Mohon tunggu...
Agnes Meiliesa Dwi Ananda
Agnes Meiliesa Dwi Ananda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Internasional UNEJ

Akun ini akan menuliskan konten-konten yang relevan dengan ilmu sosial dan ilmu politik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sistem Moneter Internasional: Kerangka Kerja Kompleks dan Evolusi Sejarahnya Menuju Krisis Finansial Asia 1997

29 Maret 2024   13:24 Diperbarui: 29 Maret 2024   13:25 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sistem moneter internasional adalah sebuah kerangka kerja yang kompleks dan penting yang mengatur interaksi keuangan antara negara-negara di seluruh dunia. Tujuannya tidak hanya terbatas pada memfasilitasi perdagangan internasional dan investasi lintas batas, tetapi juga mencakup menjaga stabilitas ekonomi global secara keseluruhan.

Bagian utama dari sistem ini adalah regulasi mata uang, yang melibatkan penetapan nilai tukar mata uang nasional terhadap mata uang asing serta pembentukan kebijakan terkait dengan hal ini. Sistem nilai tukar yang digunakan dapat memiliki dampak signifikan pada perdagangan internasional, inflasi, dan stabilitas ekonomi suatu negara. Selain itu, kebijakan moneter juga menjadi bagian integral dari sistem moneter internasional. Ini melibatkan pengaturan suku bunga, pengendalian suplai uang, dan intervensi pasar valuta asing untuk mengontrol inflasi, menjaga stabilitas nilai tukar, dan merangsang pertumbuhan ekonomi. Pergerakan uang antara negara-negara melalui investasi portofolio, investasi langsung asing, dan aliran utang, yang disebut aliran modal, juga diatur dalam sistem ini. Kerjasama dan koordinasi antara negara-negara anggota, terutama melalui lembaga-lembaga internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, sangat penting untuk menangani krisis keuangan, menyusun standar internasional, dan memfasilitasi dialog ekonomi antarnegara.

          Dalam era globalisasi, sistem moneter internasional menjadi semakin kompleks dan penting karena perdagangan internasional, arus modal, dan interkoneksi ekonomi antarnegara semakin meningkat. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang sistem ini dan bagaimana ia berfungsi sangat penting untuk mengatasi tantangan ekonomi global dan mempromosikan pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan di seluruh dunia.

Sejarah Sistem Moneter Internasional

          Sistem Moneter Internasional (SMI) telah mengalami evolusi yang signifikan sepanjang sejarahnya, mencerminkan perubahan dalam kebutuhan ekonomi global dan dinamika politik antarnegara. Awalnya, standar emas klasik mendominasi pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Di bawah sistem ini, nilai mata uang suatu negara ditentukan oleh cadangan emas yang dimiliki oleh negara tersebut. Ini memberikan stabilitas karena nilai mata uang terkait langsung dengan nilai emas. Namun, sistem ini runtuh selama Perang Dunia I karena kebutuhan akan likuiditas yang besar. Perang menciptakan tekanan yang tidak dapat diatasi terhadap cadangan emas negara-negara dan memaksa banyak negara untuk meninggalkan standar emas.

          Setelah Perang Dunia II, Konferensi Bretton Woods pada tahun 1944 menjadi tonggak penting dalam pembentukan SMI modern. Konferensi ini menghasilkan pembentukan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, yang bertujuan untuk mempromosikan stabilitas moneter dan pertumbuhan ekonomi global. Kesepakatan Bretton Woods menetapkan sistem nilai tukar tetap dengan dolar AS sebagai mata uang cadangan utama, yang nilainya terkait dengan emas dengan nilai tetap. Sistem ini memberikan stabilitas dalam perdagangan internasional dan investasi lintas batas.

          Namun, pada tahun 1971, Presiden AS Richard Nixon mengumumkan pemutusan konversi dolar AS ke emas, yang dikenal sebagai "Nixon Shock", mengakhiri secara resmi sistem Bretton Woods. Tindakan ini merupakan respons terhadap tekanan ekonomi yang semakin meningkat dan menandai awal era mata uang mengambang. Pasca-Bretton Woods, sistem moneter internasional mengalami serangkaian inovasi dan perubahan yang mencerminkan dinamika global yang terus berubah.

          Salah satu fitur utama pasca-Bretton Woods adalah pengenalan sistem nilai tukar mengambang, di mana nilai mata uang ditentukan oleh kekuatan pasar tanpa intervensi langsung dari pemerintah. Hal ini memberikan fleksibilitas yang lebih besar bagi negara-negara dalam menyesuaikan kebijakan moneter mereka sesuai dengan kondisi ekonomi domestik mereka. Namun, juga memperkenalkan tingkat volatilitas yang lebih tinggi dalam nilai tukar dan meningkatkan risiko ketidakstabilan ekonomi.

          Selain itu, globalisasi ekonomi dan perkembangan teknologi informasi telah memengaruhi dinamika SMI. Perdagangan internasional yang semakin terintegrasi, arus modal yang cepat, dan interkoneksi pasar keuangan global telah meningkatkan kompleksitas sistem moneter internasional. Hal ini mendorong perlunya kerjasama antarnegara dalam mengatasi tantangan ekonomi global, termasuk melalui lembaga-lembaga seperti IMF dan Bank Dunia.

          Dengan demikian, evolusi SMI mencerminkan adaptasi terhadap perubahan ekonomi, politik, dan teknologi yang terus berubah. Meskipun telah mengalami perubahan yang signifikan dari standar emas klasik hingga sistem nilai tukar mengambang saat ini, tujuannya tetap sama: mempromosikan stabilitas ekonomi global, memfasilitasi perdagangan internasional, dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di seluruh dunia.

Krisis Finansial Asia 1997

          Krisis Finansial Asia 1997, yang juga dikenal sebagai Krisis Mata Uang Asia, adalah salah satu peristiwa paling mencolok dalam sejarah Sistem Moneter Internasional yang menyoroti sejumlah kerentanan dan kompleksitas dalam sistem tersebut. Krisis ini berawal di Thailand pada Juli 1997 ketika baht Thailand mengalami penurunan nilai yang signifikan, memicu serangkaian peristiwa yang berdampak luas di sebagian besar negara Asia Timur.

          Penyebab utama dari krisis ini meliputi sejumlah faktor yang saling terkait. Salah satunya adalah kelebihan likuiditas, di mana banyak negara Asia telah menerima aliran dana besar dalam bentuk investasi asing, terutama dari investor global yang mencari keuntungan tinggi di pasar yang berkembang pesat. Di samping itu, kredit yang tidak terkendali dan spekulasi berlebihan di pasar keuangan juga menjadi faktor utama yang memperburuk situasi.

          Sistem nilai tukar yang dipegkan (pegged exchange rate) yang banyak digunakan oleh negara-negara Asia juga menjadi kerentanan signifikan. Ketika baht Thailand melemah, negara-negara lain dalam kawasan ini, seperti Indonesia, Korea Selatan, dan Malaysia, mengalami tekanan serupa pada mata uang mereka. Hal ini menunjukkan bahwa ketergantungan pada sistem nilai tukar yang tetap dapat memperkuat tekanan ekonomi dalam situasi krisis.

          Dampak dari krisis ini sangat merusak dan terasa secara luas. Mata uang negara-negara Asia jatuh nilai, pasar saham kolaps, sektor perbankan mengalami krisis kepercayaan, dan terjadi resesi ekonomi yang dalam di sebagian besar negara terkena dampak. Krisis ini juga menyoroti ketidakmampuan IMF untuk secara efektif menangani krisis keuangan regional. Meskipun IMF memberikan sejumlah paket bantuan keuangan kepada negara-negara yang terkena dampak, kebijakan pemulihan yang diterapkan sering kali dianggap kontroversial dan tidak efektif.

          Namun, meskipun krisis ini membawa dampak yang sangat buruk, juga menghasilkan serangkaian reformasi ekonomi yang mendalam di banyak negara yang terkena dampak. Reformasi ini meliputi restrukturisasi sektor keuangan untuk memperbaiki kesehatan perbankan, peningkatan regulasi dan pengawasan pasar keuangan, serta upaya diversifikasi ekonomi untuk mengurangi ketergantungan pada sektor-sektor tertentu yang rentan terhadap krisis.

          Secara keseluruhan, Krisis Finansial Asia 1997 menyoroti kompleksitas dan kerentanan dalam sistem moneter internasional. Hal ini menegaskan perlunya kerja sama global dan reformasi yang berkelanjutan dalam menjaga stabilitas ekonomi dan mencegah krisis serupa di masa depan. Krisis ini juga menjadi pelajaran penting bagi negara-negara lain tentang pentingnya memiliki kebijakan ekonomi yang kuat dan diversifikasi yang tepat untuk mengurangi risiko krisis finansial yang mematikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun