Mohon tunggu...
Agnes Cellyana
Agnes Cellyana Mohon Tunggu... Freelancer - A freelancer; a wife.

A housewife with a wide grin who tries her best for her little lovely family.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bapakku, si Kampungan yang Akhirnya Tinggal di Kota

26 November 2020   23:58 Diperbarui: 27 November 2020   00:15 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bapak saya adalah orang kampung.

Ya, betul-betul di kampung sehingga kadang orang Sumatera sendiri tidak tahu di mana kampungnya yang bernama Sarulla. Beliau lahir di Sidikalang 51 tahun silam. Lalu tumbuh besar di Sarulla. Hidupnya sulit. Sampai-sampai Bapak saya harus membantu Opung boru saya menjahit demi menghidupi keluarga, sehingga sampai kini beliau pun masih hapal cara menjahit meskipun profesinya adalah ASN.

Beliau termasuk keturunan orang terpelajar. Opung doli (Bapaknya Bapak saya) adalah seorang Kepala Sekolah SMA (atau SMK, saya lupa). Dididik dengan keras membuat Bapak saya memahami sulitnya hidup dan menjadikan beliau sebagai pejuang. Selepas SMP, Bapak saya ikut hidup dengan gurunya di perantauan, sehingga pekerjaan rumah tangga pun akhirnya mahir dia lakukan.

Lulus SMA, Bapak saya mencoba peruntungan untuk masuk ke IPDN dikarenakan sekolahnya gratis. Iya, Bapak saya tidak memiliki biaya untuk sekolah karena anak-anak Opung saya lumayan banyak, total ada 5 orang. Puji Tuhan, Bapak saya lolos seleksi sampai ke tingkat akhir, dengan cerita di mana beliau selalu membuka hasil testnya di kamar mandi dengan membawa Alkitab sambil berdoa agar diloloskan sampai akhir.

Beliau orang yang sangat demokratis. Ketika saya dulu mengungkapkan untuk enggan menikah dengan orang Batak dan berujung pacaran dengan orang Ambon sebagai bentuk pembangkangan, Bapak saya dengan sedikit keberatan akhirnya mencoba merelakan. 

Namun mungkin karena diam-diam beliau berdoa supaya saya berjodoh dengan orang Batak, akhirnya saya berjodoh juga dengan orang Batak, asli impor dari Porsea. Dia membebaskan saya dan adik saya untuk mengambil pilihan hidup dengan terus mengingatkan kami untuk bertanggungjawab dengan pilihan kami.

Ketika memulai rumah tangga bersama Ibu saya, hidup mereka sulit. Tak jarang mereka menangis bersama karena keuangan yang menipis. Namun berkat kegigihan Bapak dan Ibu saya, kami dapat menjalani kehidupan yang layak pada saat ini. Bapak saya orang yang sulit menyerah dan penuh sabar, begitu juga dengan Ibu saya. Saya dan adik saya sangat terberkati karena memiliki orangtua seperti mereka.

Bapak saya juga orang yang cerdas, bagi saya malah sangat cerdas. Beliau memiliki banyak buku, dari yang kami boleh baca sampai yang kami tidak boleh baca hingga kami dianggap layak membacanya. 

Sampai kini, beliau masih punya keinginan kuat untuk belajar. Kemampuan bahasa Inggrisnya jauh dari saya dan adik saya, tetapi ia tetap kekeuh mau berkomunikasi dengan bahasa Inggris dengan kami. Meskipun seringkali aksen dan grammarnya membuat kami tertawa terpingkal-pingkal. 

Satu momen yang menurut saya cukup mengharukan adalah ketika dia membeli sekoper besar yang berisikan buku dan CD untuk belajar bahasa Inggris. Beliau mengatakan bahwa meskipun ia tidak bisa berbahasa Inggris, ia ingin anak-anaknya mahir berbahasa Inggris. Hal ini untungnya bisa diwujudkan oleh kami. 

Salah satu momen yang membanggakan adalah ketika saya lulus SMA dengan nilai Bahasa Inggris 9,75. Selain itu, saya dan adik saya pun rajin mengikuti perlombaan bahasa Inggris dan tidak jarang menang. Hal ini tidak lepas dari usaha Bapak saya untuk mencerdaskan kami.

Beliau sangat benci orang yang malas belajar. Sebagai dosen, dia akan marah ketika mahasiswanya mematikan kamera di pembelajaran era pandemi ini. Dia selalu mengingatkan agar mahasiswanya belajar dengan baik karena mereka sudah membayar untuk berkuliah. Beliau mencontohkan dirinya yang berkuliah gratis dibiayai Pemerintah sampai S2 dan selalu belajar dengan baik. Padahal gratis. Apalagi yang bayar, harus belajar dengan baik.

Bapak saya pandai bergaul. Instingnya dalam pergaulan sangat tajam. Dia tahu siapa yang akan menjerumuskannya dan siapa yang tidak. Dasar politiknya yang kuat agaknya membuat beliau sangat berhati-hati. Orangnya peka dan jeli, tidak bisa ditipu. Hal ini menurun pada kami berdua. Sangat terbuka namun selektif. Bijaksana dalam berkawan. Menurutnya, hal ini penting bagi kehidupan kami, karena kami tidak bisa lepas dari yang namanya teman, namun kita harus bisa memilih teman mana yang bisa diajak untuk bekerjasama, untuk bercerita dll.

Beliau juga mengajari kami untuk cerdas dalam melihat situasi dan harus adaptif. Baginya, tak penting kami dapat ranking berapa di sekolah, yang penting adalah kecerdasan kami. Beliau berujar bahwa ketika kami cerdas, kami pasti bisa bertahan hidup. Ini benar-benar saya tanamkan dalam diri.

Dalam keseharian, terkadang Bapak saya bisa sangat kampungan. Memakan makanan norak, memakai baju yang kurang gres, menerapkan peradatan Batak yang menurut saya dan adik saya tidak relevan dalam hidup modern (meskipun sebenarnya tidak juga), memasang stiker Apple di case ponsel Samsungnya (SUMPAH INI NYATA) maupun melakukan sesuatu yang gak kekinian banget. 

Tapi beliau berusaha menyesuaikan diri. Ia mengenalkan lidahnya pada takoyaki, sushi, spaghetti, ramen, kimchi atau apapun yang anak-anaknya suka makan. Padahal dia sangat suka kikil di restoran padang. Ia juga berusaha mengerti kata pansos, alay, lebay dll. Berusaha memahami iMac yang menurutnya menyusahkan. Pokoknya gigih sekali dalam memodernisasi diri.

Setiap kali melihat Bapak saya, yang ada hanya rasa bangga sekaligus membatin sambil tertawa; duh, Bapak saya suka kampungan, deh. Tapi prinsipnya yang baik, tentu saya tanamkan dalam diri. 

Meskipun Bapak saya kampungan, namun di dalam dirinya ada nilai-nilai luhur yang bisa dipegang. Si kampung masuk kota, begitu saya menjulukinya. Namun dia tetap bangga sebagai orang kampung sekaligus terus menyesuaikan diri dengan kehidupan perkotaan. 

Sekarang beliau belajar bercocok tanam, kegiatan yang menurut kami kampungan tetapi tetap dia lakoni dengan baik dan akhirnya membuahkan hasil, sembari memaksa saya untuk memanen hasil kebunnya setiap kali saya pulang ke rumah. Saya sih manut saja, lumayan untuk kami makan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun