Mohon tunggu...
Agustina Mappadang
Agustina Mappadang Mohon Tunggu... Dosen - Assistant Professor, Practitioner and Tax Consultant

Dr. Agoestina Mappadang, SE., MM., BKP., WPPE, CT - Tax Consultant, Assistant Professor (Finance, Accounting and Tax)

Selanjutnya

Tutup

Money

"Wafatnya" Good Corporate Governance di PT. Asuransi Jiwasraya

10 Juli 2020   23:05 Diperbarui: 11 Juli 2020   08:45 6446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PT. ASURANSI JIWASRAYA (AJS) adalah perusahaan asuransi jiwa milik pemerintah Republik Indonesia (BUMN), oleh sebab itu laporan keuangannya wajib diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sehingga segala penyimpangan penggunaan keuangan yang merugikan institusi AJS sama artinya merugikan negara Indonesia dan penyimpangannya tersebut dapat berimplikasi pada tuntutan tindak pidana korupsi.

Diketahui bersama pada tanggal 10 Oktober 2018,  AJS menyampaikan penundaan pembayaran klaim polis asuransi jiwa berbalut investasi yang disebut "JS Saving Plan" kepada nasabahnya dan menawarkan perpanjangan hingga akhir tahun 2019 dengan kompensasi bunga 5% s/d 6% nett per tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi "kesalahan" pengelolaan keuangan dalam AJS.

Atas "kesalahan" pengelolaan keuangan tersebut, Pihak AJS melalui Direktur Utamanya memberikan alasan yang diungkapkan dihadapan anggota komisi XI DPR RI pada saat Rapat Kerja tanggal 7 Nopember 2019, yakni  diakibatkan oleh :

1.      Produk JS Saving Plan yang dikeluarkan AJS  tahun 2013.

         Produk tersebut berkondisi durasi kontrak 5 tahun (jatuh tempo hingga 2018) dengan  jaminan return sebesar 9% s/d 13% per tahun dan dapat dicairkan dananya setiap tahun.

         Dengan kondisi tersebut maka terjadi tekanan likuiditas dalam AJS.

2.      AJS tidak hati-hati dalam melakukan investasi saham di Reksadana.

         Investasinya adalah merupakah high risk asset.

3.      Adanya rekayasa harga saham (window dressing)

Dengan alasan di atas maka penyebab "kesalahan" seakan-akan diakibatkan oleh ketidak hati-hatian para direksi AJS dalam mengambil keputusan, baik saat membuat produk asuransi JS Saving Plan maupun "kesalahan" dalam menginvestasikan dana nasabah, yang berarti bahwa "kesalahan" tersebut dianggap bukan merupakan tindak pidana namun lebih cenderung "diarahkan" ke tindak  perdata.

Didalam rapat tersebut diungkapkan oleh Direktur Utama AJS bahwa AJS memerlukan suntikan dana sebesar Rp. 32,89 triliun untuk memperbaiki permodalan dan kinerja AJS yakni agar risk based capital (RBC) bisa memenuhi ketentuan minimal 120%.

Dikarenakan masih belum adanya jalan keluar maka di hadapan anggota komisi VI DPR RI pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) tanggal 16 Desember 2019, Direktur Utama AJS menyampaikan belum dapat membayar klaim polis JS Saving Plan kepada nasabah dengan nilai mencapai Rp.12,4 triliun pada akhir Desember 2019 dan Rp.3,7 triliun pada tahun 2020.

Kemana larinya dana hasil penjualan produk JS Saving Plan ?

Menurut keterangan Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung pada tanggal 19 Pebruari 2020 bahwa dana tersebut diinvestasikan pada saham-saham "gorengan" yang ada di Reksadana dengan nilai pembelian harga saham yang sangat tinggi saat itu. Saat ini saham-saham "gorengan" tersebut hanya bernilai Rp.50,-

Dari hasil penyelidikan Kejaksaan Agung bahwa ternyata transaksi investasi saham "gorengan" tersebut mencapai 4 juta transaksi bahkan mungkin terus bertambah dan melibatkan ribuan rekening penerima dana dari AJS serta sudah adanya indikasi pencucian uang melalui pembelian apartemen-apartemen mewah.

Jadi jelas bahwa skandal AJS yang berhubungan dengan JS Saving Plan merupakan suatu tindak kejahatan yang dilakukan secara bersama-sama dan direncanakan secara matang antara pihak internal AJS dengan pihak eksternal AJS.

Kita mundur sesaat ke tahun 2008 -- tahun 2013.

Mengapa AJS pada tahun 2013 memasarkan produk JS Saving Plan ?

Penulis melihat, hal ini sangat berkaitan erat akibat posisi keuangan AJS di tahun 2008.

Direktur Utama AJS saat itu mengungkapkan bahwa akibat buntut dari krisis moneter tahun 1998 maka AJS di tahun 2008 memiliki liability (kewajiban bayar utang) lebih tinggi Rp. 5,7 triliun dibandingkan dengan nilai asetnya yang berarti AJS memiliki defisit sebesar Rp. 5,7 triliun, bahkan di tahun 2009 defisit semakin besar mencapai Rp.6,3 triliun.

Untuk membuat kesan AJS dalam kondisi sehat maka manajemen AJS melakukan revaluasi aset dan reasuransi dengan jaminan negara sebab waktu itu Menteri Negara BUMN mengeluarkan surat going concern terhadap AJS sehingga secara akuntansi nilai defisit tersebut akhirnya dapat dihilangkan, bahkan dalam laporan keuangan AJS tahun 2011 tercatat surplus Rp.1,3 triliun dan pada laporan keuangan tahun 2012 tercatat surplus Rp. 1,6 triliun dengan catatan bahwa jika financial reasuransi dihilangkan maka AJS dalam posisi defisit Rp.3,2 triliun.

Walaupun saat itu  secara akuntansi  defisit AJS sudah di "netralisir" namun tetap kewajiban kepada nasabah yang sudah jatuh tempo harus dipenuhi. Untuk hal tersebut maka AJS memerlukan segera suntikan dana segar. Dikarenakan suntikan dari pemerintah tidak disetujui maka pada akhir tahun 2012, AJS berencana mengeluarkan produk JS Protection Plan dan pada tanggal 18 Desember 2012 produk tersebut telah diberi izin oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK).

Pada awal tahun 2013, AJS mulai memasarkan produk barunya tersebut, namun ada keanehan, yakni namanya berubah menjadi JS Saving Plan. Produk ini sangat diminati masyarakat karena adanya kondisi kontrak yang begitu bagus dibandingkan investasi lainnya.  

Jadi beban AJS saat ini sebenarnya bukan hanya akibat JS Saving Plan saja namun merupakan akumulatif dari beban utang AJS sejak tahun 2008 dan jatuh temponya kewajiban pembayaran JS Saving Plan.

Sekarang kita mundur ke tahun 2004 -- tahun 2008.

Apakah benar defisitnya keuangan AJS sebesar  RP.5,7 triliun ditahun 2008 akibat buntut krisis moneter tahun 1998 ?

Penulis meyakini bahwa utang tersebut sangat berkaitan erat dengan kondisi keuangan AJS di tahun 2004. Keyakinan penulis didasari hasil penelusuran Majalah Tempo (Edisi 7 Maret 2020), yakni pada laporan keuangan AJS tahun 2004, terlihat adanya insolvency (nilai aset lebih kecil dari nilai utang) sebesar Rp. 2,769 triliun, yang berarti sebenarnya AJS  saat itu sudah dapat dikatakan posisi "collaps".

Namun anehnya dalam kondisi seperti itu, pada kisaran tahun 2004 -- 2006 AJS melakukan Repurchase Agreement (REPO) saham Group Bakrie senilai Rp. 3 triliun dengan menggunakan dana nasabah yang terserap. Pada saat jatuh tempo, ternyata saham REPO tersebut tidak dapat ditebus kembali.

Akibat hal diatas maka kondisi likuiditas AJS semakin parah  sehingga  Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk laporan keuangan AJS tahun 2006 dan tahun 2007 memberikan opini disclaimer (informasi tidak dapat dipertanggungjawabkan) bahkan kondisi insolvency AJS kian membesar terus dan sampai pada tahun 2008 tercatat insolvency mencapai Rp. 5,7 triliun.

Jadi jelas bahwa posisi defisit di tahun 2008 bukan saja akibat buntut krisis moneter tahun 1998 namun diakibatkan "kesalahan" pengelolaan keuangan yang dilakukan secara sengaja oleh para pemegang kebijakan di AJS sebelumnya (2004-2008) dan tidak tertutup kemungkinan adanya "kerjasama negatif" dengan pihak-pihak lain di luar AJS.

Saat ini, REPO Backrie tersebut tidak jelas penyelesaiannya dan sangat disayangkan bahwa kondisi tersebut belum tersentuh dalam penyidikan oleh Kejaksaan Agung. Hanya sementara terlihat adanya saham-saham Backrie Group di Reksadana yang berkaitan dengan skandal AJS.

Penulis berharap skandal di AJS ini dapat dibuka seluas-luasnya oleh pihak penyidik, termasuk pengungkapan berapa nilai asset serta total kewajiban sesungguhnya karena nilai buku pada laporan keuangan AJS sangat diragukan kebenarannya. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:

(1)       Hasil audit investigasi BPK menyatakan bahwa AJS seringkali melakukan rekayasa harga saat transaksi jual-beli saham,

(2)       Hasil audit PWC (Praice Waterhouse Coopers) atas laporan keuangan AJS tahun 2017 terjadi koreksi laba  sangat besar yakni Rp.2,4 triliun menjadi hanya Rp.428 miliar,

(3)       Pengakuan dari Dirut AJS pada November 2019 dihadapan komisi XI DPR RI bahwa pada kwartal III tahun 2019 AJS hanya memiliki aset senilai Rp.23,26 triliun sedangkan kewajibannya sebesar Rp.50,5 triliun, yang berarti bahwa AJS mengalami ekuitas negatif sebesar Rp.27,24 triliun dengan liabilitas JS Saving Plan yang bermasalah sebesar Rp. 15,75 triliun, sehingga AJS memerlukan suntikan dana sebesar Rp.32,89 triliun untuk memenuhi rasio kecukupan modal berbasis risiko (RBC).

Mengapa skandal di PT. Asuransi Jiwasraya terjadi ?

Gagalnya penerapan Good Corporate Governance (GCG) merupakan kunci utama yang menyebabkan terjadinya skandal di AJS, sebab tidak diterapkannya prinsip-prinsip GCG dalam manajemen AJS, yakni:

(1)       Tidak adanya Keterbukaan (Prinsip "Transparency")

             Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa AJS telah melakukan manipulasi atas laporan keuangan sehingga disangsikan akan kebenarannya oleh OJK dan BPK serta PWC. Hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya Transparency dari manajemen AJS.

(2)       Kebijakan Yang Diputuskan Tidak Dapat Dipertanggungjawabkan (Prinsipm "Accountability")

             AJS dalam kebijakannya tidak memperhitungkan resiko atas investasi yang dilakukannya (REPO saham Backrie Group, pembelian saham-saham "gorengan" di Reksadana) , terlebih dana untuk investasi resiko tinggi tersebut menggunakan dana nasabah yang berarti AJS mengabaikan prinsip Accountability.

(3)       Tidak Bertanggungjawab Atas Hasil Pelaksanaan (Prinsip "Responsibility")

             Dengan terjadinya AJS "gagal bayar" atas kewajiban JS Saving Plan kepada nasabahnya dan terjadinya nilai ekuitas yang negatif, adanya rekayasa harga saham sesuai hasil audit investigasi BPK serta adanya manipulasi nilai laba dan aset pada laporan keuangan menandakan bahwa AJS tidak menerapkan prinsip Responbility.

(4)       Adanya kepentingan pihak tertentu  (Prinsip "Independence")

             Dengan adanya hasil penangkapan oleh Kejaksaan Agung atas sekian banyak manajer investasi serta pribadi-pribadi pengurus di AJS menandakan telah terjadinya kolusi berjamaah dalam "merampok" dana negara melalui AJS yang berarti bahwa prinsip Independence tidak diterapkan dalam manajemen AJS.

(5)       Tidak Adanya Keadilan, Kewajaran dan Kejujuran (Prinsip "Fairness")        

             Dari semua hal diatas jelas bahwa tidak ada rasa keadilan, kewajaran serta kejujuran dari para pengurus AJS yang berarti sama sekali tidak ada Fairness sebab mereka hanya menguntungkan diri sendiri serta kelompoknya tanpa memperhatikan kepentingan stakeholders yakni para nasabah AJS serta pemerintah selaku pemegang saham utama AJS.

Jika dalam suatu manajemen telah terjadi perlakuan tindak kejahatan / kecurangan secara berjamaah dari pemegang-pemegang kebijakan maka sebaik-baiknya system yang harus diterapkan dalam suatu manajemen tetap tak ada artinya.

Demikian pula prinsip-prinsip GCG tidak dapat dijalankan dan tidak dapat berguna apabila setiap pribadi pemegang kebijakan secara bersama-sama melakukan niat tidak baik demi kepentingan diri pribadinya dan kelompoknya. Hal ini terjadi pada AJS sejak lama, setidaknya sejak tahun 2004.

Penulis meyakini pola-pola kejahatan seperti yang terjadi di AJS bisa saja terjadi pula pada BUMN lainnya, sebab penulis melihat sekian banyaknya BUMN yang ada di Indonesia, namun hanya sebagian kecil yang dapat memberikan setoran laba yang berarti bagi negara. 

Untuk hal tersebut penulis berharap pemerintah (Eksekutif) bersama-sama lembaga lainnya (Legislatif, Yudikatif, KPK, BPK, dan lainnya) bersatu padu segera mengambil tindakan nyata dan tegas untuk penyelamatan uang negara dengan menyita asset-asset para pihak yang terlibat serta menerapkan sanksi hukum seberat-beratnya kepada para pelaku kejahatan tersebut demi memperbaiki citra dan kemakmuran negara Indonesia yang kita cintai.

Bagaimana pemerintah memperbaiki kepercayaan nasabah terhadap asuransi milik pemerintah ?

Saat ini pemerintah telah membentuk perusahaan asuransi baru yang bernama Nusantara Life. Perusahaan ini difungsikan untuk merestrukturisasi polis nasabah AJS dan selanjutnya akan dinaungi oleh holding asuransi PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Persero).

Rencananya, setelah seluruh pemegang polis AJS pindah ke Nusantara Life maka barulah AJS dibubarkan.

Penulis sependapat dengan kebijakan pemerintah tersebut, sebab saat ini dipastikan masyarakat telah hilang kepercayaannya kepada AJS. Sebesar apapun pemerintah menyuntikan dananya ke AJS maka tetap akan sulit menumbuhkan rasa kepercayaan masyarakat terhadap AJS.

Jakarta, 10 Juli 2020

Penulis

Agustina Mappadang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun