Yang saya alami, nyatanya justru saya harus mampu bertindak benar dengan apa yang pihak sekolah sebagai agen pendidikan berikan, meskipun hal itu bukanlah hal yang baik untuk diri saya –mengingat bagaimana justru bakat dan katakanlah kemampuan yang sebenarnya dimiliki justru tidak dapat tersalurkan. Doktrinisasi yang tanpa kita sadari secara tidak langsung ada di dalam penerapan pendidikan yang saya peroleh selama ini, menjadi patokan tersendiri akan apa yang seharusnya dilakukan dan yang tidak. Saya harus mampu menyelesaikan semua soal bahkan masalah dalam berbagai bidang pelajaran yang bahkan sekalipun saya dapat menyelesaikannya dengan hasil sempurna, di dalam diri saya seperti mengalami delusi akan masalah apa yang sebenarnya mampu saya pecahkan. Saya hanya dituntut untuk melakukan penerapan akan metoda menghaal, tetapi tidak dalam hal pengembangan. Ketika penilain kognitif secara brutal diterapkan, alhasil, berbagai cara yang sebenarnya telah tersedia dalam institusi pendidikan seperti bidang pengembangan diri dan ekstrakulikuler hanya akan seolah menjadi “sampingan” semata dan bukannya berfungsi sebagai layaknya penyeimbang.
Wadah untuk menyaluran bakat dan talenta yang diberikan dalam bidang-bidang kegiatan non-kognitif ini hanya sebatas mendapatkan perhatian dalam hal “ada atau tidaknya” dibandingkan memperoleh penilaian secara setara dengan katakanlah mata pelajaran yang diajarkan di dalam kelas. Jika sistem pendidikan di Indonesia hanya menerapkan ketimpangan penilaian terhadap anak didiknya dalam bidang kognitif saja, bukan hal yang mustahil bila isu-isu mengenai mudah bergonta-gantinya kurikulum pendidikan akibat dirasa tak pernah tercapainya hal yang diharapkan pemerintah dan berbagai masalah dalam bidang pendidikan yang akan ikut mengiringi akan semakin sering terjadi karna sistem pendidikan yang ada justru dirasa semakin memberatkan siswa bahkan hingga mempengaruhi kepribadian, orientasi, serta cara berpikir yang hanya melulu timpang dalam hal angka dan hasil tanpa memandang adanya proses. Apakah lagi-lagi generasi seperti inikah yang diharapkan sebagai penyambung masa depan bangsa? Generasi yang hanya peduli akan ambisi pribadi dan ketidakpedulian sosial?
Saya rasa tidak.
Saya percaya Indonesia memiliki jauh lebih baik dari semua hal itu.
Mungkin yang sebaiknya kita pahami saat ini adalah bagaimana pendidikan memang selayaknya dikembalikan kepada hakikat dari pendidikan itu sendiri yakni untuk memberi dan berbagi. Baik dalam segala bentuk pengetahuan, baik pemenuhan bentuk rasionalitas, fungsional, maupun struktural . Pendidikan seharusnya bukan lagi berfungsi sebagai media penghakiman akan apa yang selayaknya diketahui atau tidak diketahui seseorang. Lebih dari itu, pendidikan bukanlah alat penilai dan doktrinisasi terhadap sebuah generasi. Pendidikan adalah sebuah sarana untuk mampu mengembangkan potensi, berbagi, dan menjalankan berbagai fungsi diri seseorang dalam berbagai aspek kehidupan. Seperti yang tercantum dalam undang-undang kita, saya berharap semoga selayaknya pendidikan Indonesia memang benar-benar mampu untuk memenuhi fungsinya sebagai suatu bentuk fondasi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang seutuhnya. :) -AFL-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H