“Selamat malam, selamat malam, selamat malam dan selamat datang di QI.”
Begitulah cara Stephen Fry – salah seorang komedian Inggris ternama - menyapa pemirsanya dalam acara berjudul Quite Interesting, yang kalau diterjemahkan secara bebas kurang lebih bermakna “Agak Menarik.” Tayang seminggu sekali di BBC-Two, QI sudah memasuki seri ke 11, (angka yang tidak kecil untuk sebuah acara televisi.)
Format acara ini mempunyai nama yang cukup panjang dan tidak lazim di lidah orang Indonesia. Comedy panel game television quiz show. Sederhananya, acara ini diikuti oleh empat orang panelis – seringkali ke empatnya komedian - yang harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh pembawa acara. Nilai diberikan kepada mereka yang menjawab benar atau memberikan jawaban paling menarik dan mampu memancing tawa penonton. Sebaliknya, para panelis harus mendengar raungan sirine dan kehilangan poin bila menjawab dengan jawaban yang salah. Panelis juga harus siap menjadi bahan olok-olok sesama peserta. Sepintas, tidak ada beda dengan acara cerdas cermat ala TVRI dulu.
Lalu di mana menariknya?
QI terbilang unik karena pertanyaan yang diajukan selalu mengangkat topik yang sebagian besar masyarakat awam sangka benar tapi pada kenyataannya keliru. Seperti misalnya pada salah satu episode tentang ruang angkasa.
“Apa bangunan buatan manusia yang bisa dilihat dari bulan dengan mata telanjang?”
Kalau Anda menjawab Tembok Besar Cina – seperti salah seorang panelis, maka bersiaplah mendengar raungan sirene tanda jawaban Anda salah. Sebab jawaban yang benar adalah tidak ada bangunan apa pun yang bisa terlihat dari bulan dengan mata telanjang. Jangankan dari bulan, begitu meninggalkan orbit bumi, bahkan benua pun sudah nyaris tak terlihat.
Namun berhubung panelisnya komedian, ada saja akal mereka untuk berkelit dan menjawab sesuka hati saat mereka tidak tahu jawaban yang benar.
Stephen Fry: Apa beda antara kodok dan katak?
Alan Davies: (berteriak dengan penuh keyakinan) Ejaannya.
(Sirine meraung)
Tentu saja setelah kericuhan dan tawa penonton mereda, sang pembawa acara akan memberikan jawaban yang benar lengkap dengan kisah-kisah menarik seputar fakta tersebut. Sepanjang 40 menit pemirsa diajak terpingkal-pingkal sekaligus menambah wawasan.
***
Semua orang ingin tertawa. Begitulah tulis Nacio Herb Brown dan Arthur Freed dalam lirik lagu berjudul Make ‘Em Laugh puluhan tahun yang silam. Rupanya manusia sudah sejak lama berusaha membuat orang lain tertawa; lelucon tertua yang tercatat sejarah berasal dari tahun 1900 SM oleh bangsa Sumeria. Seiring perkembangannya, manusia mulai menyadari bahwa segala sesuatu akan lebih menarik bila diselipkan humor atau lelucon. Humor mampu mencairkan suasana, entah itu dalam novel, film, bahkan ilmu pengetahuan yang konon identik dengan kata menjemukan.
Ketika semua orangtua mengeluhkan betapa sulitnya membuat anak-anak mereka belajar terutama pelajaran eksakta, kehadiran acara seperti QI atau Dara Ó Briain Science Club datang bagai angin segar di tengah pertarungan antara menonton versus belajar. Kenapa tidak gabungkan saja keduanya? Menonton sekaligus menambah wawasan.
Membuat sebuah acara televisi yang bernas, bermanfaat dan menarik memang tidak mudah, tapi bukan mustahil. Di banyak negara maju, format seperti yang diusung QI sudah banyak dilakukan. Karena mereka paham, rating sebuah acara tidak semata-mata bergantung pada menarik atau lucu (meski saru), melainkan harus ada muatan wawasan, supaya pemirsa tidak menghabiskan waktu mereka yang berharga untuk menyaksikan sebuah tayangan yang “kosong”. Para komedian berkerjasama dengan para ilmuwan untuk menciptakan acara seperti Dara Ó Briain Science Club, sehingga ilmu pengetahuan yang njelimet bisa disajikan dalam bahasa orang awam dan penuh tawa. Ada juga yang mengambil tema politik seperti Have I Got News For You atau Alexander Armstrong’s Big Ask yang menantang setiap panelis dan pemirsanya dengan pertanyaan-pertanyaan besar seputar hidup. Anak-anak pun tak lantas diabaikan, ada acara yang khusus dibuat untuk mereka seperti The Dog Ate My Homework atau Horrible Histories (yang memperkenalkan sejarah Inggris dan tokoh penting lainnya melalui drama komedi.)
Ternyata perkawinan antara wawasan dengan tawa bisa jadi salah satu resep untuk menciptakan acara televisi yang bernas sekaligus menarik.
***
Saat ini, anak-anak lebih terpapar oleh tayangan di televisi atau internet lebih dari tahun-tahun sebelumnya. Mudahnya akses internet dan semakin murahnya teknologi telepon pintar (smartphone) membuat penghalang di antara mereka dan serbuan tayangan televisi – entah bermutu atau tidak – menjadi samar. Ditambah lemahnya pengawasan orangtua dan lembaga berwenang terhadap sistem rating acara, telah menjadi perbincangan hangat di kalangan para pendidik. Tidak sedikit dari mereka yang merasa was-was dan mulai memperhatikan bagaimana tingkah-laku anak-anak dipengaruhi dan dikontrol oleh acara televisi. Dan, ketika kita mendapati anak berusia lima tahun menyanyikan Buka Dikit, Joss sambil bergoyang ala Caisar, mungkin sudah saatnya mengkritisi tayangan televisi yang hilir-mudik di dalam kehidupan mereka.
Beberapa orang tentu akan membela diri dengan berkata bahwa segala tindakan di dalam acara-acara tersebut dimaksudkan untuk memancing tawa pemirsanya. Mulai dari bergoyang heboh hingga menggolok-olok di luar batas sopan santun. Kelirukah hal tersebut? Mungkin ya, mungkin tidak, dan ruang perdebatannya akan panjang dan sesak. Tapi ketika itu berpotensi mencederai kepribadian generasi muda Indonesia, maka sudah seyogyanya kita mencari alternatif.
Indonesia tidak pernah berkekurangan orang-orang kreatif, cerdas dan mampu menciptakan sesuatu yang baik dan menarik. Kita juga memiliki mereka yang bersedia meluangkan waktu memikirkan masa depan generasi muda bangsanya. Mungkin kini waktunya bagi kita semua untuk berkolaborasi dan menciptakan acara bernas sekaligus menarik, ketimbang menyalahkan satu pihak atau mengambinghitamkan pihak lain. Prototipe-nya sudah ada, teruji oleh waktu, dan menjadi salah satu acara dengan rating tinggi di negara asalnya. Tidak berarti kita harus menirunya mentah-mentah, tapi paling tidak menjadi bahan rujukan, sehingga tidak ada lagi orang yang berkomentar, “Mana bisa bikin orang tertawa sekaligus belajar sesuatu yang baru?” Atau bagi mereka yang skeptis, merasa kalau tayangan ilmu pengetahuan pasti akan minim penonton.
Dan mungkin satu waktu kelak, kita akan mendapati diri kita tertawa di depan televisi sambil berkata, “Astaga! Jadi itu toh fungsi awal sereal jagung, bukan untuk dimakan tapi sebagai alat pencegah masturbasi.”
Ups!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H