(Disclaimer: This Is An Extremely Unpopular Opinion Among My Fellow Fresh-Graduate Medical Doctor)
Terutama bagi rekan sejawat yang masih bahagia-bahagianya menjalani hidup sebagai koass. Juga bagi rekan sejawat yang masih akan menikmati liburannya beberapa bulan lagi sebelum pemberangkatan internsip, mungkin tulisan ini patut dibaca. Saya menulis hal ini karena kegelisahan saya. Saya merasa ada yang kurang sesuai mengenai nilai-nilai pendidikan kedokteran di tempat asal saya belajar. Terlebih lagi, saya merasa ada suatu inherited and communicable moral disorder, bahkan di lingkungan akademis paling mulia, Fakultas Kedokteran.
Proses belajar untuk menjadi dokter memang menempuh waktu yang lama. Belum lagi setelah kurang lebih enam tahun menempuh studi sebagai mahasiswa dan koass, kita harus melewati ujian paling objektif dan best-prepared di Indonesia, yaitu UKMPPD. Setelah lulus dan mendapat gelar dokter (dr.) kemudian apa yang kita lakukan? Nganggur. Yak, kita akan menghadapi masa-masa pengangguran sambil mengurus Sertifikat Kompetensi (Serkom) dan Surat Tanda Registrasi (STR). Lalu kita akan menganggur lagi untuk menunggu kesiapan wahana Internsip. Saya sendiri, ketika menulis ini sudah menganggur kira-kira lima bulan.
Di masa-masa menjadi pengangguran tersebut banyak kegiatan yang biasanya dilakukan oleh para lulusan dokter baru. Salah satunya adalah mengisi klinik dokter umum. Istilahnya ada bermacam-macam: klinik, negal, ngamen, macul, ngemis, dll. Apapun istilahnya, ada satu kesamaan di dalamnya: ILEGAL. Ya, meskipun kita sudah terbukti berkompeten karena telah lulus UKMPPD dan mendapatkan sertifikat kompetensi dan juga STR, namun kita tidak mungkin memiliki SIP di tempat praktik manapun. Lagipula STR yang kita pegang ada tulisan gede di pojoknya: Kewenangan Internsip. SIP hanya bisa diperoleh setelah kita menyelesaikan Internsip.
Kegiatan pelanggaran hukum massal ini sudah lama diprakarsai oleh senior-senior dokter yang mewariskan jadwal mengisi kliniknnya ke dokter-dokter lulusan baru. Biasanya dokter senior tersebut harus meninggalkan kliniknya karena sudah harus berangkat internsip atau mempunyai pekerjaan tetap di tempat lain. Kesempatan mendapat koneksi untuk mengisi klinik seperti ini sering menjadi salah satu motivasi para mahasiswa kedokteran mengikuti organisasi-organisasi kemahasiswaan, baik intra kampus maupun ekstra kampus (OMEK), bahkan organisasi yang berbasis religius. Organisasi kemahasiswaan yang seharusnya mempromosikan gaya hidup negarawan yang berkelas, taat hukum, anti KKN, namun secara tidak langsung mencetak para pelanggar-pelanggar hukum yang profesional seperti dokter.
Tak heran banyak mantan aktivis mahasiswa ketika lulus menjadi pengisi klinik ilegal yang rajin karena keuntungan koneksinya. Tanpa disadari mereka menurunkan derajat profesi dokter yang mulia dengan terminologi: negal, ngamen, ngemis, nyangkul, dll. (Saya sendiri akan tetap menggunakan istilah ‘negal’ untuk menyebut ‘praktik dokter ilegal’.) Sayangnya, lingkungan pendidikan kedokteran sendiri seolah mendukung, atau paling tidak membiarkan alumninya untuk melakukan pelanggaran hukum tersebut. Hal ini yang di atas tadi saya sebut sebagai inherited and communicable moral disorder.
Oh, I’m not a flawless person. Saya pernah negal. Dan saya akui godaan uang itu sangat nyata. Pantas saja kalau ‘greed’ termasuk dalam seven deadly sins. Ya, saya bisa bilang bahwa motivasi utama seseorang untuk negal itu adalah uang (keserakahan). Hal ini akan saya buktikan nanti di bawah. Pada akhirnya saya resign dari kantor dan tidak negal lagi. Salah satu penyebabnya karena tunangan saya yang mengingatkan saya tentang integritas seorang dokter.
Tunangan saya seorang WNA tapi sudah tinggal di Indonesia seumur hidupnya. Dia bersekolah dari TK sampai sama-sama lulus jadi dokter juga di Indonesia. Dia juga sudah punya sertifikat kompetensi dokter Indonesia. Namun sayangnya ketika mengurus STR, prosesnya terhambat di KKI karena statusnya sebagai WNA. Otomatis perjalanannya selanjutnya juga terhambat, dan belum dapat dipastikan kapan dia bisa menjalani internsip atau berpraktik sebagai dokter di Indonesia. Sebelumnya, dari awal dia sudah tidak setuju dengan fenomena negal ini. Dia bertambah kesal, karena di saat dia dengan iktikad baik ingin menempuh jalan yang lurus untuk bisa berpraktik sebagai dokter, KKI tidak memberi jalan. Di sisi lain, dokter-dokter lain dengan secara ilegal “bebas” saja berpraktik di Indonesia, dan stakeholder yang terkait tidak mengambil tindakan yang tegas akan hal ini. Padahal jelas hal ini melanggar UU Praktik Kedokteran dan hukumnya adalah pidana.
Ada salah satu cerita tentang dokter yang dihukum pidana. Di salah satu kota besar di Jawa ,seorang lulusan dokter baru seperti saya merupakan dokter yang rajin mengisi klinik secara ilegal hingga mendapat honor yang lumayan besar dibanding dengan lulusan fresh-graduate yang lain. Entah apa yang dilakukannya, dia menceritakan hal itu kepada orang lain (mungkin juga melalui media sosial). Salah seorang teman se-angkatannya yang juga baru saja lulus sekolah hukum kemudian mengajukan tuntutan di pengadilan karena tahu (dan mungkin disertai rasa sirik juga) bahwa dia telah melanggar Undang-Undang Praktik Kedokteran. Akirnya dokter baru tersebut dinyatakan bersalah dan diwajibkan membayar denda senilai puluhan juta rupiah. Uang bisa di cari, tapi nama baik sulit diperbaiki.
Kembali ke integritas. Oleh tunangan saya, saya diajak berpikir tentang integritas. Diawali dengan pertanyaan ini: suatu hal yang baik bila dijalankan dengan cara yang salah apakah nilai kebaikannya akan tetap bertahan? Praktik dokter ilegal, memang di satu sisi berperan dalam kesembuhan beberapa orang, namun di sisi lain melanggar hukum. Hal itu membuat orang yang mempraktikannya sebagai pelanggar hukum, seberapa pun mulia niatnya. Dan uang yang didapat dari pelanggaran hukum, bagaimana menurut Anda? Meskipun Anda persembahkan uang tersebut ke tempat ibadah tetap saja tidak mengubah status uang tersebut sebagai ’hasil dari pelanggaran hukum’. Saya tidak mau bilang bahwa itu uang haram, karena saya bukan lembaga yang berwenang untuk itu.
Saya ingat kuliah saya di semester satu. Dokter berasal dari kata docere yang berarti to teach. Di Jepang, profesi guru, pendeta, dan dokter merupakan profesi-profesi yang mulia dan dihormati, dan ketiganya disapa sensei. Lalu, apakah yang akan kita ajarkan kepada komunitas mengingat akan peran kita sebagai dokter, sebagai sensei? Apakah sesuatu yang SALAH atau sesuatu yang BENAR? Saya takut bahwa konsekuensi dari hal yang kita ajarkan tersebut, baik secara verbal maupun non-verbal, akan terbawa bahkan setelah seluruh sel tubuh kita mengalami apoptosis/nekrosis.