Mohon tunggu...
Agnes F Laylicha
Agnes F Laylicha Mohon Tunggu... -

Amazing Students | Journalist | freelancer | I'm a writer so I write | Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya" -P.A.T- | contact : agneslaylicha@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kompatibilitas Penilaian Kognitif dan Pendidikan Indonesia

10 Juli 2013   01:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:46 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanggal 24 Mei 2013 menjadi sebuah momentum dan titik tolak dalam kehidupan saya. Di hari kelulusan setelah menempuh dua belas tahun jenjang pendidikan “berseragam” , tak hanya euforia yang muncul tumpang-tindih. Lebih dari itu, ketakutan ternyata juga beriringan masuk dalam kebahagiaan tersebut.

Setelah beberapa waktu menanggalkan baju seragam putih-abu-abu, keseharian saya mulai diisi dengan pencarian jenjang pendidikan baru -jenjang perguruan tinggi- untuk menjadi seorang civitas akademika, mahasiswa. Tidak mudah memang. Tidak hanya menyangkut tentang bagaimana saya harus belajar dan sebagainya, tetapi juga mengenai bagaimana saya mempertahankan antara menjadi seorang yang idealis, realistis atau justru menjadi seorang egomaniac.

Menurut idelisasi saya, yang berkecamuk adalah bagaimana caranya agar saya tidak lagi mengulang kesalahan yang lalu. Saya akui, dalam sudut pandang saya saat itu, hanya kemampuan kognitif lah yang saya agungkan. Saya merasa jika dalam rapor yang tercetak adalah angka-angka gemilang, itu artinya saya telah sukses menjadi seorang murid dan anak yang baik. Entah bagaimanapun caranya angka-angka itu saya peroleh.

Mungkin bukan hanya saya yang berpikiran serupa pada saat itu. Apa mau dikata, memang menjadi kenyataan bahwa sekolah –meski tidak sepenuhnya- lebih banyak menanamkan budaya “sukses kognitif”, tetapi tidak dibarengi dengan adanya budaya pengembangan diri dan kepribadian. Ini adalah realita ketika saya menuliskan bahwa pihak-pihak tertentu dalam hal ini urusannya adalah sekolah akan lebih bangga anak didiknya memperoleh prestasi dalam hal akademis dibandingkan mengenalkan sekolahnya dalam siklus kehidupan bermasyarakat.  Parahnya, realita untuk cara berpikir seperti ini tidak hanya terpusat  kepada guru sebagai seorang pendidik, akan tetapi juga mulai menjalar kepada orang tua murid yang seolah lebih percaya akan apa yang tercetak dalam rapor dibandingkan yang terlihat dari implementasi kehidupan anak-anaknya.

Proses pendidikan yang hanya dibebankan dalam hal kognitif saya rasakan tidak hanya menekan psikis dan orientasi cara berpikir seorang anak, tetapi juga bagaimana kepribadian seorang anak akan terbentuk. Pada dasarnya bukankah seharusnya pola pikir yang baik adalah bagaimana sistem IQ yang tumbuh secara baik akan tetapi juga dibarengi dengan sistem EQ yang seimbang agar apa yang telah diperoleh sistem IQ mampu diimplementasikan dengan selayaknya dalam kehidupan.

Lalu, apa hubungannya dengan menjadi seorang idealis atau juga seorang yang realistis?

Justru di sinilah semua sebenarnya berpusat. Ketika kita berada dalam keadaan lingkungan yang mengedepankan tentang realitas yang ada dalam kehidupan, tentu saja itu adalah hal yang baik sebenarnya. Namun, bagaimana jika realitas yang dihadapkan dan melulu yang dijadikan dasar pertimbangan hanya sekadar mengenai perguliran angka serta hal seputar kognitifitas? Bagaimana jika kesuksesan yang didasarkan pada pengembangan aspek kognitif semata ini hanya akan terpancang dalam bentuk deretan angka dan hasil akhir? Dan bagaimana jika realitas yang disuguhkan sebenarnya bertentangan dengan keidealistisan yang kita miliki?

Terpusatnya pengenalan cara belajar yang terpancang pada satu sisi inilah yang mulai saya sadari sebagai penyebab timpangnya hasil cetakan pendidikan di negara kita tercinta ini dengan beberapa negara yang dikatakan sebagai negara maju. Baiklah, jika kasarnya kita melihat ukuran negara maju dan berkembang dalam bidang ekonomi dan produktivitas, kita dapat melakukan logika sederhana seperti ini :

Di negara maju –katakanlah kita melihat sistem pendidikan di Amerika- seorang pelajar tidak lagi dikenalkan atau diajari mengenai apa yang seorang guru ketahui dan tentu saja wajib pelajar ini ketahui, tetapi lebih kepada bagaimana seorang pelajar mampu mengembangkan apa yang diketahui oleh seorang guru kemudian menerapkan dan mengembangkan dengan cara mereka sendiri ke dalam diri mereka. Baik dengan cara berdiskusi untuk memecahkan permasalahan ataupun riset dan pengembangan dalam hal penalaran, tetapi juga dibarengi dengan praktek ataupun simulasi yang langsung tepat guna dalam pelaksanaannya. Penyajian masalah secara nyata tidak hanya sekedar berbasis akan buku diktat dan rumus semata, tetapi juga bagaimana selayaknya daya nalar serta pengoptimalan kemampuan setiap siswa menjadi salah satu cara bagaimana pendidikan memang seharusnya dijalankan. Hal ini tentu secara tidak langsung akan mampu mendorong kreativitas siswanya yang apabila nantinya terjun di masyarakat diharapkan telah memilik gambaran akan hal apa saja yang dapat mereka lakukan untuk mengembangkan kemampuan yang sejak dini telah diasah atau setidaknya mulai dikembangkan sehingga kedepannya tidak lagi menjadi generasi yang “bergantung”, akan tetapi justru  mampu menarik lebih banyak sumberdaya untuk berkembang dan lebih produktif . Sebenarnya, secara sederhana adalah dengan tidak menggeneralisasikan setiap pribadi dan bakat adalah salah satu jalan yang cukup jitu dan relevan untuk kita terapkan dalam pendidikan di Indonesia.

Yang saya alami, nyatanya justru saya harus mampu bertindak benar dengan apa yang pihak sekolah sebagai agen pendidikan berikan, meskipun hal itu bukanlah hal yang baik untuk diri saya –mengingat bagaimana justru bakat dan katakanlah kemampuan yang sebenarnya dimiliki justru tidak dapat tersalurkan. Doktrinisasi yang tanpa kita sadari secara tidak langsung ada di dalam penerapan pendidikan yang saya peroleh selama ini, menjadi patokan tersendiri akan apa yang seharusnya dilakukan dan yang tidak. Saya harus mampu menyelesaikan semua soal bahkan masalah dalam berbagai bidang pelajaran yang bahkan sekalipun saya dapat menyelesaikannya dengan hasil sempurna, di dalam diri saya seperti mengalami delusi akan masalah apa yang sebenarnya mampu saya pecahkan. Saya hanya dituntut untuk melakukan penerapan akan metoda menghaal, tetapi tidak dalam hal pengembangan. Ketika penilain kognitif secara brutal diterapkan, alhasil, berbagai cara yang sebenarnya telah tersedia dalam institusi pendidikan seperti bidang pengembangan diri dan ekstrakulikuler hanya akan seolah menjadi “sampingan” semata dan bukannya berfungsi sebagai layaknya penyeimbang.

Wadah untuk menyaluran bakat dan talenta yang diberikan dalam bidang-bidang kegiatan non-kognitif  ini hanya sebatas mendapatkan perhatian dalam hal “ada atau tidaknya” dibandingkan memperoleh penilaian secara setara dengan katakanlah mata pelajaran yang diajarkan di dalam kelas. Jika sistem pendidikan di Indonesia hanya menerapkan ketimpangan penilaian terhadap anak didiknya dalam bidang kognitif saja, bukan hal yang mustahil bila isu-isu mengenai mudah bergonta-gantinya kurikulum pendidikan akibat dirasa tak pernah tercapainya hal yang diharapkan pemerintah dan berbagai masalah dalam bidang pendidikan yang akan ikut mengiringi akan semakin sering terjadi karna sistem pendidikan yang ada justru dirasa semakin memberatkan siswa bahkan hingga mempengaruhi kepribadian, orientasi, serta cara berpikir yang hanya melulu timpang dalam hal angka dan hasil tanpa memandang adanya proses. Apakah lagi-lagi generasi seperti inikah yang diharapkan sebagai penyambung masa depan bangsa? Generasi yang hanya peduli akan ambisi pribadi dan ketidakpedulian sosial?

Saya rasa tidak.

Saya percaya Indonesia memiliki jauh lebih baik dari semua hal itu.

Mungkin yang sebaiknya kita pahami saat ini adalah bagaimana pendidikan memang selayaknya dikembalikan kepada hakikat dari pendidikan itu sendiri yakni untuk memberi dan berbagi. Baik dalam segala bentuk pengetahuan, baik pemenuhan bentuk rasionalitas, fungsional, maupun struktural . Pendidikan seharusnya bukan lagi berfungsi sebagai media penghakiman akan apa yang selayaknya diketahui atau tidak diketahui seseorang. Lebih dari itu, pendidikan bukanlah alat penilai dan doktrinisasi terhadap sebuah generasi. Pendidikan adalah sebuah sarana untuk mampu mengembangkan potensi, berbagi, dan menjalankan berbagai fungsi diri seseorang dalam berbagai aspek kehidupan. Seperti yang tercantum dalam undang-undang kita, saya berharap semoga selayaknya pendidikan Indonesia memang benar-benar mampu untuk memenuhi fungsinya sebagai suatu bentuk fondasi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang seutuhnya. :) -AFL-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun