Awal tahun 1994, Shell dan Exxon, dua perusahaan minyak besar, memiliki masalah terkait pembuangan pelampung penyimpak minyak bernama Brent Spar yang selama lima tahun tidak lagi dipergunakan. Brent Spar itu sendiri berada di dalam laut dengan kedalaman lebih dari 75 meter dengan berat 14.500 ton. Shell kemudian melakukan 30 riset terpisah untuk mempertimbangkan dampak pembuangan dari segi teknis, keamanan, dan lingkungan yang akhirnya menghasilkan beberapa pilihan berikut:
- Pembuangan di darat
- Menenggelamkannya di tempat ia berada
- Dekomposisi pelampung di tempat
- Penenggelaan di laut dalam (perairan Inggris)
Dari keempat pilihan di atas, pilihan jatuh ke opsi keempat dengan pertimbangan biaya yang rendah dan dampat lingkungan yang minim (BPEO). Kemudian Shell meminta ijin kepada Departemen Perdagangan dan Industri Inggris (DTI) dan disetujui. Sesuai dengan ketetapan Konvensi Oslo-Paris mengenai lingkungan kelautan, pemerintah Inggris memberi tahu rencana Shell ke negara-negara Eropa yang lain. Karena selama tenggat 60 hari setelah pemberitahuan tidak ada negara yang menyatakan keberatan, maka pemerintah mengeluarkan lisensi pada minggu pertama bulan Mei. Namun sebelun lisensi ini terbit, Greenpeace menyatakan keberarannya pada 30 April (Lofstedt & Renn, 1997).
Greenpeace merupakan organisasi lingkungan internasional yang menjadi ikon besar dalam gerakan lingkungan. Berpusat di Amsterdam dan memiliki cabang lebih di 30 negara, Greenpeace memiliki struktur hierarkis yang kompleks dengan beberapa badan administratif yang terletak di seluruh dunia. Meskipun sebagian besar kegiatannya terkait dengan tindakan langsung, namun Greenpeace juga melibatkan dirinya dalam berbagai kegiatan seperti melobi pemerintah dan organisasi antarpemerintah untuk turut membantu atau mensponsori kegiatan yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan (Zelko, 2004).
Isu penolakan terhadap rencana pembungan Brent Spar semakin menjadi-jadi ketika media mengeluarkan foto yang memperlihatkan para aktivis Greenpeace dalam kunjungannya ke Brent Spar disemprot oleh kapal milik Shell. Pemboikotan terhadap pengisian bahan bakar milik Shell pun terjadi di Jerman, Belanda, dan Skandinavia. Lalu pada 16 Juni, Greenpeace mengklaim bahwa terdapat banyak logam berat dan bahan organik beracun lainnya yang belum dilaporkan oleh Shell. Posisi Shell yang berada di Inggris pun semakin tidak bisa dipertahankan akibat tekanan dari Shell Jerman dan Belanda. Dari 1728 stasiun pengisian bahan bakar di Jerman, 20 % mengalami penghasilan di bawah rata-rata, 200 stasiun berada dalam ancaman penyerangan, 50 stasiun dirusak, serta dua stasiun dibom dan ditembaki (Lofstedt & Renn, 1997).
Dengan begitu banyaknya penolakan yang dihadapi oleh Shell, beberapa jam sebelum penengelaman pada 20 Juni, Shell memutuskan untuk membatalkan penenggelaman Brent Spar (Lofstedt & Renn, 1997).
Berdasarkan pada riset yang dilakukan oleh Shell terkait penenggelaman Brent Spar, pembuangan Brent Spar di lepas pantai tidak berbahaya bagi lingkungan dibanding dengan membuangnya di darat. Shell juga meminta perusahaan Norwegia, Det Norske Veritas untuk menginvetigasi tuduhan Greenpeace yang kemudian mengakui kekeliruan terkait kuantitas minyak dalam Brent Spar namun dengan tetap menyatakan bahwa penenggelaman tersebut tetap salah (Lofstedt & Renn, 1997).
Hal yang ditekankan sekaligus menjadi pertanyaan pada studi kasus ini adalah apakah yang membuat krisis mengenai Brent Spar ini bisa sampai meledak dan berkepanjangan?
Lofstedt & Renn (1997) dalam analisisnya mengemukakan beberapa alasan mengapa komunikasi krisis yang dilakukan Shell tidak berhasil.
- Shell sebagai perusahaan transnasional yang besar dikalahkan oleh publik dan Greenpeace yang disebut oleh media sebagai “victory for democracy”.
- Shell dilihat sebagai perusahaan yang serakah karena memilih opsi yang paling murah. Shell sebagai perusahaan besar seharusnya membuat keputusan atas dasar lingkungan.
- Shell menjadi target yang mudah untuk diboikot karena pemboikotan terhadap Shell dapat dilakukan hanya dengan pindah ke stasiun bahan bakar lain tanpa adanya perubahan kebiasaan. Dan minyak adalah satu-satunya usaha mereka.
- Para politisi (kecuali di Inggris dan Norwegia) sangat mendukung Greenpeace karena hal tersebut merupakan cara yang mudah untuk mendapatkan suara. Selain itu, keputusan ini tidak berpengaruh dalam hal ekonomi.
- Adanya isu moral di mana laut seharusnya dibiarkan murni dan tak terjamah.
Lofstedt & Renn (1997) juga mengemukakan beberapa alasan mengapa isu Brent Spar tetap menjadi agenda media:
- Terdapat banyak foto yang bagus, salah satunya foto ketika aktivis Greenpeace disemprot oleh kapal milik Shell.
- Shell sebagai perusahaan transnasional memiliki kepercayaan yang kurang oleh publik sama halnya dengan pemerintah. Keduanya digambarkan oleh media sebagai pihak yang arogan dan keras kepala.
- Isu Brent Spar mendominasi pertemuan-pertemuan internasional salah satunya juga karena adanya politisi-politisi yang sengaja “menunggangi” ini demi perolehan suara.
Berikut merupakan kelemahan-kelemahan strategi komunikasi Shell dan pemerintah Inggris dalam mengatasi kasus ini (Lofstedt & Renn, 1997):
- Keduanya mengadopsi pendekatan atas-bawah daripada pendekatan dialog sehingga dengan cepat Shell terasing dari publik dan dicap sebagai perusahaan yang arogan karena tak ada dialog dengan masyarakat.
- Shell tidak dipercaya oleh publik sedangan Greenpeace dipercaya. Penelitian juga menunjukan bahwa kebanyakan masyarakat di Inggris dan di Jerman lebih percaya pada organisasi nonprofit.
- Shell tidak dapat melawan makna simbolik mengenai penenggelaman di laut dalam, bahwa secara moral hal tersebut salah.
- Shell tidak melakukan konsultasi dengan ahli yang benar-benar paham mengenai laut dalam dan konsekuensi dari penenggelaman Brent Spar.
- Pemberitaan Greenpeace oleh media lebih dominan.
Kesimpulan
Melalui kasus ini, kita dapat memahami bagaimana strategi komunikasi krisis merupakan hal penting yang harus dilakukan oleh sebuah perusahaan.
- Dalam mengatasi krisis, perusahaan seharusnya menerapkan pendekatan dialog yakni untuk dapat memperoleh solusi yang sesuai dengan latar belakang masing-masing pihak.
- Perusahaan juga baiknya mengembangkan strategi komunikasi yang lebih fleksibel dalam menerima kritik
- Untuk menangani krisis dengan cara yang baik, diperlukan konsultasi dan komunikasi dengan ahli sosial independen dan konselor media.
- Perusahaan juga harus fokus pada kelompok yang ada di negara lai yang terdampak untuk menjelaskan perbedaan persepsi yang mungkin terjadi.
- Memahami keprihatinan dan kekhawatiran publik merupakan manfaat yang besar bagi perusahaan.
- Perusahaan terutama multinasional, harus memiliki strategi komunikasi yang seragam dan tidak ambigu baik secara internal maupun antarnegara.
- Pemerintah harus menekankan kontrol dan akuntabilitas.
- Industri dan organisasi nonprofit harus bekerja sama dan saling menghormati.
Sumber:
Lofstedt, R. E. & Renn, O. (1996). The Brent Spar Controversy: An Example of Risk Communication Gone Wrong. Risk Analysis 17 (2): 131-136
Zelko, Frank. (2004). Make It Green: The History of an International Environmental Ogranization. GHI Bulletin (34)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H