Mohon tunggu...
agnes rajagukguk
agnes rajagukguk Mohon Tunggu... -

Sebuah bintik kecil.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjaga Kebhinnekaan dengan Mengingat Kembali Pelajaran Sejarah

28 Desember 2016   15:00 Diperbarui: 28 Desember 2016   21:52 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Langkah Perlahan Menghancurkan Kebhinnekaan

Kasus-kasus terkait SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) tidak bisa kita pungkiri dulu memang banyak terjadi di Indonesia. Beberapa kasus lama yang mungkin masih lekat di ingatan kita sebut saja pelarangan pengenaan hijab di sekolah di Bali atau perusakan tempat ibadah di Bekasi. Tidak dapat dipungkiri memang, kita bangsa yang majemuk ini, terkadang masih suka berselisih pandang dan juga paham.

Namun, jika diingat-ingat kasus paling bombastis yang menelan perhatian hampir seluruh masyarakat Indonesia belakangan ini adalah kasus yang menimpa calon gubernur DKI Jakarta pertahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Semenjak bergulirnya kasus penistaan agama tersebut pandangan masyarakat terhadap kasus SARA semakin mengerucut. Masyarakat yang dulunya bersifat netral terhadap kasus-kasus SARA terpecah dalam kubu pro dan kontra yang ternyata jumlah pendukungnya semakin banyak.

Semenjak kasus Ahok, isu-isu panas terkait SARA lainnya bergulir satu persatu. Dimulai dari pelemparan bom molotov di Gereja Oikumene Samarinda, menyusul bom panci yang dianggap pengalihan isu kasus penistaan agama oleh Ahok, kasus pahlawan kafir yang dilontarkan Dwi Estiningsih, dan yang teranyar pelaporan Habieb Rizieq ke Polda Metro Jaya.

Perguliran kasus-kasus SARA yang semakin memanas belakangan ini menimbulkan reaksi yang jauh berbeda dibanding dulu. Jika pada kasus-kasus sebelum Ahok hanya segelintir masayarakat saja yang mempermasalahkan, setelah kasus Ahok kasus SARA lainnya tampak semakin membesar. Sekali ada yang menyalakan pemantik, api mulai berkobar di berbagai sudut negeri.

Reaksi masyarakat yang banyak dan cepat ini bisa berarti baik. Bisa jadi ini menunjukkan kepedulian kita kepada pihak-pihak yang mungkin ditekan, diabaikan haknya, atau dimusuhi karena suku, agama, ras, dan antargolongan yang dimilikinya. Tapi reaksi ini juga bisa berarti buruk, reaksi ini bukan tidak mungkin perlahan akan memecah kebhinnekaan kita.

Bhinneka Tunggal Ika

Kita paham bahwa negara kita adalah negara yang majemuk. Kemajemukan inilah yang menginspirasi pada pendiri negara dulu mengangkat Bhinneka Tunggal Ika menjadi semboyan negara. Tidak tanggung-tanggung, Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya dijadikan semboyan negara tapi juga dimasukkan dalam konstitusi negara Indonesia (UUD 45 pasal 36 A) dan dituliskan di burung garuda lambang negara Indonesia.

Termaktub dalam Semboyan Negara, Lambang Negara, dan Hukum Dasar negara, ini berarti Bhinneka Tunggal Ika bukanlah hal yang main-main. Para pendiri negara kita jelas menganggap kebhinnekan adalah hal yang sangat penting. Saat merumuskan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara, para pendiri negara kita sudah melihat adanya potensi perpecahan di negara ini. Mereka sudah lebih dulu melihat bahwa kondisi seperti yang kita alami saat ini suatu saat akan terjadi. Karena itulah jelas-jelas mereka menulis Bhinneka Tunggal Ika di Semboyan Negara, Lambang Negara, dan Hukum Dasar negara. Supaya saat kita memandang ke Lambang Negara, kita diingatkan akan kebhinnekaan. Saat kita membuka UUD 1945, kita membaca Bhinneka Tunggal Ika tertulis jelas. Dan saat menyebut semboyan negara, jantung kita juga mendebarkan Bhinneka Tunggal Ika.

Politik Devide et Impera

Masih ingatkah kita bagaimana cara penjajah dulu menduduki berbagai wilayah di Indonesia? Mereka melakukan devide et impera atau politik pecah belah. Mereka memprovokasi wilayah yang satu agar saling membenci dengan wilayah yang lain. Mereka memecah belah kita dari kelompok besar yang sulit ditaklukkan menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukkan. Dengan politik pecah belah ini juga, mereka menjaga agak kelompok-kelompok kecil ini tidak bersatu menjadi kelompok besar yang jelas lebih susah ditaklukkan.

Saat ini kita juga sedang merasakan hal yang sama. Walau tidak sedang dijajah, negeri kita sedang dipecah belah. Pemecahbelahan ini sepertinya memang berjalan perlahan. Namun bukan tidak mungkin era perpecahan akan menyambut kita.

Fokus pada persamaan

Untuk hidup bersama kita tak mesti jadi sama. Di Indonesia, untuk menikah saja kita minimal punya satu perbedaan; perbedaan jenis kelamin. Jadi mengapa kita harus menjadi sama untuk duduk bersama di suatu negara?

Masih ingat bagaimana para pejuang dulu akhirnya bisa mengproklamasikan kemerdekaan? Mereka memulainya dengan bersatu. Mereka mengenyampingkan perbedaan yang ada (warna kulit, suku, agama) lalu duduk bersama dalam Sumpah Pemuda. Mereka mencari kesamaan dari Jong Java, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Roekoen, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, dan lain-lain.

Bukan berarti para pejuang kita dulu sama. Mereka berbeda warna kulit, suku, daerah, pendidikan, agama, dan sekian perbedaan lainnya yang mungkin jika saya jabarkan tak muat untuk ditulis. Tapi mereka bukan fokus pada perbedaan. Mereka fokus pada persamaan. Persaamaan itu jelas tertera dalam Sumpah Pemuda yang berbunyi demikian,

Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia

Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia

Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia

Jika bukan karena Sumpah Pemuda, jika bukan karena bersatu, jika bukan karena fokus pada persamaan bukan tidak mungkin sampai saat ini kita masih belum merdeka. Jika hanya fokus pada perbedaan, kita hanya akan melebarkan jurang pemisah dan menjadi musuh bagi daerah lain.

Saat ini, saat kita dalam mempertahankan kemerdekaan, saat isu-isu perbedaan pecah tak beraturan, mari kita ingat lagi pelajaran kita di Sekolah; PPKN dan Sejarah. Mari kita ingat cerita yang seharusnya tak kan pernah pudah dimakan waktu. Mari buka buku Sejarah. Kejadian yang hampir sama pernah melanda negeri. Dan para pejuang memilih untuk bersatu, memilih untuk berjuang bersama. Saat tongkat estafet itu datang ke kita, apa pilihan kita?

Kesatuan dalam kebhinnekaan, itu semboyan negara kita. Jika sampai ada yang memecah belah kita, ingat lagi sumpah pemuda. Jika ada yang mengobrak-abrik kita, pandang itu lambang negara lalu baca tulisan yang terpampang. Jika kita sampai pada saat ini tanyakan pada dada kita, masihkah Bhinneka Tunggal Ika berdebar di sana?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun