Ketekunan kerja Senari dan Istijah kini mulai membuahkan hasil. Meski suami istri ini tak memiliki ijazah, toh mereka mampu menyekolahkan anak hingga ke jenjang pendidikan S2.
[caption id="attachment_308777" align="alignleft" width="300" caption="Senari dan Istri (bu Istijah) bersama mobil yang bari dibeli"][/caption]
Pagi menjelang siang, di akhir Bulan April 2014, Senari tengah mengaso di ruang tamu rumahnya. Ia bersama istri baru saja pulang dari Pasar Tanggulangin, tempat sehari-hari mereka berjualan lauk pauk dan sayur mayur. “Biasanya jam sepuluhan seperti ini kami ke tempat terapi ceragem. Maklum, harus jaga kesehatan di usia kami yang sudah 47 tahun ini mas,” ujarnya.
Nanti siang sepulang terapi, lanjut Senari, ia akan melanjutkan aktivitas ke Pasar Porong. Bukan untuk berjualan, melainkan membeli beragam barang dagangan, untuk kemudian dijajakan kembali ke sejumlah pasar lainnya ataupun pelanggan tertentu. Hingga malam menjelang, setelah cukup berisitirahat, ia dan istri kembali ke Pasar Tanggulangin untuk melayani pembeli di pasar subuh tersebut.
Kerja, kerja dan kerja. Inilah yang menjadi semboyan hidupnya. Tak terkecuali ketika dalam kurun waktu tertentu ia dan keluarga harus tinggal di pengungsian akibat rumahnya dulu di Desa Kali Tengah Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo, terendam luapan lumpur. Ya, Senari adalah satu dari ribuan warga desa lainnya yang terpaksa diungsikan ke Balai Desa Kali Tengah, saat luapan lumpur melanda di pertengahan 2006.
Seingat Senari, ia dan keluarga berada di pengungsian sekitar dua atau tiga bulan. Namun, kondisi yang serba darurat saat itu, tidak menghalanginya untuk terus melakoni pekerjaan. Setiap hari, dengan sepeda motor, ia tetap berdagang menjajakan kebutuhan dapur. Barangkali, ada beban yang memang tak boleh terhenti, yakni biaya pendidikan kedua anaknya yang saat itu sudah dititipkan di pondokan.
Keuletan berusaha tergambar dari bagaimana Senari dulu memanfaatkan jatah kontrak korban luapan lumpur untuk membeli lapak berdagang di Pasar Ngabang Tanggulangin. Ia rela untuk sementara beberapa bulan menempati kembali rumahnya yang sudah terendam lumpur semata kaki.
Hingga pada suatu hari di awal 2007, ia menerima sekitar Rp200 juta sebagai uang muka jual beli tanah dan rumahnya yang terkena luapan lumpur. Uang tersebut digunakan sebagai persekot membeli bangunan dan sebidang tanah seluas 20 x 60 meter persegi di Kecamatan Candi. Sekitar enam bulan kemudian, dari angsuran jual beli lahan, terkumpullah dana untuk menebus keseluruhan bangunan dan tanah yang dibelinya tersebut.
“Angsuran keberikutnya saya gunakan untuk membangun itu,” ujar Sunari sembari menunjuk deretan bangunan di bagian depan rumahnya yang ternyata kamar kos-kosan bagi pekerja pabrik. Ada 19 pintu kos-kosan yang selalu terisi penuh oleh pekerja PT Ecco Indonesia, pabrik sepatu tak jauh dari rumah Senari kini.
Sembari menyeruput kopinya, Senari melanjutkan cerita. Ia mengku untuk memenuhi kebutuhan hidup istri dan dua anaknya, tak ingin semata-mata mengandalkan uang dari jual beli asetnya yang terendam lumpur. Kebutuhan pokok sehari-hari ia cukupi dari keuntungan berdagang. Sedangkan untuk menyiasati menutup kebutuhan sekunder, ia ikut arisan pedagang pasar. Baginya, setoran arisan Rp300 perhari adalah cara lain untuk menabung. Pencabutan arisan dilakukan setiap bulan. Dan, setahun sekali, peserta arisan berkesempatan mendapat cabutan sebesar Rp120 juta.
Hasil dapat cabutan arisan, selama beberapa tahun terakhir ini, digunakan Senari untuk memperbaiki lapak dagangan, menambah modal usaha, termasuk pula diam-diam ia telah menyetorkan uang muka untuk berangkat haji. “Saya kemungkinan berangkat tahun 2023, InsyaAllah, tujuannya baik ya keturutan saja,” harapnya.
Satu hal yang menjadi pusat perhatian Senari adalah bagaimana ia bisa menjadikan kedua putra dan putrinya tuntas menjalani pendidikan. Senari dan istri seolah tak mau buah hati mengetahui betapa kerja keras dilakukan orangtua untuk mereka. Sejak peristiwa luapan lumpur terjadi, anak-anak sengaja dimasukkan ke Pondok Pesantren. Putra sulungnya kini sudah duduk di jenjang pendidikan S2 di Universitas Tujuhbelas Agustus (Untag) Surabaya. Sedangkan putri bungsunya sekolah di bangku SMA. “Anak-anak jangan goblok kayak bapaknya,” seloroh Senari mengakhiri obrolan siang itu.(dry)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H