Mohon tunggu...
agoeng widyatmoko
agoeng widyatmoko Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengusaha pengolah cerita untuk beragam media

Saya adalah pemerhati bangsa dan sekaligus praktikan yang peduli pada perubahan diri dan lingkungan. Untuk hidup, saya menulis banyak hal. Dan kini, saya hidup untuk menulis dan menginspirasi dengan cara-cara yang sederhana, namun mudah dimengerti dan dipraktikkan bersama.

Selanjutnya

Tutup

Money

Ekonomi Loyo? Benar Gak Sih?

4 Januari 2018   17:13 Diperbarui: 4 Januari 2018   17:22 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://etimg.etb2bimg.com/photo/56748500.cms

Saya termasuk orang yang paling suka baca apa saja analisis para pakar. Terutama, kalau yang berkaitan dengan hal yang berhubungan dengan apa yang terjadi belakangan ini. Salah satunya, soal kelesuan ekonomi akibat kemajuan teknologi. Satu sisi mengatakan semua yang konvensional telah bergeser ke digital. Di sisi lain mengatakan bisnis berpindah dari beli barang ke beli pengalaman. Lalu ada pula yang mengatakan, spending berubah ke saving. 

Semua ada dasarnya. Ada yang keren menyebut sebagai disrupsi. Ada pula yang mengistilahkan sebagai shifting. Namun, dari sekian banyak analisis itu, saya---yang mengalami dan merasakan dari sisi sebagai kelas menengah---punya pandangan yang sedikit berbeda. 

Coba turun lebih ke bawah. Lebih banyak tanya langsung ke masyarakat. Dari obrolan di warung kopi, warteg, hingga caf tempat nongkrong anak muda. Saya menyebut---dalam istilah saya, biar kelihatan keren---setidaknya ada dua fenomena bernama "ekonomi menahan diri" dan "ekonomi demi status". Yang pertama, ini kebanyakan dialami oleh kids zaman old, yang kedua dirasakan oleh kids zaman now. 

Makan di warung kopi, mereka akan tanya kok ini dan itu lebih mahal dari sebelumnya? Makan di warteg juga begitu, sayurnya kok air melulu? Begitu juga saat nangkring di caf. Dari lima yang nongkrong, yang beli satu dua saja. Secangkir kopi kalau perlu dinikmati bersama-sama. Bagi yang perokok, sudah mulai mengurangi rokoknya. Minimal, mengurangi rokok teman alias minta saja. 

Terus ke mana uang mereka kok jadi super hemat? Kenapa mereka jadi sensitif harga meski naik tak seberapa? Bisa jadi, hal itu disebabkan oleh dua jenis fenomena ekonomi tadi.
Pertama, soal fenomena menahan diri. Ini dialami oleh generasi kids zaman old alias generasi non milenials. Bagi mereka kelahiran tahun 70-80an, yang kini rata-rata sudah jadi manajer kelas menengah atau bahkan direktur atau pengusaha, ada sifat menahan diri yang membuat mereka cenderung menahan atau berhenti spending. 

Bagi mereka, ada banyak hal tak pasti di depan yang---sadar atau tak sadar, secara psikologis---mereka sedang antisipasi. Apa penyebabnya? Tak lain adanya berbagai kegaduhan yang sering timbul belakangan. 

Dari urusan politik, ekonomi dunia, penutupan banyak ritel, hingga ketakpastian lainnya. Pengalaman krisis moneter 97-98 silam adalah pembelajaran nyata, bahwa menahan diri dan menumpuk kapital adalah salah satu solusi. Minimal, untuk mengurangi dampak yang bisa saja terjadi tiba-tiba. 

Di sisi lain, mereka juga terkaget-kaget dengan apa yang sedang terjadi. Terutama dengan peralihan zaman digital. Kecepatan perubahan ini yang membuat mereka cenderung menahan diri dan berupaya mencari celah, apa yang bisa dilakukan untuk keselamatan di masa tua (baca: era disrupsi). Mereka berusaha belajar dan memahami, tapi kadang justru kebingungan apa yang harus dilakukan. 

