Aku memandang ke arah bintang-bintang yang bertaburan indah di cerahnya langit malam. Sekilas terlihat beberapa bintang yang berjatuhan kejar-mengejar. Kata orang, ucapkan permintaan mu saat melihat bintang jatuh. Ah, sekalipun aku tak mempercayainya, tapi apa ruginya kalau hanya sekedar mengucapkan keinginan. Walaupun keinginan itu terkadang jauh dari harapan. Banyak sekali keinginan dalam kehidupan yang singkat ini namun terkadang sulit untuk di capai. Semua orang pasti ingin kehidupannya berjalan sesuai keinginan.
Di lahirkan dengan fisik sempurna di keluarga yang serba ada. Bisa lulus dari sekolah favorit dengan nilai yang bagus. Kuliah di universitas negeri atau paling sial di perguruan tinggi swasta favorit. Tentunya lulus dengan predikat cum-laude yang bisa membuat orang tua menitikkan air mata karena bangga pada anaknya. Lalu mendapat pekerjaan dengan gampang dan bisa meraih posisi bagus dalam waktu singkat dengan gaji tinggi. Punya rumah, mobil, tabungan, deposito. Dan menikah dengan isteri yang berwajah cantik. Memiliki anak yang manis-manis, pintar, dan taat pada orang tua. Saat uzur menjelang, hidup enak menikmati harta yang melimpah hasil kerja keras di waktu muda. Kala akan meninggalkan dunia untuk selama-lamanya, di masukkan Tuhan ke dalam surga. Sebuah kehidupan yang menjadi standar impian semua orang.Rasanya akan terlalu banyak keinginan yang akan ku ucapkan pada bintang. Andaikan hidup benar-benar indah, seperti indahnya bintang yang bersinar terang di langit.
Tiit…tiit…tiit…, sedari tadi terdengar suara alarm jam weker ku. Yang sudah lelah berteriak-teriak berusaha membangunkan tuannya. Namun rasanya tubuh ini sama sekali tidak tertarik untuk meninggalkan peraduan. Mentari pagi dengan malu-malu sudah sedari tadi menyelinap masuk ke dalam kamar ku. Seakan kehangatannya akan terus membuat kehidupan ini indah. Embun yang menempel di dedaunan, masih tersisa menambah indah pesona pagi ini.
Kringg…, ponsel ku berdering. Siapa sih yang pagi-pagi begini sudah iseng, mengganggu kesenangan orang saja, pikirku. Kringgg…, tampaknya si penelepon sudah tidak sabaran menunggu di seberang sana. Ah, biarkan sajalah, batin ku. Biar dia menunggu, lha apa sih di kehidupan ini yang tidak ada kata menunggu ? gajian saja harus menunggu awal bulan, naik kendaaran umum juga harus menunggu di halte, bahkan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik saja seseorang harus menunggu. Jadi ya, biarlah si penelepon menjadi bagian dari komunitas menunggu itu. Kringgg….ponsel ku tak juga mau berhenti berdering. Akhirnya aku harus membuat si penelepon itu tidak menunggu lagi teleponnya di angkat.
“Ya, hallo…”, aku menjawab dengan suara parau. “Adit, kamu di mana sih ?? sudah jam berapa ini sekarang ?!! sudah bosan bekerja ya ??”, suara di ujung telepon sepertinya familiar di telinga ku. Suara bos dari kantor. “Ya, memangnya sekarang hari apa dan jam berapa ?”, jawab ku masih malas-malasan. Mendengar jawabanku suara di ujung telepon itu kelihatan makin gemas. “Sekarang hari senin, dan jam sembilan pagi kamu ada jadwal siaran kan ???”, suara mbak Regy, station manager di radio tempat ku bekerja. Sekilas aku melihat jam wekerku yang sudah terdiam karena kelelahan berteriak-teriak berusaha membangunkan aku sedari tadi.
Jam delapan lewat tiga puluh menit. Mataku terbelalak. Pagi ini aku memang ada jadwal siaran. Dan itu tiga puluh menit lagi dari sekarang. Padahal menurut peraturan lima belas menit sebelum on-air harus sudah standby di studio. Kacau, pikir ku. “Eee..iya, iya..mbak..i’m on my way”, jawab ku sambil buru-buru berpakaian. Tanpa sempat mandi.
Hahh…, hari senin yang padat. Lalu lintas sepertinya tidak mau tahu kalau aku sedang buru-buru. Belum lagi harus menunggu bus yang seperti sengaja mempermainkan ku dengan berlama-lama lewat. Biasanya juga kalau sedang tidak ada penumpang, supir bus rela setengah mati sabar menunggu. Mujur, bus yang biasa ku naiki segera muncul. Walaupun jarak kost-an ku ke kantor tidak terlalu jauh, untuk situasi macet biasanya butuh waktu setengah jam lebih lama dari waktu tempuh seharusnya, tiga puluh menit. Dan itu berarti pagi ini untuk tiba di studio aku akan butuh waktu satu jam ! Tiba di studio mbak Regy sudah pasang tampang jam dua belas. Matanya seperti ingin menelanku bulat-bulat. “Maaf, mbak…”, hanya itu kata yang bisa keluar dari mulut ku. Aku buru-buru menuju ruang siaran. Berusaha mengatur nafas.
“Hallo selamat pagi pendengar, apa kabar anda pagi ini, hope you always get the best for everything you do today, saya aditya senopati, senang bisa menemani anda untuk pagi ini…”, begitu kira-kira kata yang keluar dari mulut ku menyapa pendengar. Seperti biasa telepon langsung berdering. Ada pendengar yang request, curhat, atau yang sekedar ngobrol sok akrab, hah…pokoknya ada seribu satu macam orang yang harus ku layani.
Setelah selesai siaran, mbak Regy memanggil ku ke ruangannya. Sepertinya ada hal penting yang akan dia bicarakan. Kelihatan dari tampangnya yang sudah bertambah, menjadi seperti jam tiga belas.
“Adit, sudah berapa kali kamu telat siaran ?!”, mbak Regy langsung menyemprotkan kata-kata yang aku mafhum akan terdengar di telinga ku. “Eee…maaf mbak, tadi jalanan macet”, kilah ku. Jawaban standard. “Apa kamu tidak bisa berangkat lebih pagi ?!”, ujar mbak Regy lagi. Aku seperti menatap singa yang sedang lapar. “Ini sudah ke berapa kali kamu terlambat ?! saya tidak bisa mentolerir lagi. Mulai hari ini kamu tidak lagi bekerja di sini”, sambung mbak Regy berapi-api. Malahan telinganya sudah mengeluarkan asap. Tanda kemarahannya tinggi sekali. “Tapi..tapi..mbak”, jawab ku. “Tidak ada tapi-tapian. Ini surat pemberhentian kamu”, kata mbak Regy sambil memberikan sepucuk surat. Aku menerima surat itu sambil melangkah gontai berjalan keluar ruangannya. Sedih harus meninggalkan studio ini yang sudah hampir tiga tahun aku bekerja. Tidak menyangka ini merupakan hari terakhir ku menginjakkan kaki di kantor ini. Ah, mungkin ada hikmah di balik kejadian ini, pikir ku.
Aku berjalan lemas sambil berpikir. Mungkin ada baiknya juga aku di pecat. Karena walaupun bekerja keras selama ini aku tidak mendapat apa-apa. Dengan gaji pas-pasan. Sembilan puluh US dollar sebulan. Rasanya tidak enak kalau harus di rupiahkan. Jadi supaya terdengar lebih enak di telinga, angkanya ku sebut dalam dollar. Walaupun pada kenyataannya, di bayar dengan rupiah. Bayangkan dengan pendapatan sejumlah itu harus hidup di kota besar seperti Jakarta ini.
Untuk bayar kost, spp kuliah, makan, ongkos, pulsa, dan tetek bengek lainnnya. Jangankan buat menabung. Masih ada sisa saja tidak mungkin. Bahkan untuk menutupi kekurangan hidup harus ngutang kesana-kemari. Lha, banyak pekerja sektor lain yang mungkin mengalami nasib yang sama seperti ku, buruh pabrik, petani, nelayan, tenaga honorer di instansi pemerintahan, dll
Bagaimana guru-guru honor yang bekerja di daerah pedalaman penuh dedikasi, malah pendapatannya lebih parah, di bawah UMK atawa Upah Minimum Kehidupan, hanya sekitar dua puluh lima sampai empat puluh lima US dollar per bulan. Itu pun masih dengan potongan sana-sini. Maaf kalau lagi-lagi aku menggunakan mata uang dollar, tujuannya supaya enak di dengar di telinga. Tidak sampai hati rasanya jika harus di rupiahkan. Ya okelah, kalau kita rata-ratakan pekerja kita di bayar dengan gaji delapan puluh US dollar.
Aku jadi teringat dengan James, sahabat pena ku di Amerika Serikat. Suatu hari kami pernah ngobrol via chatting. James bertanya berapa pendapatan ku per bulan. Aku menjawab jujur, “Sembilan puluh dollar”. “What ?” kata James. “Di negara ku pendapatan minimal paling rendah itu seratus dollar. Jadi kalau ada orang yang bekerja dengan gaji di bawah jumlah itu, sudah termasuk ke dalam golongan fakir miskin, dan menjadi tanggungan negara”, papar James. Berarti aku masuk ke kategori fakir miskin. “Apa negara mu kekurangan uang ?”, tanya James. “Tidak, malah uang berlimpah di negara kami berjumlah trilyunan, belum lagi bantuan negara asing yang berjumlah milyaran dollar”, jawab ku. “Lantas kemana uang-uang itu ? bukankah seharusnya di salurkan ke tangan rakyat ?”, sambung James.
“Wah, saya tidak tahu. Yang saya tahu uang-uang itu di bagi-bagikan ke tangan para konglomerat, pejabat, dan orang-orang yang dekat dengan kekuasaan, kira-kira begitu yang saya baca di koran”, jawab ku lagi. “Atau mungkin sumber daya negaramu kurang barangkali ?” tanya James penasaran. “Tidak juga. Negara ku kaya dengan minyak, emas, bahan tambang, hasil laut, hasil pertanian, dalam jumlah yang melimpah”, ujar ku. “Lalu, bagaimana kamu bisa hidup dengan uang segitu ?”, sambung James. “Saya juga tidak tahu…”, jawab ku lagi singkat. “Ohh, what a life…!”, begitu kata terakhir James menutup obrolan chatting kami.
Aku berjalan menuju halte bus, masih dengan kepala yang beputar-putar berisi banyak pertanyaan yang tidak bisa ku jawab. Sore itu cuaca agak hujan. Banyak orang yang berteduh di halte bus tempat ku menunggu angkutan. Di depan ku berdiri seorang bapak berpakaian necis sedang bertelepon ria. Kelihatannya membicarakan urusan bisnis, serius sekali. Tiba-tiba seorang bapak tua, menghampiri bapak yang sedang bertelepon itu. “Maaf, apa saya boleh memakai telepon anda ?”, si bapak tua itu berkata pada bapak yang sedang menelepon. Aku hanya memperhatikan. Sementara hujan turun semakin deras.
“Oh, maaf telepon saya tidak di jual”, jawab bapak itu. Tidak jelas apa maksudnya. Si bapak tua kelihatan kecewa mendengar jawaban bapak parlente itu. Celingukan, dia melihat ke kiri-kanan mencari telepon. Beberapa orang yang sedang berada di halte itu, buru-buru menyimpan ponsel mereka. Mungkin takut kalau bapak tua itu akan berbuat jahat. Ya, di kota besar begini masyarakatnya memang selalu bersikap antipati dan sangat hati-hati pada orang asing tidak di kenal.
Tiba-tiba bapak tua itu menghampiriku. “Nak, apa bapak boleh meminjam telepon barang sebentar?”, ucap bapak tua itu. Aku memperhatikan dengan seksama bapak tua itu. Dari ujung rambut sampai ujung kaki. Kelihatannya dia tidak punya maksud jahat. Kalaupun dia berniat jahat, aku gampang mengatasinya. “Ohh, boleh…boleh pak”, jawab ku spontan tanpa menaruh rasa curiga. “Maaf pak, kalau saya boleh tahu untuk apa bapak mau meminjam telepon?”, tanya ku. “Bapak mau menghubungi anak bapak di rumah. Minta supaya mengantar baju ganti kemari. Baju bapak basah kuyup”, jawab bapak tua itu.
Walaupun masih bingung aku mengeluarkan ponsel ku. “Ini pak, silahkan, pakai saja”, kata ku sambil menyodorkan ponsel ke tangan bapak tua. “Maaf nak, bapak tidak tahu cara pakainya. Bisa tolong hubungi ke nomor anak saya, ini nomornya”, kata si bapak tua sambil menyodorkan selembar kertas yang sudah kumal. Ada sebuah nomor telepon tertulis di situ. Aku menghubungi nomor itu. Tuut…ada nada sambung. “Ini pak, teleponnya sudah nyambung”, kata ku.
“Hallo, ini bapak…tolong antar baju ke kios, badan bapak sudah basah kuyub…cepat ya”, hanya itu kata yang di ucapkan bapak tua itu kepada si penerima telepon. Kelihatannya yang menerima telepon memang anaknya. “Ini nak, teleponnya, terima kasih banyak, berapa saya harus bayar biayanya?”, tanya bapak tua sambil mengembalikan ponsel ku. “Oh, tidak usah pak, saya ikhlas kok”, jawab ku singkat.
Ternyata bapak tua itu hanya meminjam telepon untuk menghubungi anaknya karena minta di antarkan baju ganti. Sederhana, pikir ku. Tapi kenapa tidak ada yang mau menolongnya. Malah semua orang yang ada di halte itu seperti tidak mau tahu. Padahal aku memperhatikan dari tadi banyak orang yang memencet-mencet ponsel, entah sedang mengirim sms, sekedar bermain game, atau biar kelihatan gaya saja di lihat orang sedang memegang ponsel, padahal tidak ada pulsa, seperti kata teman ku James, ohh what a life…!
Tiba-tiba bapak tua itu menghampiri ku lagi. Kali ini ia menyodorkan sebungkus rokok ke arah ku. “Ini nak, sebagai pengganti biaya telepon saya tadi”, kata si bapak tua. Saya menjawab, “Lho, tidak usah repot-repot pak, saya ikhlas kok”. “Tidak apa-apa nak, saya juga ikhlas”, ucap bapak tua lagi sambil memegang tangan ku agar menerima rokok yang di pegangnya.
Si bapak tua ternyata seorang penjual rokok. Dia memiliki sebuah kios rokok kecil di halte bus itu. Ahaa, aku mulai mengerti kenapa dia menyuruh anaknya mengantar baju ganti. Dalam hati ku masih bingung. Lha, tadi sempat ku periksa, pulsa ku hanya berkurang tujuh ratus lima puluh rupiah. Bapak tua itu memberi sebungkus rokok yang berharga kira-kira sepuluh ribu rupiah. Ah, lumayanlah hari ini tidak keluar uang buat beli rokok, gumam ku. Hujan masih belum reda malah bertambah deras. Bus yang biasa ku naiki tak kunjung lewat. Biasanya kalau hujan memang angkutan sedikit susah.
Di sebelah ku duduk seorang cewek. Masih muda dan berparas lumayan manis. Kelihatan sibuk mengutak-ngatik ponselnya. Aku hanya memperhatikan sekilas. “Eee…maaf, apa saya juga boleh minjam handphone kamu?”, tiba-tiba cewek itu berkata kepada ku. “Lho, itu kan kamu punya handphone ?”, tanya ku sok cuek.“Iya nih, tapi hp saya lagi lowbatt…saya mau telepon kakak saya minta supaya jemput kemari…makanya kalau boleh saya pinjam handphone-nya kamu”, sambung cewek itu lagi. “Ohh, gitu…ini”, kataku sambil menyodorkan ponsel ku. “Maaf, apa boleh saya buka kartu hp kamu, biar pakai kartu saya saja”, ucap si cewek. “Lho, ya udah pakai aja, pakai kartu saya saja,gak apa-apa kok”, jawab ku. “Ahh, saya gak enak…lagian nomornya ada di memori kartu saya”, ujar si cewek lagi, kelihatan segan.
Akhirnya aku membiarkan kartu ponsel ku di buka sementara pakai kartu si cewek itu. Sejurus kemudian, kelihatan dia sudah selesai menggunakan ponsel ku. “Mas, ini hp-nya…thanks banget yaa, dari tadi hp-nya di pinjamin orang melulu, jadi kayak wartel berjalan, hehehe…”, ucap si cewek sambil bercanda. “Ya, sama-sama”, jawab ku cengar-cengir. Rupanya cewek ini memperhatikan kejadian aku dengan si bapak tua penjual rokok, batinku. “Oh iya, ngomong-ngomong kamu dari mana kok hujan-hujanan di sini?”, aku mencoba membuka obrolan. “Oh, kebetulan saya bekerja di sebuah counter handphone, itu di mall itu…”, jawab si cewek sambil menyebutkan nama sebuah mall yang berada tak jauh dari halte bus.
Obrol punya obrol akhirnya kenalan juga. Si cewek itu namanya Indah, dia kost juga di kota Jakarta ini, berdua bersama seorang kakak perempuannya. Tak berapa lama, sebuah sepeda motor berhenti di halte. Kelihatannya kakak perempuan Indah yang datang menjemput. “Adit, thanks yaa…sampai ketemu lagi, bye”, ucap Indah sambil beranjak pergi. Beberapa menit kemudian bus jurusan ke kost-an ku datang juga, panjang umur, pikir ku. Sudah capek dari tadi aku menunggu. Baju di badan juga sudah kering lagi, padahal tadi basah kena hujan.
Sampai di kost-an, langsung tubuh ku refleks mencari kasur. Letih sekali hari ini. Rasanya harus segera di selesaikan di kasur. Sebelum terlelap sempat aku memikirkan kejadian-kejadian yang ku alami hari ini. Dari mulai telat bangun, sampai telat tiba di kantor yang berakibat aku di pecat. Sampai menolong si bapak tua, kenalan dengan Indah, haah… bad day..good day, semuanya terjadi dalam satu hari ini, ohh what a life !
Tiit…tiit, ponsel ku berbunyi, memberi tanda ada pesan baru masuk. Ku baca, dari Indah, isi pesannya “Adit, thanks banget yaa atas bantuannya tadi, met bobok have a nice dream…” segera ku-reply, “met bobok juga indah, bye…” aku pun segera terbang ke pulau mimpi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H