kesengajaan, kesewenang-wenangan, dll. Dibumbui dan digoreng oleh perilaku kebanyakan orang Indonesia kekinian yang imatur, yang hobinya mem-bully di media sosial, menghujat, mengancam, menuntut permintaan maaf berulang-ulang, kalau perlu mempermalukan. Polisikan! Penjarakan! Copot! Miskinkan! Begitu jargon-jargon mereka. Padahal semuanya itu sering belum terbukti bahkan kebanyakan akhirnya tidak pernah terbukti di pengadilan. Tapi nama baik dokter dan dunia kedokteran sudah telanjur rusak, pada akhirnya tidak ada bisa yang memperbaiki.
Tontonan dan percakapan dunia maya seperti itu diulang terus-menerus, lama-lama dianggap sebagai kebenaran di masyarakat, dan menumpuklah rasa tidak suka, antipati, dan kebencian kepada dokter, yang sebenarnya tanpa adanya suatu alasan yang jelas. Bahkan rasa tidak suka ini sudah mulai didoktrinkan oleh orang tua pada anak-anaknya sejak dari balita: nanti kalau nakal disuntik dokter lho, itu lho ada pak dokter jangan rewel, dsb. Cih. Suatu sikap pecundang dan menunjukkan inkompetensi para orang tua prematur di Indonesia.
Jujur, mungkin gambaran dokter Indonesia yang menyebalkan memang pernah Anda temui di tataran nyata. Tapi percayalah, itu hanya oknum. Kalau Anda datang periksa ke seorang dokter jam 9 malam dan baru dilayani jam 10 malam, percayalah, dokter tersebut sudah visit pasien di rumah sakit umum sejak jam 6 pagi, dan masih harus melanjutkan praktik sampai nanti jam 12 malam saat Anda sudah minum obatnya dan tidur.
Saya rasa wajar ada sedikit kesan lelah, apalagi bila beliau baru saja menjalani hari yang berat. Bila ada sebagian dokter yang selalu bersikap tidak menyenangkan, mungkin terpengaruh dengan pendidikan dokter di zaman kolonial Belanda. Mereka terinspirasi dokter kompeni yang memang penjajah, sehingga ikut-ikutan memperlakukan pasien (dan residennya, koassnya) seperti jajahannya. Tapi hal ini jangan langsung digeneralisir dong.
Lain halnya dengan dokter-dokter yang masih muda-muda sekarang ini, yang sudah lulus belasan SKS kuliah komunikasi, bioetika, patient safety, dan medikolegal. Kami sadar bahwa hubungan dokter dan pasien merupakan sejajar dalam relasi terapeutik. Dokter harus transparan, komunikatif, dan memberi kebebasan pasien untuk memilih metode terapi setelah diberikan penjelasan yang memadai, tanpa pernah boleh menjanjikan kesembuhan. Ini bukan berarti dokter harus menyenangkan semua pihak.