Mirip Nokia yang akhirnya kalah dengan smartphone atau Blackberry yang hampir tinggal sejarah. Mereka tak mau mengalami itu, tapi tak tahu bagaimana mencegahnya. Ujungnya, menahan diri inilah yang jadi senjata terakhir. Mirip orang yang bertahan dengan peluru terakhir. Belum pasti kapan hendak menembakkan pelurunya, tapi yang jelas paling tidak merasa sudah lebih aman karena punya stok peluru. Maka jangan heran, belanja tak lagi jadi pilihan. Ekonomi pun jadi lesu.  

Kedua, fenomena ekonomi demi status. Ini kebanyakan dialami oleh kids zaman now. Termasuk, mereka yang masuk era milenials kelahiran tahun 90-2000an. Rata-rata, mereka ini masuk sebagai school boys atau first jobers yang butuh status. Yang paling terlihat adalah ramainya Instagram untuk pasang status mereka. 

Tak heran jumlah pengguna Instagram Story dan Live di Indonesia menjadi yang terbanyak di dunia. Catalan akhir 2017 lalu menyebut angka pengguna aktif di Indonesia mencapai 45 juta. 

Lalu, apa hubungannya dengan kelesuan ekonomi? Coba lihat gejala ini. Mungkin absurd, tapi inilah kenyataan yang terjadi. Sevel tutup konon karena yang nongkrong dibanding yang beli sangat jauh perbedaannya. 

Yang nongkrong lima orang, yang jajan hanya satu dua orang. Itu pun hanya kopi atau jus. Tapi, mereka menikmati fasilitas wifi hingga berjam-jam. Lalu, diunggahlah status mereka sedang di Sevel, meski tanpa jajan. 

Atau yang pernah sampai ke Universal Studios di Singapura, pasti tahu persis logo bola dunia itu ada di luar. Hasilnya, bisa berfoto di sana saja sudah cukup bikin eksis di Instagram tanpa harus masuk Universal Studios yang harga tiketnya lebih dari setengah juta rupiah. 

Lalu bagaimana hubungannya dengan tutupnya banyak ritel? Lagi-lagi, mereka ini tak perlu gaya dengan apa yang menempel pada tubuhnya. Tapi, apa yang terlihat di belakangnya. 

Coba cek, lebih banyak mana yang pamer sedang punya baju baru dengan pamer makan kue artis yang sedang hits. Atau, mana status yang lebih banyak di-like orang, yang pamer sedang pakai gadget terbaru atau liburan kekinian, padahal hanya di belakang rumah dengan memainkan angle unik yang jadi menarik. 

Status inilah yang dikejar, status terlihat keren, tanpa harus mengeluarkan budget lebih dalam. Maka jangan heran pula, Uber, Grab Car, dan GoCar laris karena orang bisa ber-selfie di dalam mobil yang berganti-ganti! Bahkan, sering orang meng-cancel pesanan mobil karena yang didapat bukan merek mobil yang diincar untuk selfie!

Pertanyaan lanjutannya, sampai kapan ekonomi ini akan terus lesu? Saya cenderung bertanya dalam pola terbalik. Benarkah saat ini ekonomi sedang lesu? Benarkah tidak belanja artinya ekonomi sedang lesu? Saya tertarik pada sebuah gerakan baru bernama minimalist lifestyle yang konon sedang berkembang. 

Dengan tagline be more with less, banyak orang mulai merasa era minimalis lebih membuat bahagia. Toh, baju yang dipakai itu-itu saja. Toh, punya banyak kendaraan yang dipakai juga hanya satu dua. Intinya, daripada banyak yang tak terpakai, mengapa tidak membatasi? Hal ini sejalan dengan apa yang diungkap sebuah buku berjudul Simple Prosperity: Finding Real Wealth in a Sustainable Lifestyle(2007) tulisan David Wann. 

Ia membuat kita bertanya setidaknya tiga hal: (1) apa tujuan utama dari pola konsumsi kita; (2) apa manfaat dari pola ekonomi (yang kita jalankan); (3) mengapa sering kali kita justru merasa kurang bahagia setelah punya semua dibanding saat sedang mulai mengejar status kekayaan yang kita inginkan? Hmm... bagaimana dengan Anda?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun