Mohon tunggu...
agnes rajagukguk
agnes rajagukguk Mohon Tunggu... -

Sebuah bintik kecil.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tradisi Menyalahkan Korban

22 Mei 2016   17:26 Diperbarui: 22 Mei 2016   17:46 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar disalin dari: http://www.kliksangatta.com/berita-3074-pencabulan-lagi-bocah-5-tahun-jadi-korban-kejahatan-seksual.html

Baru-baru ini terjadi teror di sekitar lingkungan tempat saya tinggal. Kebetulan, saya tinggal di sebuah perumahan yang terletak di dekat sebuah kampus di bilangan Tangerang Selatan. Di sekitar perumahan itu ada banyak kos-kosan mahasiwa/i termasuk kosan yang saya tempati. Ada sebuah perkampungan kecil juga yang mengantarai perumahan itu dengan kampus. Di kampung itu juga ada banyak kos-kosan tempat mahasiswa/i tinggal alias indekos.

Teror itu terjadi sekitar subuh. Beberapa kosan mahasiswi menjadi incaran peneror. Sebuah video beredar menunjukkan seorang mahasiswa memegang kayu berjaga-jaga sambil menginterogasi peneror. Pelaku teror yang tertangkap basah saat sedang melakukan aksinya menjawab setiap pertanyaan dengan wajah tak bersalah. Ia malah mengancam mahasiswa yang menginterogasinya. Peneror itu masuk ke kosan mahasiswi dan bersembunyi di kamar mandi dengan alasan kosan tak dikunci. Katanya peneror hendak menumpang buang air kecil. Suara tangisan mahasiswi terdengar bersahutan dari dalam kamar.

Di kosan lain yang disatroni peneror, kebetulan sekitar pukul 3 pagi itu penghuni kosan masih bangun dan tengah belajar di balkon kosan, saat itu sedang musim UTS.  Peneror masuk lewat pagar lalu naik ke balkon. Karena kaget melihat sekumpulan mahasiswa sedang belajar, peneror malah mengaku kalau dia adalah pemuda karang taruna yang adalah seorang pembalap, dan juga kebal peluru. Si peneror bahkan sempat mengeluarkan senjata tajam dan mengancam mereka untuk berhati-hati. Para penghuni sempat mengikuti saat peneror itu meninggalkan kosan. Ternyata ia tak sendirian. Segerombolan anak muda sedang duduk di atas motor menunggunya turun ke bawah. Sekejap saja mereka sudah meninggalkan lokasi kejadian.

Cerita dan video itu kebetulan beredar di salah satu grup whatsapp saya. Seorang penghuni grup mengometari demikian; “Kok bisa masuk lewat jendela? Apa jendelanya terbuka? Tidak dikunci? Jam tiga pagi kok belajar di balkon? Balkon itu kan terbuka.”

Saat pertama kali membaca tentang berita Yuyun di lini masa, pertanyaan pertama yang mirip dengan pertanyaan tadi terpikir di benak saya, “Pakaian apa yang sedang dikenakan Yuyun? Apakah baju sekolahnya ketat dan seksi sehingga menampakkan lekuk tubuhnya dan menimbulkan birahi?”

Publik juga sempat dihebohkan tentang seorang anggota DPR yang sempat memberikan komentar cenderung menyudutkan Yuyun. Walaupun kemudian pernyataaan itu diklarifikasi, sebuah media online sempat menyebutkan bahwa Ketua Komisi DPR itu terkesan menyalahkan korban (Yuyun) yang berjalan sendirian di pinggir kebun sehingga terjadi perkosaan dan pembunuhan.

Setali tiga uang dengan kasus Yuyun, saat membaca bahwa salah satu pemerkosa dan pembunuh Eno adalah pacarnya sendiri. Saya hampir berkomentar,”Kok mau pacaran sama laki-laki gila macam itu?”

Disadari atau tidak, diakui atau tidak, alih-alih menjadi masyarakat yang bersimpati, kita malah menjadi masyarakat yang senang menyalahkan korban. Kebiasaan meyalahkan korban ini rupanya sudah mengakar, mendarah daging, bahkan menjadi tradisi di masyarakat kita.

Saat terjadi sebuah kecelakaan, peneroran, pencurian, perkosaaan, atau bahkan pembunuhan. Kita, termasuk saya, langsung penasaran. Apakah korban mengenakan helm dengan benar? Apa perempuan itu mengenakan baju seksi yang menggoda? Apakah pemilik rumah mengunci rumah dengan benar?

Anda mungkin masih ingat acara Sergap yang dulu ditayangkan di salah satu stasiun televisi nasional. Di akhir acara biasanya ada adegan penutup yang menampakkan seorang laki-laki mengenakan topeng menutupi setengah wajahnya sedang berdiri di balik jeruji besi. Bang Napi, begitu panggilan untuk lelaki itu, biasanya akan menutup acara dengan kalimat khasnya; “Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelaku, tapi kejahatan bisa terjadi karena ada kesempatan. Waspadalah. Waspadalah!”

Kewaspadaan. Itulah yang lebih ditekankan saat terjadi sebuah aksi peneroran, pencurian, pemerkosaan, bahkan pembunuhan. Bukannya memgecam aksi peneror, pencuri, pemerkosa atau pembunuh kita malah menyuruh anak-anak, tetangga, atau diri sendiri untuk lebih waspada dan waspada. Kita mengoreksi pakaian orang lain. Menambah jeruji besi, gembok, dan memastikan dua kali apakah rumah sudah terkunci dengan benar.

Kita lebih peduli pada pakaian, jeruji besi, atau gembok daripada moral dan aksi keji pelaku. Alih-alih mengecam tindakan pelaku kejahatan, kita malah menjadi masyarakat lebih memperhatikan kesalahan apa yang dilakukan korban hingga akhirnya ia mendapatkan aksi peneroran, pemerkosaan, atau pembunuhan. Dan saat para peneror, pencuri, pemerkosa, dan pembunuh mendengar masyarakat lebih sibuk mengomentari hal-hal yang demikian, saat itulah mereka merasa bahwa tindakan mereka bisa dibenarkan. Toh yang lebih disalahkan adalah perempuan yang mengenakan rok mini atau berjalan sendirian. Yang salah pemilik rumah yang tak mengunci rumahnya dengan benar.

Dimulai dari pikiran kita yang menilai bahwa korban harusnya tak begini atau begitu, maka itu akan membuat masyarakat memaklumi perilaku keji para pelaku kejahatan. Lebih daripada itu, saat kita tak pernah mendidik dan membiasakan mengecam aksi keji pelaku kejahatan, akan muncul pelaku-pelaku kejahatan baru. Mereka tidak tahu dan tidak paham bahwa tindakan mereka salah dan keji, pasalnya masyarakat tak menyalahkan pelaku.

Ini bukan berarti kita melonggarkan kewaspadaan kita, membiarkan rumah tak terkunci atau malah dengan santai mengenakan pakaian yang seksi hingga mengundang birahi. Tetapi lebih dari itu. Lebih dari mengomentari pakaian yang dikenakan atau rumah yang tak dikunci atau tak menggunakan CCTV, kita harus lebih mengecam dan mengutuk pelaku peneroran, pencurian, pemerkosaan, dan pembunuhan.

Salam

Catatan:

Tulisan yang sama dapat dibaca di blog priadi saya: http://agnesrajagukguk.blogspot.co.id/2016/05/tradisi-menyalahkan-korban.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun