Mohon tunggu...
Agnes Emalisa
Agnes Emalisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pengajar

Still learning about the social culture of society in relation to the art of music.

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Misteri Tatto "Ina" dari Wederok

26 September 2022   20:13 Diperbarui: 26 September 2022   20:18 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perjalanan panjang lima jam saya tempuh dari Kupang ke Malaka.  Cukup melahkan tapi terbayar lunas dengan pemandangan birunya laut Kolbano dan gunung di sekitaran Boking.

Saya sampai di desa Wederok dan bertemu dengan keluarga sederhana yang menyambut saya dengan hangat dan dengan suguhan "kelapa muda hancur", katanya karena daging kelapa akan lebih enak kalau diturunkan dari pohon sesuai waktunya. Dan benar, ketika saya makan dagingnya berbeda dengan daging kelapa yang pernah saya makan sebelumnya.

Seorang nenek paruh baya, umurnya sekitar 70-an (karena tidak bersekolah sehingga tanggal serta tahun lahir tdk diketahui dengan pasti) dan saya memanggilnya "Ina". 

Malam itu Ina sedikit mengeluh "kalau  sudah malam, Ina punya kaki sakit" dengan memegang sarung lusuh yang dipakai dan menariknya ke atas. Menarik ketika saya melihat beberapa gambar tatto yang unik  ada di kaki ina.  Tidak hanya satu tetapi kedua kakinya di tatto.

Dokpri
Dokpri

Motif dari tatto yang ada di kaki Ina layaknya motif yang ada pada kain tenun, digambar dengan jelas namun tidak begitu teratur."Ina, artinya apa?" Saya bertanya. Ina hanya menggelengkan kepala dan sedikit ragu menjawab "Ina tidak tahu artinya,mereka yang gambar.  Dulu itu semua anak perempuan di desa harus di tatto, dan Ina hanya ikut saja".

Rasa penasaran saya membawa banyak pertanyaan. Siapa yang menggambar?makna dari tatto ini apa?apakah ini benar seperti motif tenun masyarakat Malaka? Bahan dasar apa yang digunakan pada waktu itu?kalau diwajibkan pada perempuan apakah punya pengaruh dari segi strata sosial(matrilineal)? Kemudian saya mendapat jawaban dari anak perempuan Ina.

Ternyata orangtua pada zaman dahulu menganggap pentingnya memberikan "tanda" berupa tatto untuk membedakan laki-laki dan perempuan. Cara orang dulu mentatto menggunakan jarum dan bahannya seperti cairan khusus yang dibuat kemudian dibakar menggunakan minyak tanah dan proses tatto pun dilakukan tanpa anastesi. "Sakit sekali" ujar Ina berusaha mengingat kembali proses mentatto tubuhnya. 

Orang yang menggambar tatto pada Ina, sudah meninggal dan arti dari tatto pun sampai sekarang tidak ketahui. Ternyata selain Ina, saya banyak menjumpai nenek-nenek yang memiliki tatto di kaki dan tangan mereka.

Jika dihubungkan lagi pada sistem siapa yang berkuasa dan paling dominan, saya mengambil sebuah kesimpulan sederhana bahwa banyak hal penting yang terjadi zaman dulu yang menjadi sebuah misteri yang belum terpecahkan dan banyak melibatkan peran perempuan disana. 

Pertanyaannya mengapa jika ingin membedakan laki-laki dan perempuan tidak mewajibkan pada laki-laki?kenapa harus perempuan?

Tidak sampai disitu bahkan kesenian tradisi seperti musik, tarian , dan ritual adat yang mendominasi adalah perempuan salah satunya likurai.
Nyatanya banyak tradisi yang hanya diturunkan secara lisan (turun temurun), dan akhirnya berhenti tanpa ada jawaban. Kasus ini dengan tatto tanpa makna ini memberi ruang yang luas bagi seniman-seniman untuk menggali banyak hal yang mungkin hampir dilupakan menjadi sesuatu yang tak akan dilupakan walaupun zaman sudah berganti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun