Tugas kehidupan. Kata-kata ini entah kenapa jadi topik bahasan. Gayeng. Malam itu kami berempat. Ngobrol ngalor ngidul. Satu orang suka jelajah penjuru benua. Satu suka jadi perantara. Satu pebisnis yang juga ibu rumah tangga.Â
Satu penulis yang sok bijak mainan kata-kata. Tak terasa, menuju sepertiga sisa malam. Memang tak hanya satu topik itu saja. Tapi, tugas kehidupan itu begitu membekas.
Bisa jadi, karena orang banyak yang tak sadar. Atau malah, berusaha lupa untuk sadar. Karena sejatinya, masing-masing adalah puzzle. Satu dengan lain tak sama. Tapi, saling melengkapi sesuai tugas masing-masing.Â
Hanya saja, atas nama status, kadang yang dianggap populer jadi batasan yang akhirnya menyeragamkan kehidupan. Harus kaya. Harus cantik ganteng. Harus dikenal ke mana-mana. Itu yang dianggap sukses. Standar materi harus punya mercy. Standar liburan harus bisa menginjak Amerika. Standar sekolah, harus Es Tiga.
Maka, ketika empat orang ngobrol tentang tugas kehidupan, dengan beragam latar belakang, yang muncul cenderung dari satu tanya ke tanya berikutnya.Â
Apa tugas saya? Benarkah yang sudah saya lakukan selama ini sesuai dengan fitrah saya? Atau jangan-jangan, saya memang hanya memuaskan nafsu agar jadi manusia yang selalu "dianggap" dan dipandang terhormat?
Absurd memang. Namanya tugas. Siapa yang menugaskan pun kadang kita sering lupa. Padahal, bagi umat Islam, kita selalu diingatkan minimal lima waktu dalam sehari. Yang memberi tugas memanggil, kita masih sibuk bekerja.Â
Yang memberi tugas menyentil, kita sebut itu kesialan saja. Parahnya, bisa saja kita sering terjebak dalam jemawa. Saat orang menyebut kita sukses, itu semata adalah buah kerja kita. Saat orang kagum, kita anggap memang sudah sewajarnya. Ujungnya, kita terjebak dalam fatamorgana status yang entah kapan bisa memuaskan dahaga.
Padahal, saat kita tunduk tafakur, bisa jadi kita akan menemukan tugas itu. Entah, kadang sepele. Atau sebaliknya, bisa pula sangat kompleks. Bisa jadi kita terlahir untuk sandaran teman yang sedang kesusahan.Â
Atau, mungkin jadi tukang jalan-jalan agar bisa berbagi banyak cerita tentang dunia. Ada juga, jadi gembala, yang paham bagaimana hewan juga punya hak untuk memperoleh kasih sayang layaknya manusia. Atau jadi bahan--maaf--bully-an. Sekadar membuat orang lain tertawa.Â
Namun di sisi lain, ada yang sebagian mengaku langsung menemukan. Konon, ia tersembunyi dalam bentuk bakat dari lahir. Ada pula yang mengaku menemukan dalam sebutan passion. Tapi ada juga, yang menyebut sebagai sebuah kebetulan. Semata karena merasa hidupnya hanya seperti air mengalir semata.