“Berapa honor yang kau terima untuk tulisan yang diterbitkan itu?”, begitulah pertanyaan yang sering dilontarkan beberapa teman-teman saya yang berprofesi sebagai penulis, ketika mereka tahu tulisan atau artikel saya diterbitkan di suatu koran, majalah, atau tabloid. Terus terang saya agak gerah dengan pertanyaan itu.
Mungkin bagi sebagian penulis, mendapatkan honor atas tulisan mereka merupakan tujuan. Entah sebagai pendapatan utama atau sekedar uang saku tambahan saja. Tapi bagi saya, bukan honor yang menjadi motivasi saya untuk menulis. Saya menulis karena saya merasa perlu untuk menulis tentang sesuatu peristiwa atau kejadian, berbagi pengetahuan dengan orang lain, berbagi inspirasi, ataupun berbagi imajinasi.
Ketika pertama kali tulisan saya dimuat di sebuah koran lokal di kota asal saya, Medan, saya senangnya bukan main. Saya memberitahu semua teman agar membaca artikel saya di koran itu, dan saya masih menyimpan dengan rapi kliping tulisan-tulisan saya yang dimuat di berbagai media cetak. Bahkan kala itu saya tak tahu kalau ada honor tulisan yang diberikan oleh suratkabar itu bagi pengirim tulisan. Saya baru tahu ketika diberitahu salah satu kawan jurnalis yang kebetulan bekerja di koran itu.
Honor tulisan yang saya terima ketika itu sangat kecil, hanya cukup untuk mentraktir pacar saya makan di rumah makan pinggir jalan yang murah, hehehe… Namun, saya terus menulis, menulis, dan menulis. Tak perduli berapapun honor yang saya terima, atau malah tidak ada honorariumnya sama sekali. Malah terkadang, saya lupa mengambil honor tulisan saya, kalau pihak medianya tidak mentransfer ke rekening. Entah berapa rupiah honor tulisan yang saya terima pun, saya lupa karena tidak pernah menghitungnya.
Saya sudah cukup bangga menulis di suratkabar, dan orang lain membaca tulisan dan pesan yang ingin saya sampaikan, itu sudah cukup bagi saya. Malah terkadang kalau motivasi menulis semata untuk honor, akhirnya menulis puntidak sepenuh jiwa karena seolah kita dituntut agar tulisan kita sempurna. Kita tidak menulis dengan hati disaat seperti itu, kita hanya menulis dengan motivasi materi (mendapatkan honorarium).
Mungkin banyak penulis, atau novelis yang menggantungkan hidupnya dari menulis, ya wajar saja. Tidak ada masalah dengan hal itu. Namun bagi saya yang terpenting, menulis itu bukan soal materi tapi menulis itu adalah panggilan jiwa. Kepuasan batin yang sebaiknya tidak dikonotasikan dengan materi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H