DI seluruh dunia, pembuat kebijakan mencari cara bagaimana menggunakan pendidikan dan strategi komunikasi untuk menciptakan dunia yang lebih berkelanjutan. Mereka seringkali terjebak diantara perubahan instrumental (perubahan perilaku) dan emansipatoris (perkembangan manusia). Studi ini menyoroti perbedaan yang nyata dengan menyelidiki empat kasus yang memiliki kedua orientasi tersebut dan campuran keduanya. Salah satu hasil penelitian ini adalah bahwa pembuat kebijakan Pendidikan Lingkungan (Environmental Education) pertama-tama perlu merenungkan tantangan perubahan yang dipertaruhkan. Setelah memahami apa yang sedang dihadapi, barulah mereka mampu memutuskan pendidikan, partisipasi, komunikasi, atau campuran seperti apa yang paling tepat untuk diterapkan, hasil yang dapat dicapai, dan sistem pengawasan dan evaluasi seperti apa yang tepat untuk dilakukan.
Pemerintah Belanda, misalnya, menganggap Pendidikan Lingkungan dan Pembelajaran Pembangunan Berkelanjutan (Learning Sustainable Development) sebagai instrumen kebijakan komunikatif untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan di masyarakat. Baru-baru ini, efektivitas kebijakan Pendidikan Lingkungan telah diperiksa oleh Netherlands Environmental Assessment Agency (MNP) (Sollart, 2004 dalam Arjen, dkk., 2008). Studi ini mengungkapkan bahwa hanya sedikit informasi yang tersedia mengenai instrumen pendidikan untuk meningkatkan pembangunan berkelanjutan di masyarakat secara praktis. Oleh karena itu, MNP menugaskan sebuah penelitian lanjutan untuk mengetahui bagaimana pendekatan kebijakan yang berbeda terhadap Pendidikan Lingkungan tercermin dalam praktik Pendidikan Lingkungan. Hasil dari studi tersebut kemudian dijelaskan dalam laporan berjudul “Adopt a Chicken” to Sustainable Urban Districts (Hubeek et al., 2006 dalam Arjen, dkk., 2008). Kajian tersebut berusaha untuk menjawab pertanyaan berikut:
- Bagaimana pendekatan Pendidikan Lingkungan berkontribusi dalam proses yang mengarah pada praktik baru yang lebih berkelanjutan dibandingkan dengan apa yang ingin mereka ubah? Bagaimana penggunaan pendekatan atau instrumen ini diperkuat (reinforced) dan/atau semakin membaik (improved)?
- Bagaimana pembuat kebijakan Pendidikan Lingkungan menjadi lebih kompeten dan efektif dalam menggunakan instrumen yang komunikatif dalam menggerakan masyarakat menuju keberlanjutan?
- Apa peran pengetahuan dalam pendekatan-pendekatan tersebut?
Penelitian ini mengkaji tiga pendekatan terhadap Pendidikan Lingkungan yakni, yang diklasifikasikan sebagai pendekatan instrumental, pendekatan emansipatoris, dan campuran keduanya.
Pendidikan Lingkungan dan Komunikasi Instrumental
Pendidikan instrumental berasumsi bahwa hasil dari perilaku yang diinginkan dari Pendidikan Lingkungan diketahui, disepakati (kurang atau lebih), dan dapat dipengaruhi oleh intervensi yang sudah dirancang dengan cermat. Secara sederhana, pendekatan instrumental untuk Pendidikan Lingkungan dimulai dengan merumuskan tujuan yang spesifik terkait perilaku yang disukai, kelompok target sebagai penerima pasif yang perlu dipahami dengan baik jika intervensi komunikatif memiliki pengaruh. Dalam model ini, terdapat beberapa entry poin untuk pendidikan dan komunikasi lingkungan instrumental yang dapat digunakan tergantung pada hasil analisis perilaku sebelum intervensi yaitu meningkatkan kesadaran akan masalah, mempengaruhi norma sosial, sikap, kontrol pribadi dan/atau kombinasi yang dirancang secara cermat.
Pemerintah Belanda dan banyak pemerintah lain di seluruh dunia, dalam hal ini menggunakan dan mendukung berbagai strategi aktivitas pendidikan dan strategi komunikasi untuk mempengaruhi perilaku lingkungan masyarakat seperti, awareness campaigns,iklan layanan masyarakat, pelabelan lingkungan dan skema sertifikasi.
Kritik dari penggunaan pendekatan instrumental terhadap Pendidikan Lingkungan adalah dengan menggunakan pendidikan untuk mengubah perilaku masyarakat, pendidikan digunakan sebagai sarana untuk memanipulasi dan indoktrinasi. Namun pendukung penggunaan pendidikan semacam itu berpendapat bahwa, karena masa depan planet kita dipertaruhkan, segala usaha apapun dapat dilakukan.
Pendidikan Lingkungan Emansipatoris
Pendekatan emansipatoris mencoba melibatkan warga negara dalam sebuah dialog aktif untuk menetapkan tujuan bersama mengenai perubahan yang diperlukan dan berkontribusi terhadap mesyarakat yang berkelanjutan secara keseluruhan. Dengan kata lain, tujuan spesifik dan cara untuk mencapainya tidak dibentuk sebelumnya. Proses pembelajaran sosial yang didukung oleh metode partisipatif dipandang sebagai mekanisme yang paling sesuai untuk mewujudkan suatu perubahan yang lebih emansipatoris untuk Pendidikan Lingkungan (van der Hoeven et al., 2007; Wals, 2007 dalam Arjen, dkk., 2008) dan pengelolaan lingkungan (Keen et al., 2005 dalam Arjen, dkk., 2008).
Campuran Pendidikan Lingkungan, Komunikasi, dan Partisipasi
Sosiologis lingkungan Belanda, Gert Spaargaren berusaha menggunakan teori strukturasi yang dikemukakan oleh Giddens untuk menciptakan sebuah model yang menghubungkan pendekatan yang berorientasi pada aktor (actor-oriented) dan yang beorientasi pada struktur (structure-oriented) (Spaargaren, 2003 dalam Arjen, dkk., 2008). Spaargaren melakukannya dengen meletakan praktik sosial menjadi pusat di mana agensi manusia dimediasi oleh gaya hidup. Keterkaitan antara agensi dan struktur merupakan sebuah praktik sosial yang luas. Model Spaargaren dapat dianggap sebagai jembatan antara pendekatan instrumental yaitu perilaku lingkungan dan perilaku klasik dan pendekatan yang berbasis agen yang lebih emansipatif. Pada saat yang sama, model tersebut mempertimbangkan pengaruh struktur sosial pada perilaku (Spaargarem at al., 2006 dalam Arjen dkk., 2008).
Metode dan Metodologi
Metodologi studi kasus dipilih untuk memungkinkan kita mengungkapkan berbagai macam faktor yang telah berinteraksi untuk menghasilkan karakter yang unik dari entitas yang menjadi subyek studi (Yin, 1989 dalam Arjen, dkk., 2008). Metodologi studi kasus memungkinkan pembelajaran mengenai contoh yang kompleks melalui deskripsi dan analisis kontekstual dengan hasil yang bersifat deskriptif dan teoritis. Tahapan yang dijalankan dalam melakukan studi kasus adalah: orienting(Apa yang kita cari? Apa yang ingin kita tahu?), deconstructing(Apa asumsi kita? Apakah relevan?), questioning(Pertanyaan seperti apa yang perlu ditanyakan?), interviewing(menggunakan pertanyaan terbuka), analyzing(analisis intra dan antarkasus, menggunakan transkrip, mencari pola, persamaan dan perbedaan, berusaha untuk menghasilkan kesepakatan subyektif tentang interpretasi dan temuan), validatingdan soliciting feedback(memeriksa dan menyampaikan hasilnya kepada pemerintah dan partisipan kunci dalam penelitian studi kasus).
Kesimpulan
Studi ini menunjukan pendekatan emansipatoris sangat sesuai dalam situasi yang tidak jelas (tidak ada solusi yang jelas atau tersedia dan tantangan yang dipertaruhkan sangat banyak atau multitafsir), memerlukan proses pembelajaran berdasarkan pada lingkungan sosial peserta secara langsung. Dan kegiatan yang dilakukan juga harus mudah untuk diakses oleh semua pemangku kepentingan terkait. Kemungkinan komitmen jangka panjang semakin membaik ketika partisipan mengembangkan semacam kohesi sosial atau “chemistry” yang juga ketika mereka lihat hasilnya secara langsung.
Pendekatan instrumental mampu menjangkau target kelompok yang besar dan beragam, tidak seperti pendekatan emansipatoris. Pendekatan instrumental didorong oleh sebuah masalah. Tujuan spesifik yang dibentuk sebelumnya memungkinkan penyelenggara mengevaluasi proyek secara kuantitatif dan dengan itu memberikan cara dana dibelanjakan (akuntabilitas).
Terkait kompetensi dan efektivitas pembuat kebijakan, bagaimanapun pendekatan instrumental dan pendekatan emansipatoris dapat menguatkan satu sama lain, sedangkan dari sudut pandang pendidikan, pendekatan emansipatoris dan pendekatan instrumental bertentangan. Pemerintah harus terlebih dahulu mencoba untuk menilai tantangan perubahan, dengan begitu proses perubahan yang paling teoat akan didukung, baik instrumental maupun emansipatoris atau kombinasi. Pilihan inilah yang menentukan strategi pemantauan dan evaluasi yang tepat.
Paling tidak, penting untuk merenungkan dua pertanyaan kunci berikut: “Apa yang ingin kita ubah?” (menilai sifat tantangan perubahan) dan “Seberapa pasti bahwa ini adalah perubahan yang tepat?” (menilai jumlah kepastian dan kesepakatan dalam ilmu dan masyarakat terkait perubahan yang diinginkan). Jawaban atas kedua pertanyaan ini kemungkinan berimplikasi pada, tingkat partisipasi stakeholder yang diinginkan dalam suatu intervensi, desain, pemantauan, dan evaluasi. Refleksi pertanyaan ini akan membantu menentukan jenis pendidikan, partisipasi, komunikasi, atau campuran dari yang paling sesuai dan hasil terbaik yang ingin dicapai.
Sumber:
Arjen, dkk. (2008). "All Mixed Up? Instrumental and Emancipatory Learning Toward a More Sustainable World: Considerations for EE Policymakers". Applied Enviromental Education and Communication, 7: 55-65
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H