Mohon tunggu...
Agnes Marpaung
Agnes Marpaung Mohon Tunggu... General Practitioner (dr) , Ig: ronauliagnes -

Memaknai Hidup Lewat Torehan Tulisan https://literasiram.blogspot.com/ https://www.instagram.com/literasiram/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Panutanku, Aku Begitu Kehilangannya!

12 Agustus 2018   01:02 Diperbarui: 17 Agustus 2018   01:04 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kini dia telah tiada, kepulangannya masih jelas belum bisa sepenuhnya diterima oleh akal sehatku. Bagaimana tidak? Aku masih terhutang janji padanya, untuk datang menemuinya setelah aku selesai skripsi. Namun sayangnya dua hari sebelum aku pulang kampung untuk melihatnya, dia sudah menghembuskan nafas terakhirnya.

Mendengar berita kepergiaannya via telepon membuat aku menangis histeris. Sekumpulan kawanku yang saat itu tengah bersamaku sangat terkejut. Tak pernah mereka melihat aku menangis apalagi sampai histeris. Timbul tanda tanya dan keheranan di benak mereka, melihat kawan mereka yang selalu riang mendadak menangis histeris. Aku hanya bisa menangis, tak mampu berkata-kata.

Sosok yang membuatku menangis histeris itu adalah nenekku. Nenek adalah salah satu orang yang paling ku sayangi selama aku hidup. Bagaimana aku menggambarkan sosoknya adalah hal tersulit yang bisa ku lakukan. Bagaimana tidak? Untuk ukuran manusia, dia menurutku hampir sempurna. Semua ilmu dan etika di dunia ini kebanyakan ku dapat dari nenek. 

Aku bersyukur jika ibuku yang saat itu sangat sibuk bekerja membiarkanku bertumbuh besar di depan nenekku. Saranku bagi kalian terkhusus wanita karir yang sangat minim waktunya mengurus anak, selama pertumbuhan sebaiknya kalian perlu memperhatikan siapa yang membesarkan dan mengasuh anak kalian karena tentunya itu berpengaruh kepada pembentukan spiritual, emosional dan karakter anak itu nantinya. Jangan sampai anak kita diasuh oleh orang yang salah.

Apa kalian tahu rasanya jadi petani cilik yang duduk bertengker di atas pundak kerbau? Apa kalian tahu rasanya berteriak saat lintah dan pacet memanjat ke sekujur tubuh kalian saat kalian tengah bermain lumpur di sawah? Apa kalian tahu rasanya mandi di sungai sembari di ajarin teknik mengarahkan punggung menuju mata air tertentu demi dapat pijak refleksi alami yang maksimal? Apa kalian tahu rasanya tidak bisa menonton dulu sebelum menyelesaikan perhitungan dan perkalian juga doa wajib? Apa kalian tahu rasanya mencabut gigi nenek kalian sendiri sembari berpura-pura jadi dokter cilik saat mengobati perdarahan yang keluar dari giginya?

"Ah, semua itu tak bisa ku lupakan nek!" usapku sembari mengelus dada menahan rinduku padanya saat menuliskan ini.

Aku bersyukur hidup dan dibesarkan di depan nenek di desa. Aku jadi belajar bersyukur buat setiap butir nasi yang ku makan karena nenek bilang tidak boleh membuang satu butir nasipun karena banyak orang yang tidak makan di luar sana. Aku belajar jadi orang yang menabung dan bersedekah. 

Aku belajar bahwa untuk mendapat sesuatu itu perlu kerja keras. Dan satu hal yang selalu nenek katakan, apapun mimpiku aku pasti bisa meraihnya. Tidak ada mimpi yang dibatasi oleh materi dan tempat. Selama kamu masih punya iman dan usaha, materi dan tempat pasti bisa ditembus.

Aku masih ingat saat nenek bertanya padaku "Apa mimpimu nak?"

"Aku mau jadi dokter nek! Biar bisa obatin kaki nenek yang bengkak" jawabku polos saat itu.

Nenekku memang sering mengeluhkan jempol kakinya yang bengkak dan sakit. Konon nenekku punya penyakit rematik dan saat sakitnya datang, aku selalu melihat ekspresinya menahan sakit. Sering sekali tidak tega saat melihat itu. Ingin sekali rasanya menyembuhkan sakit nenek.

"Kamu bisa sayang! Kamu pasti bisa jadi dokter" ucapan nenek itulah yang membuatku semangat mengejar mimpiku menjadi dokter.

Kalian tahu, ayahku begitu menentang aku untuk menjadi seorang dokter. Dia begitu ingin aku bekerja di kantoran karena katanya jadi dokter itu susah dan biayanya begitu mahal. Namun aku ingat perkataan nenekku, materi dan tempat bisa ditaklukkan oleh iman dan usaha. Diam-diam aku memilih fakultas kedokteran saat ujian masuk universitas. 

Sehari sebelum aku ujian, aku telepon nenek dan minta doa restunya untuk ujian masuk universitasku. Nenek hanya tertawa saat tau bahwa aku nekat ambil kedokteran tanpa izin ayah. Tapi nenek merestuiku dan di akhir pembicaraan kami lewat telepon, nenek memberangkatkanku dengan doa. Aku masih ingat betapa harunya hari itu.

Sekarang aku sudah menjadi dokter dan ini tak lepas dari adanya nenek di sampingku. Satu hal yang paling berkesan dari nenek adalah kebiasaannya menolong orang. Seharusnya nenek tidak perlu bekerja karena gaji pensiunannya ku pikir cukup untuk membiayai hidupnya sendiri. Tapi nenek sangat pekerja keras. Ada empat lahan sawah yang digarapnya,  perkebunan yang menurutku cukup luas untuk diolah oleh satu orang juga beberapa ternak kerbau dan ayam. 

Kalian tahu semua uang ini digunakan nenek untuk apa? Sebagian kecil dia tabung, katanya untuk beli hadiah buat cucu-cucunya dan mana tahu anak-anaknya butuh bantuan. Sebagian besar lagi dia gunakan untuk membantu orang-orang di sekitarnya.

Nenek sangat suka bersosialisasi dan berjalan-jalan ke rumah tetangga juga kerabat. Aku sering menemani  nenek sore harinya  ke rumah tetangga yang dekat bahkan ke rumah teman-temannya yang juga cukup jauh sehabis kami pulang dari sawah. Nenek sering berbagi cerita dan canda bersama mereka, suasana kekeluargaan di kampung begitu hangat. Sayang sekali aku tidak menemukan itu di kota. 

Jangankan suasana bertetangga yang hangat, sering sekali kita yang hidup di kota tidak kenal siapa tetangga kita sendiri. Bagian itu cukup miris menurutku. Sembari nenek bercerita dan menggali kehidupan tetangga, sering sekali nenek memberikan uang, sembako atau bahkan hasil kebunnya kepada orang-orang yang menurut nenek membutuhkan. 

Tak jarang orang-orang mengadu dan bercerita kepada nenek soal kesulitan ekonomi mereka dan sebisa nenek selalu berusaha membantu mereka. Hal sederhana namun sangat berarti.

Ah, mulianya hati nenekku. Aku sering sekali bertanya, hati nenekku terbuat dari apa sih? Hanya saja semakin aku besar semakin aku menyadari, berbuat baik itu jauh lebih indah kawan! Tidakkah kamu merasa hatimu damai dan sejahtera saat kamu membantu sesamamu? Tidakkah kamu merasakan bahagia saat melihat senyuman mereka atau bahkan tangis haru mereka yang kamu bantu? 

Aku pikir di hati setiap manusia, Tuhan selalu melekatkan kemauan untuk berbuat baik karena sejatinya kita ini adalah mahluk sosial yang seharusnya saling menolong satu sama lain. Hanya saja manusia kerap kali mengabaikan nurani kebaikan itu sendiri demi ego dan gengsi yang mereka biarkan mendominasi hidup mereka.

Nenek adalah sumber energi baik yang membuat aku bertahan sampai sekarang ini dan aku sangat merindukan nenek.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun