Akhir-akhir ini kita sering mendengar bahwa pemerintah merilis program e-something, atau kadang jika kita ke kantor pemerintah untuk mengurus sesuatu, kita mendapat info bahwa sistem mereka sudah online. Lucunya, sering terdengar cerita yang tidak mencerminkan demikian.
Sebagai contoh, Samsat sudah online. Tapi, jika kita pindah alamat dari A ke B, mengurus mutasinya kok ribet? Harus cabut dulu arsip di tempat yang lama. Dalam proses mencabut arsip pun, harus dioper ke banyak loket (cek ada record kriminal lah, cek pajak sudah lunas lah, bahkan kalau di Surabaya harus minta arsip ke lantai 3 - kalau tidak salah). Banyak orang tidak memikirkan hal ini, dan menerimanya "ya emang harus begitu".
Lho, bukannya kalau sudah online seharusnya bisa langsung saja ke kantor samsat di alamat baru (B), lalu mereka tinggal mengganti alamat kita di sistem yang "sudah online" itu (asal dokumen lengkap menunjukkan bahwa kita pemilik kendaraan tersebut). Nah, kalau harus ke kantor A dulu, lalu prosedurnya berbelit-belit, dan harus menunggu beberapa minggu, lalu baru bisa ke kantor B. Itu "online"-nya di mana ya?
Ditambah lagi, di kantor A (alamat lama) pun, kita harus dioper ke beberapa loket. Seharusnya kalau sudah online kan di 1 loket saja bisa cek dan membereskan semua (cek criminal record, cek pajak terbayar, dll tadi). Kalau memang alasan otorisasi (tiap petugas cuma punya kewenangan terbatas), seharusnya bukan kita yang harus jalan sana-sini. Tinggal petugas 1 (misal: cek criminal record) klik prosedur 1 beres, lalu komputer petugas 2 (misal: cek pajak lunas belum) akan ada pop-up bahwa prosedur 1 sudah beres, dia tinggal klik, makan prosedur 2 beres, dan seterusnya. Jadi kita sebagai pembayar pajak, tinggal datang > serahkan dokumen > duduk > dipanggil > selesai.
Apakah memang negara kita ini tidak mengerti apa itu online? Ataukah desain sistemnya yang buruk? Itu baru satu contoh, saya yakin Anda pernah mendengar ribuan cerita lain yang serupa.
Saya sempat berkonsultasi dengan seorang ahli IT (sebut saja Pak Bedjo, karena yang bersangkutan keberatan bila identitasnya dipublikasikan) yang sudah sangat berpengalaman dalam bidang software di Indonesia. Banyak perusahaan raksasa di dalam dan luar negeri yang menggunakan jasanya. Tapi kenyataannya, di Indonesia nama Pak Bedjo dan perusahaan software-nya ini tidak begitu dikenal. Setelah ditanya, kenapa Pak Bedjo tidak mau mengurus proyek pemerintah? Jawabannya simpel: Pak Bedjo tidak biasa "main sogok". Jadi, tentunya sulit untuk masuk pemerintah karena pasti kalah dengan perusahaan lain yang biasa bermain seperti itu. Dan lucunya, Pak Bedjo sebenarnya pernah diminta kerja samanya oleh sebuah perusahaan yang masuk ke proyek software pemerintah. Tetapi ketika Pak Bedjo meminta spesifikasinya, dikirimlah oleh perusahaan itu sebuah dokumen yang isinya spesifikasi CD (diameter CD, bahan box CD nya, dll).
Sama sekali tidak ada spesifikasi software yang diperlukan di dokumen itu. Jadi, kalau diumpamakan, pemerintah kita mau buka restoran dan mencari seorang koki ahli. Tapi di persyaratannya, hanya disebutkan:Â
- Bisa masak
- Masakan akan ditaruh di piring yang diameternya xx cm,Â
- Makanan juga bisa dibungkus di styrofoam ukuran xxxx
Kalau seperti ini, apakah koki yang benar-benar ahli akan melamar? Sementara yang punya restoran sendiri tidak tahu akan menjual makanan apa (hanya tahu ukuran piringnya).
Inilah dillema di negara Indonesia kita tercinta ini. Orang pintar tidak pernah dihargai (lihat saja kasus Arcandra Tahar, yang untungnya sempat ramai di media sehingga beliau "ditarik" kembali oleh pemerintah). Semoga Indonesia makin baik ke depannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H