Hal yang lebih menyedihkan bagiku adalah bahwa aku harus merelakan cita-citaku menjadi dokter bedah. Aku tidak akan mungkin bisa menjadi dokter bedah dikarenakan menjadi dokter bedah adalah hal yang begitu melelahkan. Harus bisa tahan berdiri 7 sampai 9 jam sembari membedah anggota tubuh manusia.Â
Itu adalah salah satu pekerjaan paling melelahkan namun yang paling menantang menurutku. Hal itu membuat aku begitu terpukul. Sejak dulu, sebelum aku tidur aku sudah membayangkan diriku bekerja dengan scalpel dan cauter. Bisa  menjadi dokter bedah bertangan dingin yang bisa menyelamatkan hidup banyak orang.
Jujur aku tidak bisa menerima semua itu. Semua terjadi begitu cepat, rasanya seperti dibanting habis-habisan. Aku wanita yang aktif, masih banyak gunung yang ingin ku daki, masih banyak jalanan yang ingin ku tempu dengan berlari dan aku masih sangat ingin menjadi dokter bedah. Beberapa hari aku hanya bisa menangisi keadaanku sembari menahan nyeri di pingang yang sesekali menghampiriku. Tapi sekali lagi aku bersyukur punya ibu yang hebat di sisiku. Dia mengingatkan aku untuk selalu bersyukur karena ada manusia yang bahkan tak punya tangan juga kaki masih bisa bersyukur dan masih bisa bahagia.
Pada akhirnya aku mau operasi dan hal itu teramat sangat berat untukku. Namun semua tak berakhir disana. Penderitaan yang lebih besar ternyata menanti di depanku. Sesuatu yang tak ku duga sesakit itu prosesnya. Pemulihan setelah operasi adalah hal yang paling berat untukku. Sebulan aku terbaring di tempat tidur, kakiku benar-benar lemah. Posisi apapun serba salah untukku. Pernahkah kalian membayangkan tidur saja kalian harus menangis karena nyeri saat bergeser sedikit, duduk saja kalian hanya tahan lima menit serta berjalan harus ditopang seperti anak bayi.Â
Sering sekali aku menangis di rundung ketakutan. Sebulan aku hanya melihat dinding rumah sakit juga kamarku, bertanya dalam hati kapan semua ini akan berakhir. Semua hal yang kulakukan serba salah dan berujung kepada sakit yang luar biasa. Aku mulai kecewa dan putus asa dengan keadaanku. Namun tak ku sangka akhirnya aku bisa melewati semua proses itu meskipun sangat berat bagi. Semua lagi-lagi berkat malaikat yang di kirim Tuhan di keluargaku yaitu ibuku.
 Dia begitu sabar merawat aku, membersihkan kotoranku layaknya anak bayi, membersihkan badanku dari keringat juga daki yang mulai menumpuk, mengganti pakaianku, bahkan tidak tidur demi menemani aku yang tak bisa tidur menahan sakitnya semua badanku.
Tak jarang aku menghina, memaki serta menyalahkan semua orang. Aku menangis, berteriak dan kerap kali tak mau makan. Keadaan itu membuat aku benar-benar putus asa. Dua bulan yang begitu menyakitkan bagi hidupku saat itu. Satu hal yang pasti bahwa selalu ada hikmat di balik semua peristiwa. Sejak hari itu hidupku tidak pernah sama lagi.Aku bangkit dan bertekad harus pulih. Ku kumpulkan kembali semangatku dan aku ingat satu hal bahwa untuk menguatkan yang lain aku harus kuat terlebih dahulu.
Rasanya hidupku seperti dimulai dari awal kembali. Aku belajar  seperti anak bayi yang baru belajar jalan. Ditopang, menggunakan tongkat bahkan pernah jatuh pingsan karena tidak kuat  saat berlatih. Menjalani fisioterapi, jatuh, kesakitan, bangkit lagi. Ku kuatkan semangatku agar otot-ototku juga kuat. Sampai akhirnya kakiku semakin kuat sampai bisa berjalan normal seperti orang lain. Banyak hal yang kudapat semasa proses pemulihanku, bahwa aku harus kuat terlebih dahulu agar aku bisa menguatkan yang lemah.
Aku tidak sama sejak hari itu. Aku belajar mengerti setiap kesakitan semua pasien dan belajar menempatkan hidupku di posisi mereka. Mengerti bahwa manusia sangat membutuhkan kasih tulus juga perhatian. Hal itu adalah salah satu yang tidak bisa dibeli dengan uang. Â
Sampai aku lihat mereka tersenyum dan semangat untuk melawan setiap penyakit mereka itu adalah suatu kebahagiaan tak terkira buatku. Sampai mereka memelukku dan mengucapkan terima kasih  atas kesembuhan mereka itu adalah suatu nikmat tak tertandingi buatku. Karena apalah arti hidup kita jika kita habiskan hanya untuk memuaskan diri sendiri. Hidup itu jauh lebih berarti jika kita berbagi. Itulah sejatinya pencapaian tertinggi dari seorang manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H