Setiap kali jelang Ramadhan, hampir selalu muncul perbedaan. Mau mulai hari pertama saja sudah ada perdebatan. Mau yang pakai hitungan tanggal, ada pula yang pakai dalil harus melihat hilal. Kadang, masing-masing mengeluarkan dalil dan sejarah. Detail. Masing-masing punya argumen yang kuat. Sudah seperti menentukan pemenang pemilu saja. Tiap kandidat punya data penguat.Â
"Woi.. ini omongin puasa. Bukan pemilu yang angka rekapnya bisa direkayasa," celetuk sebuah obrolan di warung pojokan yang masih ributin kapan mau puasa.Â
"Ikut aja yang paling banyak..."
"Ikut aja yang paling pendek masa puasanya. Misalnya sahur di Medan, buka puasanya di Papua. Asik itu, puasanya bisa dua jam lebih awal..."
Begitulah, perbedaan lazim terjadi di kalangan umat Islam. Bertahun silam. Bahkan, jadi obrolan, sindiran, tak jarang menjurus adu debat fiqih. Padahal, ada yang modalnya hanya ikutin pengajian satu menitan di Reels, Shorts, atau Tiktok. Seolah-olah sudah paling benar kalau sudah cocok dengan salah satu guru yang membuka kelas ngaji.Â
Padahal, kalau mau dikaji lebih mendalam, justru perbedaan itu yang mendatangkan rahmat loh.Â
"Beneran... gimana kalo kamu sama binimu nggak beda, mana bisa silaturahmi..."
"Setuju, makanya yang sama sejenis alias eljibiti itu dilaknat oleh agama kita..."
Tapi nanti gimana menghitung pahala puasanya dong? Yang duluan puasa masak pahalanya jadi lebih banyak dari yang puasa belakangan? Belum lagi kalau lebarannya beda. Kan ada dalil, puasa di hari raya lebaran itu hukumnya haram. Masak yang masih puasa jadi berdosa?
Akhirnya perdebatan itu lagi-lagi berujung pada siapa punya dalil apa. Siapa ikut guru ngaji siapa. Masing-masing berusaha menjawab dari perspektif pikiran dan kesukaannya.Â