Mohon tunggu...
Agus Sutikno
Agus Sutikno Mohon Tunggu... Koki - Belajar, belajar dan terus belajar.

Sederhana dan menghargai prosesnya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Senyum Si Dija

2 Januari 2020   07:28 Diperbarui: 2 Januari 2020   07:24 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SENYUM SI DIJA...  

Pertemuannya berawal dari seringnya Mas Bimo pergi ke Taman Hiburan Rakyat untuk menonton acara musik reguler disetiap malam malam tertentu.  Paling tidak Mas Bimo ini awalnya seminggu sekali meluangkan waktu untuk menonton live musik ditaman hiburan rakyat dikotanya.

Seringnya ketemu dengan mbake penjaga tiket yang selalu dengan ramah saat melayani (pembelian tiket) kepada Mas Bimo dan saya rasa juga kepada pembeli pembeli tiket yang lain. Yaa memang SOP nya seperti itu kalii mas

Mas Bimo yang sudah 45 tahun ini adalah peternak sapi sukses, petani ulet, tidak merokok, sholat 5 waktu yang hampir tak pernah terlewatkan, juga aktif di kegiatan kegiatan yang diadakan dikelurahannya. Dia bukanlah pamong atau aparat desa, tapi Pak Lurah selalu mengundang Mas Bimo ini sebagai perwakilan  tokoh masyarakat disetiap ada persoalan persoalan didesanya.

Sebagai seorang laki laki, Mas Bimo bisa dikatakan sudah siap segalanya untuk menjalani yang namanya mahligai perkawinan. Pekerjaannya mapan, penghasilan yang lebih dari cukup, sudah ada ditangannya ditambah wajah yang juga tidak mengecewakan. Tapi masalah jodoh masih ditangan Tuhan. Ya, Mas Bimo ini entah kenapa belum menikah sampai diusianya yang sudah menginjak 45 tahun.

Semenjak di tinggal menikah Nurjanah , cinta pertamanya, puluhan tahun silam. Mas Bimo ini seperti menutup hatinya dengan yang namanya wanita. Bagi dia semua wanita hanyalah modus, bisanya hanya menyakiti hati laki laki saja. Itu stigma tentang wanita sebelum dia berjumpa dengan mbake penjaga tiket dimana dikemudian hari Mas Bimo tahu, wanita itu bernama Dija.

Awalnya Mas Bimo hanya dimalam tertentu saja menonton acara musik di taman hiburan. Tapi bayangan senyum Mbak Dija memaksanya untuk datang lagi di malam malam lainnya, hampir setiap malam. Entah acara musiknya apa, yang main siapa, tidak terlalu penting buatnya, yang terpenting adalah bisa melihat senyum si Dija ketika membeli tiket masuk ke tempat itu walau sebentar saja. Senyuman yang telah meruntuhkan tembok angkuhnya terhadap wanita selama ini. 

Mas Bimo kasmaran....

Dari seminggu sekali, Mas Bimo ini pada akhirnya hampir setiap malam datang menonton di taman asmaranya itu. Dan selalu berharap Dija ada didalam tiket box, menyapanya dengan anggukan, memberi senyum manisnya seperti biasanya. Detik itulah pertunjukan yang sebenarnya bagi Mas Bimo sekarang. 

Berbulan bulan sudah Mas Bimo melakukan hal yang sama di setiap malamnya. Akhirnya tidak merasa cukup hanya bisa menikmati senyum si Dija ini sebentar saja. Mas Bimo ingin lebih dari itu. Mengenalnya lebih jauh dan menikmati lebih lama lagi senyum si Dija. 

Pada akhirnya dengan pertimbangan yang sangat matang, Mas Bimo memberanikan diri menyelipkan kertas kecil didalam lipatan uangnya bertuliskan nama dan nomor hapenya. Dia merasa harus memulainya, tidak bisa hanya seperti yang sudah sudah.

Kalau dia merespon niat baiknya pasti dia akan menelponnya, atau minim Si Dija ini akan mengirim SMS menanyakan maksut memberi nomor hapenya. Kalau tidak ya artinya Mas Bimo ini hanya bisa mengagumi saja senyum manis Si Dija. Itupun hanya sesaat ketika Mas Bimo membeli tiket masuk. Cinta adalah pelaksanaan kata kata. Kata hati sekalipun. 

Sehari, dua hari, lima hari sudah Mas Bimo menunggu. Tanpa hasil. Hp dia tidak pernah berbunyi. Kalaupun berbunyi bukan dari yang dia harapkan. Lima hari juga Mas Bimo ini tidak menonton di taman hiburan tempat Dija bekerja. Pada satu sore, setelah sholat Ashar, handphone Mas Bimo berbunyi, ada SMS masuk dari nomor yang belum disimpan olehnya. Yup, SMS dari Dija di penjaga kasir, yang menanyakan maksut Mas Bimo ini menyelipkan nomor hape disaat membayar karcis beberapa hari kemarin.

Dengan lugas dan berapi api Mas Bimo menjawab bahwa dia pingin kenal lebih dekat dengannya. Tentu sebagai wanita Si Dija ini tidak serta merta mengiyakan keinginan Mas Bimo. Tapi akhirnya terjalin juga percakapan via chat yang semakin akrap. Satu bulan sudah  Mas Bimo ini dengan Mbak Dija semakin inten berinteraksi lewat media teks. Dija selalu melarang ketika Mas Bimo hendak menelponnya, dengan alasan waktu dan tempat yang tidak memungkinkan untuk Si Dija mengangkat telpon.

Mas Bimo akhirnya tahu, Dija sudah berumur 32 tahun, janda ditinggal mati, beranak 1 dari keluarga yang sederhana di satu desa di ujung kota ini. Mas Bimo yang sudah 45 tahun dan Si Dija yang  juga sudah 32 tahun. Menjadikan alasan yang kuat buat Mas Bimo untuk melamarnya walau mereka belumlah ketemu. Memang benar ternyata kadang cinta melumpuhkan logika.

Kaget tentu saja Si Dija ini setelah membaca chat panjang dari Mas Bimo ini. Lelaki mapan juga tampan yang selama ini diam diam juga dia kagumi ketika membeli tiket di box penjualan karcis yang dia jaga.

Si Dija tidak menolak, tapi juga tidak serta merta mengiyakan. Dia pingin ketemu dulu sebelum melangkah lebih jauh. Tantu sebagai lelaki yang baik, Mas Bimo mengiyakan. Singkat kata singkat cerita diaturlah hari, jam dan tempat mereka bertemu.

Mas Bimo sudah 15 menit menunggu di satu rumah makan yang mereka pilih menjadi tempat bertemu. Di sruputnya kopi hitam yang sedari tadi ada didepannya. Bersamaan dengan itu, Si Dija sudah ada dihadapannya. Sambil memberi senyum manisnya. Ya, senyum yang selama ini Mas Bimo rindukan.

Dengan jilbab coklat muda yang anggun. Dija memberi salam dengan menyatukan kedua telapak tangannya di dada, sambil sedikit menunduk disertai senyumannya tentu saja. Mas Bimo hanya terkesima melihat itu semua, sampai akhirnya lupa buat mempersilahkan Dija duduk.

Dengan sedikit gugup Mas Bimo mempersilahkan wanita pujaannya duduk. Selalu dibalas dengan senyum indahnya, Si Dija duduk dihadapan Mas Bimo. Ketika Mas Bimo menanyakan Dija mau minum apa, dijawab dari mulut Si Dija ini dengan kata yang terbata bata yang susah dimengeti, sambil menunjuk satu gambar menu. Mas Bimo cuma bisa menahan nafas sesaat  dan pikirannyapun buyar entah kemana, Dija si pemilik senyum manis itu ternyata gagu. Tuna wicara....

Akhirnya selamat buat Mas Bimo dan Mbak Dija. Semoga selalu menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. Amin

Sekian

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun