Mohon tunggu...
Agus Siswanto
Agus Siswanto Mohon Tunggu... -

sinau nulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

KESENJANGAN PENDIDIKAN PEREMPUAN

8 Juli 2011   07:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:50 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penggalan dialog:

T: “Sudah punya anak berapa, Bu?” J: “Dua, laki-laki dan perempuan”. T: “Dua-duanya masih pada sekolah?” J: “Yang laki-laki masih kuliah, yang perempuan bantu saya di rumah ?” T: “Lho kok begitu, kenapa anak perempuan ibu tidak disekolahkan juga?” J: “Karena nantinya juga akan menjadi ibu rumah tangga seperti saya...“

Kebijakan pemerintah tentang program wajib belajar 9 tahun untuk pendidikan dasar dapat meningkatkan kecerdasan anak-anak Indonesia dengan lebih baik. Pemerintah juga sudah memiliki niatan yang baik untuk mengalokasikan anggaran pendidikan hingga mencapai 20 persen. Namun demikian, kesenjangan pola pendidikan terhadap perempuan dan laki-laki sampai saat ini di Indonesia masih belum bergeser secara signifikan. Pendidikan bagi anak perempuan belum menjadi prioritas sebagaimana halnya pendidikan bagi anak laki-laki. Akibatnya ketimpangan jender masih belum bisa dihapuskan.

Hasil survei yang dilakukan oleh Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2006 merekam kesenjangan yang cukup tajam dalam pemberian kesempatan untuk mengenyam pendidikan bagi laki-laki dan perempuan. Di perkotaan angka putus sekolah (APS) dengan alasan tidak ada biaya lebih banyak terjadi pada anak perempuan (33%) daripada anak laki-laki (31%). Artinya, ketiadaan dana orang tua untuk menyekolahkan anak perempuan lebih menonjol daripada untuk menyekolahkan anak laki-laki.

Periode sekolah bagi anak perempuan, baik di perdesaan maupun di perkotaaan, secara rata-rata, lebih pendek daripada anak laki-laki. Anak perempuan di perkotaan hanya bersekolah rata-rata selama 6,7 tahun dan di perdesaan selama 5,7 tahun. Sementara rata-rata pendidikan anak laki-laki di perkotaan adalah 9,5 tahun dan di perdesaan sekitar 8,5 tahun.

Kesenjangan ini berakibat: pertama, angka buta huruf anak perempuan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan anak laki-laki. Kesenjangan buta huruf perempuan dengan laki-laki terjadi pada usia 15 tahun dan usia 45 tahun ke atas. Pada usia 15 tahun, sebanyak 11,6% perempuan buta huruf, sedangkan laki-laki sebanyak 5,4%. Pada usia 45 tahun ke atas, perempuan yang buta huruf sebanyak 29%, sedangkan laki-laki ‘hanya’ 13%.

Kedua, anak perempuan yang bisa menamatkan SLTA/sederajat dan perguruan tinggi juga lebih sedikit jika dibandingkan dengan anak laki-laki. Fenomena lainnya, anak perempuan akan menjadi korban dari praktek pernikahan dini dan korban dari norma masyarakat yang merugikan perempuan, misalnya pandangan bahwa anak perempuan lebih diperlukan dalam membantu menyelesaikan tugas sehari-hari di rumah dan setelah menikah nantinya akan menjadi ibu rumah tangga yang hanya mengurusi masalah: dapur, sumur, dan kasur. Sedangkan anak laki laki menjadi kepala keluarga yang memiliki tanggung jawab yang lebih besar dan diharapkan akan menopang kelangsungan hidup keluarga.

Fakta-fakta di atas tentunya menjadi tantangan bagi tersedianya sumber daya perempuan yang berkualitas. Ini berarti, bagi anak perempuan, kesempatan untuk bisa memperoleh pekerjaan yang lebih baik dan menempati posisi yang menentukan di berbagai sektor juga lebih kecil jika dibandingkan dengan anak laki-laki. Kesenjangan pada bidang pendidikan telah menjadi faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap bidang lain di Indonesia, hampir semua sektor, seperti lapangan pekerjaan, jabatan, peran di masyarakat, sampai pada masalah menyuarakan pendapat antara laki-laki dan perempuan yang menjadi faktor penyebab bias gender adalah karena faktor kesenjangan pendidikan yang belum setara.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka penyadaran kepada orang tua, penyediaan akses pendidikan oleh pemerintah dan swasta yang terjangkau oleh masyarakat, merupakan salah satu program yang sangat penting dalam kegiatan pemberdayaan perempuan. Dalam skema penanganan, anak-anak dari perempuan kurang mampu, anak-anak perempuan yang menjadi korban kekerasan, anak-anak perempuan berprestasi dan anak-anak dari ibu-ibu yang rumah tangganya berantakan (broken home) akan mendapat jaminan pendidikan seutuhnya. Sementara perempuan-perempuan dewasa yang mengalami kekerasan juga masih bisa mengikuti berbagai program pendidikan informal seperti pengajian, baca tulis al-Qur’an dan aksara latin, serta pendidikan keterampilan lainnya.

Kita menyadari betul betapa kompleksnya permasalahan yang ada di dunia pendidikan pada umumnya, sehingga pemerintah tidak dapat bergerak sendirian untuk memperbaiki akses terhadap pendidikan perempuan di Indonesia. Pemerintah bisa menggandeng LSM, Ormas, dan masyarakat luas untuk membantu antar sesama, terutama dalam hal pendidikan bagi anak perempuan.

Penutup

Kemajuan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia, sedangkan sumber daya manusia sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan serta keterampilan. Faktor-faktor tersebut tidak bisa  dibentuk secara instan,  tetapi  melaui proses yang berkelanjutan dari semenjak dini (usia balita) hingga dewasa. Salah satu cara yang paling tepat untuk meningkatkan taraf hidup adalah dengan memiliki pengetahuan yang luas melalui pendidikan yang tinggi sehingga dapat memperoleh pekerjaan yang layak. Untuk mencapai semua itu perlu peran serta semua pihak, apalagi kehidupan sosial masyarakat saat ini semakin sulit, biaya pendidikan yang tinggi merupakan kendala yang paling berat yang harus dihadapi masyarakat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun