Seperti biasa, hal ini sudah kulakukan sebulan lamanya. Sore hari sepulang kerja, menyempatkan diri untuk mampir ke kafe di sebelah kantorku yang terletak di jantung kota Medan. Duduk dipojok kiri, menghadap ke air mancur yang berada disebelah kafe tersebut. Buka social media sembari cek email masuk atau bahkan pesan dari orang lain. Dengan mocha float yang masih berdiri cantik diatas meja kaca didepanku.
Pelayan kafe disini pasti sudah maklum dengan keberadaanku, mereka pasti bergumam dalam hatinya "Lagi lagi wanita ini, bosan lihatnya. Toh, dia cuma pesan mocha float doang kok!"
Sorry guys, tapi beneran deh. Buat aku sore itu ga waktunya makan lagi! Kamu tahu kan wanita itu rentan dengan kegemukan?
Ok, aku jujur. Aku selalu mampir kesini karena hanya ingin melihatnya saja. Namanya Johan, lelaki pemilik kafe ini yang biasanya selalu datang pukul 16.30 untuk mengamati keadaan kafenya sendiri. Sedetail itu aku mengingatnya sampai kapan dia datang kesini saja aku sudah hafal betul. Ga habis pikir setelah 8 tahun kehilangan dia, akhirnya bertemu juga ditempat yang tak terduga ini dan diwaktu yang tepat juga, (karena aku dan dia masih sama-sama single).
Aku melirik jam tanganku, sepuluh menit lagi dia pasti datang. Mulai mengatur skenario sok sibuk biar dia ga tahu tujuan aku yang sebenarnya saat mampir ke kafe ini. Ada laptop, hp juga beberapa berkas terletak di meja. Sembari menunggunya datang, aku sibuk surfing didunia maya. Saking asyiknya, ga sadar dia sudah berdiri disampingku "Hm, senyum kenapa hayo?" sapanya dengan senyuman yang membuatku fluttering.
"Oh, mas Johan. Aku lagi buka 9gag nih, lucu banget deh anjingnya," ucapku sembari menunjukkan hpku padanya.
Tidak ada kecanggungan lagi diantara kami, meskipun baru beberapa bulan bertemu setelah bertahun-tahun lamanya terpisah. Sembari mengawasi kafenya yang semakin ramai, dia duduk didepanku. Pertemuan ini singkat, dangkal namun sangat menghangatkan.Â
Meskipun seolah sibuk dengan layar laptopku yang terpampang manis didepanku. Namun sepenuhnya tubuhku berfokus padanya. Mataku melirik ke arahnya dan memperhatikan setiap detail wajahnya, masih sama seperti dulu hanya saja sekarang lebih maskulin. Wangi tubuhnya, ah yang satu ini takkan bisa kulupakan. Wangi ini seolah sudah menjadi identitas dirinya. Aroma kopi bercampur vanila, membuat hati adem ayem saat berada di dekatnya.
Sesekali aku tersenyum melihat ekspresinya yang kesal saat pelayannya lelet. Aku begitu menikmati kebersamaan ini. Meskipun kami sepenuhnya tidak pernah bersama, karena dia hanya mampir sebentar lalu pergi. Setidaknya ada kemajuan dibanding sewaktu SMA dulu yang sama sekali tak pernah bertegur sapa.
Dulunya, dia laki-laki yang begitu dingin padaku, tak pernah sedikitpun dibiarkannya aku masuk dalam kehidupannya. Teman abangku yang lain begitu ramah padaku kecuali dia, entah apa yang salah denganku. Aku memujanya setengah mati dari dulu sampai hari ini. Sosok simple namun begitu sempurna dimataku.
Berulang kali aku terluka, cemburu dan menangis saat melihatnya begitu mesra dengan pacar barunya kala itu. Namun semua itu tak bisa menghilangkan perasaanku padanya. Semakin hari aku malah semakin mennyukainya dan mulai kebal dengan rasa kecewa dan cemburu. Bagiku asal melihatnya saja, itu sudah lebih dari cukup.
"Maya," ucapnya membuyarkan lamunanku.
"Hm, ya mas," jawabku gugup
"Kamu melamun ya? Berarti ga lagi sibuk dong ya! buktinya masih sempat melamun. Temanin mas ke Centre Point dong," balasnya santai
"Boleh mas, it`s my pleasure. Mau ngapain kesana?"
"Besok teman mas ulang tahun, kamu bantu mas buat cari kado yang tepat ya," balasnya sembari berdiri.
Sore itu aku pergi keluar dari kafe bersamanya, untuk pertama kalinya setelah sebulan lamanya. Aku senang sekali, ada kemajuan dalam kisah ini. Aku berjalan sembari bercanda ringan bersamanya. Ingin rasanya menggandeng tangannya dan bilang "Mas Johan, I love You".Â
Namun, apalah daya, aku hanya bisa memberi umpan dan biar dia yang mengartikan perasaanku padanya dan berharap suatu saat nanti dia mengutarakan perasaannya padaku.
Meskipun ada rasa cemburu dan pengen juga dibelikan kado olehnya. Namun aku ga mau kecewain dia dengan memilihkan kado yang jelek. Aku berusaha sebaik mungkin memilihkan kado yang terbaik untuk temannya.
Aku senang, aku bahagia. Semakin hari semakin dekat dengannya dan mulai sering smsan. "I`m in love mama, i`m in love" teriakku sembari keluar dari kamar mandi setelah mandi dan penat seharian ini.
Handphoneku berdering, dari mas Johan. Ah, jantungku berdebar lagi, bodoh bukan? Masa hanya lihat namanya saja dilayar hp, hati ini sudah bisa berdebar ga karuan. Ga seperti biasanya. malam begini mas Johan mengajakku makan malam diluar setelah aku pulang dari kafenya.Â
Aku senang, apa dia mau nembak aku ya? Makanya pake acara terpisah begitu? Aku memakai dress merah simple but beautifull dengan dandanan natural dan rambut tergerai indah dan aku siap pergi. Senang bukan main rasanya malam ini.
Dia menyambutku dengan senyuman hangatnya, aku merasa seperti putri malam ini. Makan malam kali ini begitu menegangkan apalagi suasananya begitu romantis. Tak banyak orang di restoran bernuansa Bali ini. Kesannya begitu privat dan intim. Jujur saja aku sangat gugup tak tahu harus berkata apa, rasanya seperti orang baru PDKT saja.
Akhirnya setelah sekian lama terjebak dalam kebisuan ini, dia berbicara juga.
"Maya," ucapnya sembari melirik ke arahku.
Ya Tuhan, tatapan itu. Aku ga sanggup melihatnya. Teduh sekali!
"Ya mas," ucapku gugup.
"Kok ini kayak di film-film ya? Apa dia mau menyatakan cinta?" gumamku dalam hati.
Dia mengeluarkan selembar undangan dan aku begitu ketakutan melihatnya. Aku masih berharap itu bukan dia dan sampai dia berbicara, aku tak bisa menahan air mataku.
"Maya, minggu depan mas mau nikah. Kamu datang ya" ucapnya santai tanpa rasa bersalah.
"M..m...mas, aku salah apa? Kenapa mas selalu beginikan aku?" tangisku mulai tak terbendung lagi.
"Kamu ga salah apa-apa Maya, tapi abang kamu itu yang salah. Mas benci banget sama dia, kamu ga tau adek mas juga dia gituin. Dia kasih harapan, buat adek mas jatuh hati lalu dia tinggal nikah. Sampai saat ini adek mas begitu trauma dengan lelaki. Karna itu mas balas dendam, biar dia tau perasaan Mas" ucapnya penuh amarah.
Aku tak tahan lagi, aku menamparnya tanpa perlu lagi mendengar kelanjutan ceritanya. Lalu aku pergi meninggalkan dia. Perasaanku ditimang-timangnya seperti anak kecil dalam ayunan yang dinyanyikan ibunya agar terlelap tidur "Nang ning nang ning nung ning nang" tapi pada akhirnya dijatuhkannya dengan bunyi " Bush". Benar-benar lelaki pengecut! Aku benci dia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H